Berbagai masalah terkait pendidikan masih menjadi “PR” bagi pemangku kewajiban di Kota Surakarta. Problem yang dimaksud kaitannya dengan pelaksanaan PPDB dengan zonasi, kurikulum merdeka, serta masih tingginya Angka Putus Sekolah (APS) dan Angka Tidak Sekolah (ATS). Kota Surakarta yang dikenal sebagai Kota Budaya dan memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) pada tahun 2024 sebesar 84,41, mengalami peningkatan sebesar 0,87 poin dari tahun sebelumnya yang sebesar 83,54. IPM adalah salah satu indikator untuk mencapai pembangunan manusia. Semakin tinggi nilai IPM suatu daerah, maka pencapaian pembangunan manusianya semakin baik. IPM diukur berdasarkan tiga tujuan akhir pembangunan yang salah satu ukurannya : pengetahuan, yang dinilai berdasarkan kemampuan baca tulis dan rata-rata tahun bersekolah.
Berlatar belakang itulah, maka pada Selasa (17/12) Masyarakat Peduli Pendidikan Surakarta (MPPS) menemui Astrid Widayani, Rektor Universitas Surakarta (UNSA), Wakil Wali Kota Terpilih pada Pilkada belum lama ini. Pardoyo, pemerhati pendidikan yang juga anggota MPPS memperkenalkan diri, bahwa sejak tahun 2005 MPPS didirikan, seiring awal pemerintahan kota Surakarta yang dipimpin oleh Joko Widodo. MPPS tidak ingin menjadi kontra politik, tetapi saat itu ingin memperjuangkan perda pendidikan dan yang menginisasi kebijakan wali kota Joko Widodo termasuk program Bantuan Pendidikan Masyarakat Kota Surakarta (BPMKS) awalnya dari MPPS. Ada persamaan visi pada tahun 2010 dan saat itu banyak sekali anak-anak yang putus sekolah. Sama-sama memiliki keprihatinan dengan kondisi saat itu sehingga menginginkan Solo Zero Anak Putus Sekolah dan ternyata tidak mudah. Masalah terkait hal tersebut masih banyak dijumpai dan mungkin ituah yang menjadi persoalan di kota Surakarta yang sampai saat ini tidak bisa dihilangkan.
MPPS aktif mengikuti perkembangan pendidikan di kota Surakarta termasuk yang terakhir adalah kurikulum merdeka. MPPS juga mengkritisi akan dihapusnya sistem zonasi pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Dikatakan oleh Pardoyo di beberapa media, janganlah sistem itu dihapus total tetapi disesuaikan kondisi, dipadukan dengan sistem yang diperlakukan sebelumnya, baik prestasi, zonasi dan berkaitan yang bisa dimasukkan seperti tes tertulis.
Sementara itu Adi C. Kristiyanto, Koordinator MPPS, dari Yayasan Yaphi, mengatakan harapannya kepada Astrid Widayani, setelah dilantik menjadi wakil wali kota nanti, MPPS masih bisa mengajak berdiskusi, mengobrolkan tentang pendidikan di kota Surakarta. “Kami, MPPS adalah perkumpulan institusi, organisasi dan komunitas serta individu yang mempunyai perhatian dan kepedulian terhadap pendidikan di kota Surakarta,” terang Adi.
Terkait pendidikan untuk semua, yang menjadi bahasan utama, ia mengkritik PPDB yang terdiri beberapa jalur antara lain afirmasi, yang dikhususkan penduduk tidak mampu, miskin (gakin), kedua jalur dahulu disebut jalur prestasi. Menurutnya jalur prestasi alangkah lebih baik kalau dibuatkan aturan yang digunakan, dan tingkat seperti apa, lokal, reginonal, internasional. Ketiga yakni jalur zonasi, yang kemudian dikembangkan yaitu : perpindahan tugas orangtua/wali, serta afirmasi anak guru di sekolah setempat. Cara ini menurut Adi memang diharapkan dapat menjangkau seluruh anak untuk mendapatkan hak bersekolah. Namun pada kenyataannya, belum semua anak mendapatkan hak sekolah, yang pada akhirnya akan memberikan pengaruh jumlah anak putus sekolah dan anak tidak sekolah di Surakarta. Ia berharap pemerintah bisa membangun sistem koordinasi dengan kelurahan sebagai pemangku kepentingan wilayah untuk dapat membuat daftar anak yang membutuhkan sekolah di tingkat SD dan SMP yang jadi kewenangan Kota Surakarta . Dari data tersebut akan dapat digunakan untuk menyusun perencanaan peserta didik baru di sekolah. Dan kemudian disalurkan ke sekolah yang tersedia. Sehingga tidak ada anak yang tertinggal untuk tidak bersekolah, “No One Left Behind.”
Sementara itu, Afiq anggota MPPS dari Yayasan Kakak mengemukakan bahwa saat pihaknya melakukan roadshow di 36 sekolah bersama Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3APPKB) menemukan banyak sekali temuan, salah satunya 47% anak jadi korban bully. Padahal kalau melihat kebijakan, kota Surakarta sudah punya memiliki Perda KLA dan diharapkan menjadi Kota Layak Anak Paripurna, tetapi ketika di lapa ngan, masih ada yang jadi korban bully. Ketika berbicara banyaknya kasus bullying, yang paling menyedihkan, terkait dengan kekerasan, data Yayasan Kakak mencatat kekerasan seksual, dengan melakukan roadshow di 46 sekolah, dengan 4.139 anak dan mereka mengatakan 30 persen pernah mengalami kekerasan seksual, entah secara langsung dalam bentuk sentuhan tidak boleh maupun secara online. Mereka bahkan ada yang sampai dipaksa menonton video porno oleh temannya, bahkan oleh gurunya.”Ini hal yang sangat menyedihkan di dunia pendidikan,”ungkap Afiq. Ia berharap dengan melihat situasi tersebut, ketika wakil wali kota sudah menjalankan tugas, bisa untuk berkolaborasi lagi. Sebab menurutnya antara peraturan dan implementasi masih belum harmonis.
Pardoyo kembali menandaskan bahwa Anak Putus Sekolah (APS) dan Anak Tidak Sekolah (ATS) harus ada penanganan serius. Menurutnya, karena tanpa penanganan akan bisa jadi bom waktu. Data APS dan ATS melihat di tahun 2004, ada 204 anak. Saat itu kendalanya karena masalah tidak ada dana. MPPS mendampingi anak jalanan pula. Kemudian pada tahun 2023 dinas pendidikan mencatat masih ada 251 ATS per bulan Juni. Sedangkan tahun 2024 ini tinggal 114 anak.
Astrid, "Saya lebih suka mendengar yang nyata meski pahit. Daripada manis tetapi tidak nyata."
Astrid Widayani menjawab positif apa yang ada di hadapannya karena menurutnya ke depan lebih banyak bersentuhan di bidang pendidikan. Itulah alasannya dulu masuk kandidat karena ia selama ini banyak bersinggungan dan turut menjadi pengambil kebijakan di dinas, terkait peran pendidikan dalam konteks pembangunan daerah. Menurutnya ini merupakan sejarah di Kota Surakarta yang selama ini belum pernah dipimpin orang yang berlatar belakang pendidikan, sebab kebanyakan selama ini datang sebagai pengusaha dan politikus.
Pengalaman menjadi rektor di usia 36 tahun dan bergiat di HIPMI, Kadin dan Apindo, Astrid melihat bahwa pendidikan itu tidak hanya di kelas dan bahwa pendidikan juga menyangkut karakter dan berperan di masyarakat. Surakarta sudah memiliki rencana pembangunan jangka panjang, dan isu-isu non fisik jangka panjang pula.
“Tidak bisa menutup mata bahwa pembangunan berprogress. Solo dipandang pergerakan ekonomi, maka “PR”nya membawa peradaban dengan pembangunan kota,”jelas Astrid. Ia mengingat kembali yang jadi highlight saat kampanye, no one left behind, dan yang menjadi misi pertamanya bersama calon wali kota adalah pendidikan yang termaktub di program PASTI, bahwa Solo Center Of Knowledge sebab secara apa yang dimiliki Solo ke depan adalah Intangible. Di Pedaringan dibangun Solo Center of Knowledge. Solo juga sebagai pusat pemikir, menurut Astrid.
Ia memprihatinkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Kakak tentang bully dan menurutnya yang membuat motivasinya nanti turun ke ranah pengambil kebijakan sebab menurutnya, mengambil kebijakan kalau tidak memahami dan mencari solusi akan semakin mengerikan sebab pendidikan sangat lekat dengan hati nurani.
Khusus pendidikan bagaimanapun, menurut Astrid, selama ini belum ada dari perempuan dan belum ada dari ranah pendidikan. Ke depan, bullying masuk posyandu plus, ada pemeriksaan mental yang harus terkaver sebagai bagian layanan kesehatan, zamannya penguatan iman dan karakter secara batiniah juga harus diisi rohaniah, akhlak dan profesional. Termasuk menjadikan Solo kota Inklusif.
“Sudah jadi catatan saya. Masalah dengan dinas sambil berjalan. Saya lebih suka mendengar yang nyata walau pahit, dari pada manis tapi tidak nyata. Semoga dengan transisi, moga ada kesempatan berdiskusi, di tahun pemerintahan awal tolong dibantu. Solo akan sinergitas antar wilayah. Lalu ada Subosukowonosraten, setelah dua tahun, monggo MPPS bikin program yang sifatnya teknis,dan langsung bisa kerja kolaborasi. Saya bukan tipe duduk manis dan perlu diingat adanya Perencanaan, Implementasi dan Monev. Budaya belajar dan baca harus dikembangkan,”pungkas Astrid. (Ast)