Seorang anak laki-laki berusia 10 tahun dan duduk di bangku kelas 5 Madrasah Ibtidaiyah (MI) Miftahul Huda Kecamatan Jakenan, Kabupaten Pati berlarian di dalam kelas. Ketika ia sudah diam berdiri di pojok, ia segera dihampiri oleh teman-temannya, memberitahukan jika acara akan segera dimulai. Arul namanya. Tubuhnya gempal dengan wajah bulat tak menghalangi kelincahan dirinya. Arul menjawab pertanyaan dengan santai.Ia mengatakan senang jika tiba waktunya bermain dengan teman-teman dari Yayasan YAPHI. Katanya, permainan yang diadakan saat kunjungan dua bulan sekali selalu membawa kegembiraannya. Sebab, katanya lagi, selain diajak berpikir, juga bermain layak dan semestinya diperoleh anak-anak seusianya.
“Mainnya seru. Terus, dulu kita juga pernah diajak bermain yang intinya di situ tidak boleh mem-bully teman,”seru Ilham, kawan Arul menambahkan. Berbeda dengan Arul, Ilham berperawakan kecil, terkesan kerempeng namun tak kalah lincah dibanding Arul. Jika Arul ibarat domba yang lincah berlarian di padang rumput. Ilham adalah rusa yang gesit berlari ke sana-sini di hamparan rumput tempatnya bermain di alam terbuka, bebas belajar kepada alam. Tapi ini bukan tentang dongeng fabel.
Arul dan Ilham, adalah dua di antara 40 anak kelasan 5 dan 6 yang pagi itu bermain bersama Yayasan YAPHI dan diampu oleh tiga orang pendamping : Dunung, Tina dan Astuti. Mereka bermain di ruangan kelas yang rupanya lebih luas dari kelas-kelas lainnya. Ruangan yang terletak di lantai dua bangunan Madrasah Ibtidaiyah Miftahul Huda tersebut lebih mirip seperti aula, bila semua kursi dan bangku dipinggirkan dan jendela serta pintu dibuka.
Dunung Sukocowati memfasilitasi anak-anak kelas 5 dengan pengenalan istilah keberagaman dan konteksnya budaya serta pengamalan Pancasila. Mereka, 40 anak itu mendengarkan dengan antusias pendidikan tentang keberagaman tersebut. Namun tak lebih dari lima belas menit kemudian, beberapa anak yang duduk di belakang sudah tidak lagi merasa jenak. Mereka saling bercanda satu sama lain ketika kelas masih berlangsung sehingga merusak konsentrasi anak-anak lainnya. Dengan sedikit suara yang agak keras, Dunung kemudian menghentikan candaan yang berubah jadi sedikit kekerasan. Ada yang melempar pukulan ke arah anak lainnya.
Kelas kembali kondusif dan belajar tentang keberagaman dilanjutkan dengan pengenalan berbagai macam suku, agama, serta budaya dengan menggunakan layar LCD, metode ceramah dan interaktif peserta. Kemudian acara kedua yakni permainan ular tangga, dengan mengajukan pertanyaan yang dijawab oleh lima kelompok. 30 pertanyaan bertema keberagaman dijawab oleh para peserta dengan antusias dan riang gembira. Sedangkan sesi ketiga adalah permainan tebak gambar : tema keberagaman dengan media layar LCD, materinya adalah pakaian adat, rumah adat, alat musik, dan rumah adat.
Kemeriahan di Lapangan Pada Siswa Kelas 1,2 dan 3
Tidak jauh dari ruang kelas 5, ada ruangan yang terletak di pojok lantai dua yakni ruang kelas 6 yang saat itu diampu oleh Aster dan Yosi.
Yosi menyampaikan bahwa hari ini mereka akan belajar terkait dengan keberagaman. Yosi mengawali dengan meminta kepada para siswa kelas 6 tersebut untuk menyebutkan setidaknya 10 perbedaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia dan para murid pun menyebutkannya satu per satu. Saat mengawali, ada sedikit kesulitan, namun akhirnya anak-anak itu mampu setidaknya 10 perbedaan yang ada di bangsa Indonesia.
Setelah itu Yosi bertanya kepada anak-anak, apa semboyan bangsa Indonesia dan artinya. Mereka serempak menjawab Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu. Yosi lalu bertanya kembali kepada para murid, jika berbeda-beda maka apa yang mesti dilakukan oleh bangsa Indonesia, bersatu atau menjadi satu. Sebagian besar murid belum bisa membedakan arti bersatu dan menjadi satu. Yosi kemudian menjelaskan bahwa jika menjadi satu berarti semua harus sama, baik itu suku, agama, ras, dan lain sebagainya, sambil menunjuk 10 perbedaan yang sebelumnya, disebutkan oleh para murid dan ditulis di papan tulis. Sedangkan jika bersatu, perbedaan dan karakter masing-masing masih ada, namun sepakat untuk bersatu dengan tujuan yang sama.
Berikutnya, Yosi dan Aster mengajak para murid untuk bermain. Permainan yang digunakan adalah Permainana Papan Petualangan SuperDuHAM Warna-Warni Indonesia dari Komnas HAM. Para murid dibagi dalam dua kelompok masing-masing delapan orang yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Setelah itu Aster menyampaikan cara memainkan permainan tersebut. Permainan warna-warni Indonesia adalah gambaran Indonesia yang rukun dengan berbagai keragaman suku dan budaya. Warna-warni yang melambangkan lima nilai Hak Asasi Manusia, yaitu toleransi, kasih sayang, persahabatan, keadilan, dan perdamaian.
Kelimanya dilambangkan dalam lima maskot yang tersebar di seluruh penjuru nusantara. Sayang sekali sebab semuanya terancam oleh monster bernama Mr. Choro. SuperDuHAM harus mengumpulkan lima maskot tersebut, yang tersembunyi di balik perisai Pancasila. Namun, perlu diingat, harus berhati-hati sebab Mr. Choro dan anak buahnya juga bersembunyi di balik perisai tersebut. Untuk memainkan permainan ini waktu akan dibatasi 15 menit dan para pemain harus bekerja sama untuk menggerakkan pion SuperDuHAM di sekitar papan dan mengumpulkan semua token maskot serta menempatkan masing-masing di Perisai Pancasila sesuai maskot yang tepat sebelum waktu habis atau Mr. Choro muncul.
Setelah seluruh penjelasan lengkap, mulai dari komponen permainan, persiapan permainan, dan cara bermain seluruh peserta kemudian memainkan permainan tersebut. Para murid cukup semangat dan antusias dalam memainkan permainan. Dalam cara bermain, ketika SuperDuHAM sampai di pulau yang memiliki token maskot, pemain harus menceritakan suatu kejadian yang sesuai dengan maskot tersebut. Cerita dapat berupa peristiwa yang pernah dialami, apa yang pernah dibaca, apa yang pernah ditonton, pengalaman orang lain, atau momen lainnya. Pemain dapat juga menggunakan bantuan kartu adegan, dengan menceritakan apa yang ada di kartu.
Saat permainan pertama, para peserta masih menggunakan kartu adegan untuk bercerita, namun pada putaran yang kedua level kesulitan dinaikkan oleh fasilitator dimana para peserta tidak diperbolehkan lagi menggunakan kartu adegan untuk bercerita.
Peraturan lainnya yaitu peserta diberi batasan waktu 15 menit, sebab sebelumnya peserta bermain tanpa waktu yang dibatasi dan juga dalam putaran yang pertama. Peserta dalam satu tim bisa saling memberi tahu dan memberi petunjuk, namun di putaran yang kedua peserta tidak diperkenankan untuk saling memberikan petunjuk. Karena asyiknya permainan bahkan para peserta meminta untuk tambah satu putaran lagi dan disepakati bersama untuk menambah satu putaran lagi, namun kali ini fasilitator hanya memberikan waktu 10 menit.
Selesai permainan, Yosi bertanya kepada para peserta apa yang mereka rasakan setelah bermain game warna-warni Indonesia. Semua peserta menjawab senang. Lalu Yosi juga menanyakan apa yang membuat mereka kalah/menang ketika bermain game warna-warni Indonesia. Semua peserta selalu menang dan apa yang membuat mereka menang. Para peserta memberikan beberapa jawaban antara lain karena kerjasama, percaya diri dan doa. Ada juga peserta yang menjawab karena mengintip. Yosi sebagai fasilitator lalu menjelaskan bahwa jika mengintip berarti peserta telah melakukan kecurangan dan itu tidak sesuai dengan salah satu nilai dalam permainan tersebut yaitu keadilan. Peserta yang curang berarti telah berlaku tidak adil dalam permainan.
Fasilitator berharap supaya para peserta tidak hanya mengetahui apa saja nilai-nilai dan prinsip HAM namun peserta juga harus berusaha untuk menerapkannya. Kemudian sebelum acara usai, Yosi menjelaskan kembali mengenai nilai-nilai dan prinsip HAM yang terkandung pada setiap token yang dimainkan, yaitu toleransi, kasih sayang, perdamaian, persahabatan, dan keadilan.
Di lain tempat, di waktu yang sama yakni di ruangan kelas yang berada di lantai 1, anak-anak kelas 1, 2 dan 3 diajak untuk keluar ruangan. Mereka pergi ke lapangan sekolah yang masih berada di area sekolah untuk bermain games, jelajah satu pos ke pos berikutnya. Pos pertama adalah bermain Tepuk Anak Indonesia. Pos kedua mengenai peta Indonesia dengan mengenalkan pulau-pulau di indoensia, Pos ketiga mengenal keragaman agama di Indonesia, mencocokkan pemuka agama dan tempat ibadah. Pos keempat menggamabr keanekaragaman di Indonesia dari baju adat, alat musik dan landmark atau tempat terkenal di Indonesia yang ikonik dan berbasis budaya. Kemudian anak-anak yang berjumlah 60 itu kembali diajak memasuki ruangan kelas lagi nonton video tentang keberagaman masyarakat di Indonesia.
Usai kegiatan, rombongan kakak-kakak dari Yayasan YAPHI tidak serta merta langsung pulang begitu saja. Sebab ada lagi gelaran bersama pihak dari sekolah yakni evaluasi kegiatan yang sudah dilakukan. Menurut Adi, yang mengampu kelas 1, 2 dan kelas 3, mengatakan bahwa anak-anak memilih sesuai dengan apa yang dia inginkan. Ada ketertarikan dan keberanian apa yang menjadi pilihan. Kalau dilihat dari waktu lalu, ini lebih terkendali daripada di dalam kelas. Juga bagaimana sikap membantu temannya. Ada tolong-menolong dan kerja-sama.
waktu istirahat.
Sementara itu, Sunhadi, Ketua Yayasan Madrasah Ibtidaiyah didampingi oleh kepala sekolah dan para guru menyatakan bahwa pembelajaran yang dilakukan di luar ruangan yang penuh eksperimen adalah inovasi baru. Menurutnya ini penting untuk pengembangan pembelajaran yang memenuhi hak anak. Dan pembelajaran pada anak contohnya adalah di kelas 1 yang belum pernah diajari tentang peta lantas bisa menjawab, itu membuktikan bahwa anak ternyata juga bisa belajar di luar kelas/pembelajaran kelas.
Seperti halnya Arul dan Ilham, Nurul siswa kelas 1 pun kepada Renny, pengampu mereka di kelas 1 menyampaikan kegembiraan setelah bermain bersama. Ia bahkan mengatakan kepada ibundanya yang menjemputnya di sekolah dengan bercerita tentang kegiatan yang baru ia dan kawan-kawan lakukan. (Yosi Krisharyawan, Renny Talitha, Astuti)