Jaringan Visi Solo Inklusi Terus Gaungkan Aksesibilitas Publik Ramah Difabel

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Surakarta dikatakan sebagai pelopor Kota Inklusi, bahkan juga terdepan dalam penerbitan payung hukum perlindungan dan pemenuhan hak difabel yakni terbitnya Perda nomor 2 tahun 2008 tentang Kesetaraan Difabel, yang kemudian digantikan dengan Perda nomor 9 Tahun 2020 tentang Penyandang Disabilitas.  Namun, bukan berarti masyarakat lengah dengan prestasi tersebut, sebab sudah semestinya sadar bahwa predikat inklusi bukan hanya sekadar plakat atau slogan saja, tetapi semestinya sudah “mendarah daging” di setiap benak warganya. Berlatar belakang itulah kemudian Jaringan Visi Solo Inklusi, yakni sebuah wadah sekumpulan  aktivis  penyandang disabilitas baik sebagai pribadi maupun dari berbagai komunitas  menyerukan isu inklusi disabilitas dan inklusi sosial di Kota Surakarta. Salah satu kegiatan yang dihelat adalah Diskusi, Kajian Kritis Hukum tentang Aksesibilitas yang Ramah Difabel bekerja sama dengan Yayasan YAPHI pada Senin (9/12).

Fatimah Asri Mutmainnah, Komisoner Komisi Nasional Disabilitas (KND) yang menjadi narasumber diskusi mengatakan bahwa aksesibilitas di ruang publik, ini menjadi sangat penting karena adanya akar permasalahan seperti stigma negatif dan tidak bisa disuarakan dari awal. Seorang disabilitas perlu untuk membuktikan dirinya bahwa dia bisa berdiri memimpin organisasi masyarakat, bahkan sampai di Kantor Staf Presiden (KSP), seperti Sunarman Sukamto, yang juga hadir dalam diskusi. Bagaimana caranya? Difabel  bisa diantarkan pada ruang partisipatif, maka ada dua hal yang mengantarkan, yang melekat, yang tidak bisa dilepaskan yakni aksesibilitas dan akomodasi yang layak. Dua hal itu yang mengantarkan difabel pada sebuah partisipasi bermakna, setelah itu baru bisa difabel berkata kepada dunia bahwa setara. Sebab difabel  yang  tereliminasi sudah merupakan stigma negatif baginya.

Undang -Undang Dasar 1945 sudah berbicara tentang hak aksesibilitas yakni Hak Perlakuan Khusus, Hak Perlindungan lebih untuk disabilitas bisa berpartisipasi di ruang publik. Kemudian dikuatkan lagi ketika Indonesia meratifikasi CRPD, melalui Undang -Undang Nomor 19 tahun 2011 dan kemudian melahirkan Undang -Undang Nomor 8 Tahun 2016. Kemudian tergambar di sana yang aturan pelaksanaannya dielaborasi lebih pada peraturan pemerintah nomor 42 tahun 2020. Di sana sudah jelas tertera mana kewajiban pemerintah daerah untuk menyediakan mulai dari apa pedoman, penyusunan, pemukiman, dan  ruang publik.

Terkait peran pemangku kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan ketika sebuah komitmen dari pimpinan ditunjukkan bahwa dalam sebuah institusi dalam sebuah perencanaan program itu ada SOP yang berbicara terkait aksesibilitas. Ketika komitmen itu sudah ada, tidak cukup hanya sebuah komitmen namun langsung diterjemahkan dalam sebuah program dan harus diingat perlu bertanya kepada ahlinya dan ahlinya adalah difabel. Karena kalau tidak bertanya bagaimana mungkin ada sebuah kebutuhan yang bisa diakomodir dalam sebuah perencanaan program pembangunan yang khususnya yang ramah bagi kelompok masyarakat rentan terutama penyandang disabilitas.

Oleh karena itu, tambah Fatimah Asri,  dari 22 hak difabel yang termaktub  di dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 itu penting sekali bagaimana kemudian ada sebuah pelibatan yang tidak bisa ditinggalkan. Ada sebuah ruang -ruang yang harus disediakan bagaimana di setiap pengambilan keputusan teman disabilitas yang terlibat, maka perlu ada ruang -ruang yang harus disediakan,  perlu strategi interaksi yang baik antara pemangku kewajiban dan pemangku hak, sehingga perlu untuk menyemangati mereka. Maju tidaknya pembangunan inklusi di sebuah kota itu ditandai dengan riuhnya, maraknya, kencengnya suara advokasi dari organisasi penyandang disabilitas. Artinya tidak cukup bahwa ada sebuah komitmen atau rencana program dari pemerintah kota/kabupaten,namun harus membersamai dengan suara -suara yang menyuarakan hak penyandang disabilitas, membersamai pemerintah dengan cara menunjukkan, memberitahu bahwa penyandang disabilitas  punya kebutuhan.  “Inilah yang harus dipenuhi. Inilah yang harus diakomodir. Penting supaya perencanaan pelaksanaan tujuan ini bisa terukur dan menyasar dengan baik,”ujar Fatimah Asri. Ia menambahkan perlunya untuk membersamai itu tentu harus mengiringi dengan peningkatan-peningkatan kapasitas, pengetahuan –pengetahuan, terutama bahwa kita mengerti ada regulasi -regulasi yang memang hadir bicara tentang aksesibilitas di ranah publik.

Pamikatsih, Koordinator Jaringan Visi Solo Inklusi sebagai pembicara kedua mengatakan bagaimana Kota Surakarta menjadi kiblat, dari pemenuhan advokasi hak-hak penyandang kesehatan kondisi di kota-kota lainnya. Ia menjelaskan ada Perda nomor 9 Tahun 2020 dan secara nasional ada gerakan dari SGDs, yang  ternyata belum menguatkan hak-hak perempuan dan hak disabilitas dan kemudian muncul gerakan Gender, Equality, Disabilitty, Social Inclusion (GEDSI). Dan sudah semestinya yang setara dari semua kalangan masyarakat, tidak ada lagi kata “cacat” maupun “non cacat”.

Menurutnya, meski aksesibilitas terus digaungkan namun sangat memalukan ada guiding bloc berwarna hitam dan Pamikatsih mengajak para peserta seminar  untuk menonton video mengenai gambaran aksesibilitas di Solo yang menjelaskan bahwa masyarakat umum masih menganggap bahwa kebutuhan difabel  adalah hanya rehabilitasi. Pamikatsih  menambahkan bahwa dalam  kebijakan SGDs di tahun 2018, perlu memperhatikan pemenuhan  hak difabel yang  ada di 4 komponen ini : pemerintah, kelompok profesional, masyarakat, dan difabel.   Agar kehidupan inklusi bisa tercapai, maka perlu menyelaraskan mengenai empat pilar  tersebut.

Keempat komponen harus jadi satu, untuk itu dalam rangka mencapai tersebut, harus dilakukan perubahan paradigma dari  pemerintah, profesional, baik itu difabel dan keluarga serta masyarakat. Juga menjelaskan mengenai peran pemerintah, bahwa kebijakan-kebijakan harus disusun dan harus terus didorong untuk turunan undang-undangnya.

 

Launching “Buku Saku : Akses Sarana Publik Ramah Disabilitas”

Jaringan Visi Solo Inklusi menerbitkan Buku Saku: Akses Sarana Publik Ramah Disabilitas yang diluncurkan usai seminar. Isi buku mengupas tentang pemahaman disabilitas dalam rangka Undang-Undang Nomor 8/2016 tentang penyandang disabilitas, dari persoalan hambatan dan empat pilar dalam SDGs. Kedua, tentang aksesibilitas yakni fisik dan non fisik dalam bentuk gambar dan tulisan serta membuktikan bahwa aksesibilitas yang ada di Kota Surakarta masih belum aksesibel  karena ada banyak di beberapa tempat sudah tersedia guiding block kuning, tetapi ada yang dipakai untuk jualan.

Dalam kata sambutannya, Haryati Panca Putri, Direktur Pelaksana Yayasan Yaphi, menjelaskan bahwa tidak mudah mencoba untuk mengubah paradigma maupun kesadaran masyarakat, sehingga Jaringan Visi Solo Inklusi bersama Yayasan Yaphi mencoba untuk membuat buku saku dan diharapkan setidaknya dengan membuat buku saku, sebagai buku panduan maupun bacaan agar dari Yayasan Yaphi khususnya, bisa melakukan pelayanan dan juga bisa bersahabat serta mengetahui etika-etika bagaimana membangun relasi dengan teman difabel dan juga bermanfaat bagi masyarakat luas termasuk dampingan. “tentu ini hal yang harus kami upayakan terus-menerus agar kami menjadi lembaga yang betul -betul mewujudkan HAM,”pungkas Haryati Panca Putri dalam seminar dan diskusi yang dihadiri oleh para pemangku kewajiban seperti Dinas Sosial dan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) dan dimoderatori oleh Yohanes Handharu Pratistha.  (Renny Talitha/Ast)