Aliansi Perempuan Indonesia Tolak Revisi UU TNI

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Aliansi Perempuan Indonesia bekerja sama dengan Konde.co dan dimoderatori oleh   Salsabila Putri menghelat siaran pers via zoom pada Selasa, 18/3. Siaran pers dihadiri oleh beberapa perwakilan organisasi seperti yang disampaikan oleh Khotimatun, Asosiasi LBH APIK yang berharap seluruh masyarakat saat ini mesti concern dengan isu revisi Undang-Undang Tentara Nasional (RUU TN)I. Menurut perempuan aktivis ini, publik harus hati-hati sebab dalam sejarah Indonesia, miiterisasi dimulai dari proses gradual atau sedikit demi sedikit dan militerian.

 
Khotimun menambahkan saat ini kita harus tegas jangan sampai demokrasi mundur. Sebab di Indonesia suatu pelanggaran HAM sudah tidak dianggap. Dominasi militer tidak menganggap kesetaraan gender dan ketika menyelesaikan persoalan  dengan pendekatan keamanan. Bahkan konflik lahan terus-menerus merebut ruang hidup perempuan dan militerisme mendorong adanya erosi demokrasi serta melemahkan lembaga yang mendukung demokrasi.

Dian Septi Trisnati dari Marsinah.ID  mengatakan bahwa praktik- praktik di masa orde baru diwajarkan dan represi di kala orde baru menggunakan tubuh perempuan  dan hingga kini kasus tidak dibuka. Represi hingga saat ini tetap dilakukan dampaknya adalah ketika ada revisi RUU TNI maka akan memperparah korupsi."Kami tuntut kembalikan TNI ke barak, tolak revisi UU TNI,"ujarnya.

Sedangkan Echa dari Arus Pelangi menyatakan bahwa dengan adanya revisi UU TNI maka semakin mempersempit ranah  kebebasan masyarakat sipil termasuk kawan komunitas yang rentan dan peluang koruptor terus melakukan  keculasan. TNI harusnya kembali ke barak dan bukan masuk ranah politik dan sipil. TNI belum masuk saja oknum kepolisian sudah merepresi  maka akan semakin tinggi nilai intimidasi. "Suara kita tidak didengar. Apabila militer sudah masuk di ruang sipil, bisa dilihat di Papua saja mereka sudah melakukan kekerasan dan dominasi atas nama militerisme, kapitalisme dan kekuasaan pemerintah, " ujar Echa.

Dede, dari Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), merespon revisi UU TNI  dengan menyatakan mengapa difabel penting untuk menolak revisi UU TNI yakni untuk memastikan demokrasi tetapi hidup di Indonesia adalah penting agar dilakukan gerakan masyarakat sipil sebab  kalau ada militerisme akan membunuh perjuangan yang sudah dilakukan. Penting menjaga demokrasi dengan menggagalkan revisi RUU TNI sebab menurut  Dede,  demokrasi lebih dibutuhkan.


Alasan berikutnya menurut Dede karena di dalam militerisme ada ablesime yang akarnya tumbuh dari ideologi yang mirip yakni menilai manusia dengan  standar fisik machoism dan ableis sehingga memicu kekerasan yang terus terjadi. Seperti yang terjadi pada peristiwa baru-baru ini seorang difabel Tuli dipukuli tentara yang menggunakan kekerasan machoism dan militerisme dan  melihat masyarakat sipil sebagai makhluk yang lemah. Arogansi ini membuat banyak kasus mandek seperti pada kasus Marsinah dll.

Dede juga melihat difabel di Papua diinjak kepala oleh tentara dan yang terlihat masih menggengam senjata. Sehingga ketika revisi UU TNI disahkan maka semua bisa mengalami berbagai kekerasan dan semua bisa kena. Poin berikutnya,  bagi difabel, ada sejarah kelam bahwa militet melihat difabel psikososi dianggap sebagai kelompok yang mengganggu ketertiban dan keamanan. Oleh karenanya kalau tidak belajar sejarah maka hal sama bisa terjadi. Dede setuju bahwa tempat terbaik TNI adalah barak. Dan ia tidak mau jadi objek justifikasi bahwa TNI sudah inklusif.

Selain  menuntut tolak revisi UU TNI  untuk mengembalikan dwi fungsi ABRI, juga ada usulan sebaiknya proses pengadilan bukan militer tapi juga sipil.

Dhina Al Uyun menyoroti masalah ibuisme, pola yang masih berlangsung memunculkan diskrimiasi. Hal yang tidak bisa ditolerir yakni makin meminggirkan kampus dan pola eksploitasi makin langgeng. Ada situasi komplek menjadi permasalahan pekerjaan kampus. "Kemarin rektor dikumpulkan di kampus dan ada respon dari kawan kalau ada pola penertiban dan saya khawatir perempuan akan mendapat represi, " ujar Dhina.
Mike Verawati menyatakan bahwa revisi UU TNI, proses pembahasannya sudah muncul di periode lalu dan banyak hal sudah disuarakan.
Dan sejatinya tidak masuk di prolgenas 2025. Lantas timbul pertanyaan, Ini untuk kepentingan siapa? Dilakukan di hotel mewah berbintang lha kok tidak di gedung DPR? Mike menambahkan militeirsne menjauhkan dari demokrasi dan tidak dekat dengan prinsip humanis dan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM). Pada zaman orba pengguna akseptor juga dijaga TNI. Bansos didistribusikan TNI dan saat ini Makan Bergizi Gratis (MBG) dibagi oleh militer. Bahkan makanan dikirim dengan  truk warna hijau. "Pasal 47 yang diubah sama UU TNI jelas mengubah TNI, mengubah wilayah cakupan yang seharusnya ada di masyarakat sipil, " terang Mike.

Amelia, dari Solidaritas Perempuan menyatakan jika revisi UU TNI ini saja membahasnya di hotel mewah. Dan pada tahun 2024 ada 2500 prajurit aktif di jabatan sipil. harusnya pemerintah mengetok Rancangan Undang-Undangan (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) bukan malah revisi UU TNI.

Perempuan selalu jadi korban dalam konflik lahan dan ini akan mempersempit suara perempuan jika dwifungsi ABRI anti diterapkan. Pemerintah ngebut untuk mensahkan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia  (PPMI) beberapa waktu terakhir ini.

Ija, dari FAMM Indonesia  menyatakan bahwa revisi ini akan membuka jalan yang lebub luas dengan praktik otoritarianisme. Salah satu isi startegis. FAMM infornsia, afiliasi militet denga  perusahaan sangat kuat yang mengancam gerakan pperempuan.

Emmy Sahertian dari NTT, saat ini sedang diterkam oleh kasus geotermal. Menurut Emmy, perempuan adalah orang yang paling menderita jika ada konflik tanah atau ekstratif. Revisi Undang-Undang TNI ini melanggar Pancasila.Dengan demikian, mereka akan beralih ke dwifungsi kembali  dan negara ini jadi negara militer serta perlahan akan tergerus. "Ini upaya mereka untuk merepresi masyarakat. Ketika perempuan tidak punya ruang karena direpresi, ini memprihatinkan. Saya orang 98 dan melihat orang-orang 98 ada di pemerintahan   saat  ini dan saya menjadi trauma, "jelas Emmy. (Astuti)