Komasipera Peringati IWD Undang Diskusi Bersama Myra Diarsi

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Ketika  self kemudian berubah jadi  ego, yakni diawali dengan menganggap dirinya paling benar dari kaca matanya sendiri lantas muncullah sikap egois. Si ‘dia’  menjadi egois jika melakukan pemusatan pada diri sendiri dan harus jadi nomor satu atau si paling, menang, yang lain jadi kalah, tidak penting. Dan yang kalah adalah  paling rendah, yang kemudian disebut dengan Liyan.

Bahwa proses me--liyan-kan ini ada basisnya atau dasarnya. Proses me-liyan-kan orang dengan menganggap diri orang lain rendah  diajarkan dari lingkungan sosial sekitar. Artinya, ini semua adalah hasil konstruksi sosial atau bentukan sosial, yang terus-menerus dibangun atau diciptakan. “Jadi kepala kita dipola, di-pattern, dibentuk oleh sang kuasa. Bocah dikuasai oleh orangtuanya,”ungkap Myra Diarsi, Purna Komisioner Komnas Perempuan 1998-2006, seorang feminis, yang mengajarkan tentang kesetaraan gender di hadapan Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Perempuan dan Anak Surakarta (Komasipera) pada diskusi memperingati International Women’s Day (Hari Perempuan Internasional), Selasa (11/3) di Ruang Anawim Yayasan YAPHI.

Myra Diarsi kemudian mencontohkan bagaimana perilaku orang-orang zaman sekarang, jika ditanya, apa tujuan hidup, mereka akan menjawab “ngonten!”. Media sosial mengalami pergeseran ketika dijadikan atraksi untuk pamer. Lihat saja peristiwa tragedi banjir yang melanda Jakarta dan Bekasi belum lama ini. Ada banyak tindakan me-liyankan orang yang kebanjiran untuk kebutuhan pribadi. Kalau hal itu terjadi maka itu akibat konstruksi sosial. Maka dasar me-liyan-kan orang lain adalah suku, agama, ras, antar golongan dan gender serta relasi kuasa.

Relasi kuasa yang terjadi saat ini adalah dengan cara m e-liyan-kan orang. Dan tidak ada perbuatan  me-liyan-kan orang itu disebabkan karena  takdir sebab itu murni karena konstruksi sosial. “Ada perbuatan me-liyan-kan orang lain karena orientasi seksual yang berbeda atau ekspresi gender yang tidak sama, lantas, apa kaitannya dengan Indonesia Gelap? itu karena politik,”tanya Myra.

Ketika seseorang  menormalisasi hubungan patriarki saja dinggap tidak masalah, kemudian dia meliyankan atau mendiskriminasi, di sini dapat dilihat  bahwa patriarki menjadi sumber pe-liyan-an. Contohnya adalah ketika seorang perempuan dilihat bukan dari prestasinya tetapi dari sosok yang beda. Dan karena diomongkan oleh  banyak orang dan seringkali malah seperti meyakini, jadi anggapan bahwa perempuan itu lemah.

 

Menguatkan Para Perempuan di Garda Pelaporan Kekerasan


Di seluruh dunia, pada setiap 8 Maret perempuan mengalami kejadian dunia secara politik yakni para perempuan berdemo untuk menuntut bahwa perempuan juga punya suara secara politik.

Komasipera ingin memanfaatkan momentum IWD dengan  menelusuri kembali pemahaman terkait kondisi perempuan saat ini. Kalau ingin lebih menelusuri lagi masalah yang menimpa masyarakat, khususnya  perempuan dan anak anak. Maka bisa dikatakan "bahwa semua masalah yang kita alami cenderung bisa digali kait kelindannya antara problem yang dialami oleh perempuan atau kekerasan terhadap perempuan dan anak, urusan yang sudah dipunyai digarap secara internasional. Kalau Komasipera ikutan ini maka semua Komasipera warga dunia yang “ngeh”,”demikian penjelasan Myra di hadapan 36 anggota Komasipera yang kebanyakan anggota Pos Pelayanan Terpadu (PPT), yakni para perempuan yang ada di garda depan tingkat kelurahan, yang menerima aduan bila terjadi kekerasan terhadap sesama perempuan dan anak.

Suarakeadilan.org mewawancarai Siti Lestari asal Blora, pendiri  Lembaga Pendampingan dan Pemberdayaan  Kinasih (LPP Kinasih). Di LPP Kinasih, Sri Lestari duduk sebagai Ketua. Sudah sejak tahun 2019  sampai sekarang Sri mengaku lembaga yang dipimpinnya  belum berkembang karena belum memiliki jaringan. Keikutsertaan dirinya dalam diskusi yang dihelat oleh Komasipera bekerja sama dengan Yayasan YAPHI dalam rangka berjejaring.

Perempuan yang juga aktif di Satu Pena  mengungkapkan dalam rangka berjejaring untuk menemukan aktivis perempuan yang cerdas saat ini  juga susah. Rata-rata mereka tersandera, tidak mau membaca buku. Untuk berdiskusi pun yang sifatnya kritis, mereka malas. Maka hal itu melatarbelakangi dirinya keluar dari zona nyaman mendirikan lembaga sendiri agar survive. Ia berkata bahwa banyak kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak terjadi di Blora tetapi tidak ditangaki dengan serius. (Ast)