Diskusi Publik Mendorong Penyusunan Road Map Pencegahan dan Penanganan TPPO Berbasis HAM

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Komnas HAM telah menjadikan isu Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) sebagai isu prioritas HAM pada periode 2022 sampai 2027. Pada tahun 2023 Komnas HAM juga telah membentuk tim monitoring efektivitas pencegahan dan penanganan TPPO dalam kerangka pelaksanaan mandat dan fungsi pengkajian dan penelitian yang didasarkan pada undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Salah satu langkah yang diambil oleh Komnas HAM untuk pencegahan dan penanganan TPPO adalah bekerja sama dengan organisasi masyarakat sipil yaitu Yayasan Integritas Justisia Madani Indonesia (IJMI) Mitra dari Internasional Justice Mission. Kerja sama tersebut diwujudkan dalam bentuk road map pencegahan dan penanganan oleh  Komnas HAM dan IJMI dengan menyelenggarakan bersama menyelenggarakan bersama, Kamis 5 Desember 2024 kegiatan yang bertajuk diskusi publik mendorong penyusunan road map pencegahan dan penanganan TPPO  berbasis HAM.

Di era globalisasi di mana kesempatan terbuka lebih banyak untuk kita bepergian lintas negara lintas pulau lintas benua, untuk mencari pekerjaan, untuk bersekolah atau belajar maupun mencari kesempatan-kesempatan untuk memperluas wawasan dan pengalaman. Batas negara katanya sudah hilang di era globalisasi tetapi kesempatan-kesempatan itu juga dengan berbagai tantangan dan juga ancaman termasuk salah satunya perdagangan manusia atau perdagangan orang perdagangan manusia yang sekarang sudah masuk sebagai satu tindak pidana, baik di Indonesia maupun di bagian dunia.  Yang lainnya menyasar semua kelompok, tidak hanya laki-laki tetapi juga perempuan, anak-anak, kelompok ekonomi lemah, tetapi juga dapat terkena kepada masyarakat dari kelompok ekonomi menengah yang mencari peluang.

Peluang ekonomi, pengetahuan dan pendidikan maupun kesempatan-kesempatan lainnya hal ini menjadi tantangan dari setiap bangsa.

Menurut Global Slavery Index (GSI) Indonesia adalah satu dari 10 negara dengan estimasi jumlah orang yang hidup dalam perbudakan terbesar di dunia tentu perbudakan di sini tidak bisa dibayangkan perbudakan seperti di zaman dahulu perbudakan modern istilahnya model delivery itu samar dan sulit diidentifikasi karena terselubung sifatnya hubungan-hubungan kerja sosial yang mengandung eksploitasi. Hal itu dapat dikatakan sebagai perbudakan moderen sering kali luput dari pengamatan, apakah masyarakat maupun pejabat publik di tingkat daerah maupun pusat.

Tahun 2020 hingga 2022 tercatat sekitar 1200 pekerja migran Indonesia yang menjadi korban TPPO scamming di kawasan Asia Tenggara dan terjadi peningkatan kasus yang signifikan hingga 752 kasus pada Tahun 2022, di mana korban terbanyak terjadi di kawasan Asia Tenggara. Sementara itu Badan Perlindungan Pekerjaan Migran Indonesia atau Badan Pelindungan Pekerja Migran (BP2MI), mencatat sebanyak 5. 800 calon pekerja migran non prosedural yang menjadi korban TPPO yang telah diselamatkan oleh BP2MI dengan modus TPPO. Modus itu bermacam-macam seperti melalui jalur-jalur konvensional penyaluran atau pengiriman tenaga migran tenaga kerja migran propaganda melalui media sosial. Ini juga implikasi dari globalisasi penggunaan teknologi informasi digital dan juga propaganda melalui lembaga-lembaga pelatihan kerja. Mereka juga mengalami kekerasan fisik kekerasan seksual termasuk pelanggaran kontrak kerja atau perjanjian kerja tinggal gaji yang tidak dibayarkan.

Komnas HAM juga membangun kemitraan dengan berbagai pihak, salah satunya yaitu yayasan integritas dari internasionalnya international Just Yayasan Integritas Justitia Madani Indonesia (IJMI) telah diresmikan di dalam rangkaian festival hak asasi manusia di kota Bitung pada 2024. Salah satu yang akan dilakukan dalam kerjasama ini adalah mendorong pencegahan dan penanganan berbasis hak asasi manusia, mencegah dan menangani melalui pendekatan kepolisian keamanan keselamatan jiwa penegakan hukum kementerian luar negeri melalui perlindungan negara Indonesia perwakilan Indonesia di luar negeri.

Abdul Kadir Karding, mengatakan telah melakukan pemetaan masalah di kementerian yang pada prinsipnya sebenarnya masalah yang terjadi terkait dengan pekerja migran, nomor publiknya itu ilegal/non prosedural dengan administrasi negara ini kemudian negara tidak bisa memantau, tidak punya data tentang keberadaan seseorang pekerja, tidak tahu tempat tinggalnya, tidak tahu dia bekerja dengan siapa-siapa yang mengirim. Apakah dia pakai visa melancong atau visa kerja, apakah dia punya sertifikasi atau tidak. Itu tidak tahu dan cukup besar, lebih besar dari yang terdaftar.

Kalau mau menyelesaikan masalah korban atau tidak semua 60-70%. Ia memperkirakan korban TPPO itu adalah PMI tapi PMI yang mana yang prosedural, yang antar saudara, nanti boleh diteliti.

Dilihat dari  data penelusuran kasus atau data kasus yang ada di Kementerian, rata-rata yang banyak masalahnya itu, artinya dia terdaftar register itu, relatif tidak ada masalah walaupun itu informal, walaupun ini formal atau domestik. Jadi menurut Abdul Kadir salah satu kunci paling utama adalah harus memastikan bahwa orang yang mau ke luar negeri harus menurut Undang-Undang 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran  adalah warga negara atau orang yang bekerja di luar wilayah Indonesia dan mendapatkan upah matang. Misalnya atas nama universitas, bekerja sama dengan universitas apa, perusahaan,atas nama lembaga pelatihan kerja, bekerja sama dengan perusahaan di luar atas nama perusahaan, untuk perusahaan bekerja magang di luar atas nama sekolah, dikdasmen, misalnya bekerja di luar itu artinya mereka dapat uang.

Ada contoh-contoh kasus di Korea ada 11 pelaut tenggelam bersama pelaut-pelaut Korea yang bekerja di perusahaan kapal Korea. “Jangan pernah bermimpi TPPO bisa selesai, jangan pernah bermimpi soal-soal Pekerja Migran Indonesia (PMI) selesai, tidak akan, makanya kami sedang melakukan satu upaya. Salah satunya jadikan ini satu pintu keluar, itu hanya satu, entah bagaimana caranya mau regulasinya sama. Mau apapun itu harus dilakukan. Yang kedua kalau kita lihat data rata-rata PMI rata-rata informal atau domestic worker-lah dan rata-rata paling banyak perempuan karena dia informal. Mereka rata-rata tidak punya skill atau inilah kemudian menjadi modus bagi penerima. Jadi PR besar kita  adalah bagaimana mengirim kerja dengan skill yang baik atau yang formal bahasanya kita formalkan yang informal kita formalkan dengan menata sertifikasi,”ujarnya Abdul Kadir. (Ast)