Catatan akhir tahun dari Kongres Perempuan, catatan Komnas Perempuan di tahun 2023 terdapat banyak sekali kasus kekerasan terhadap perempuan. Minimal mereka mencatat terdapat 289. 111 kasus yang juga secara langsung Komnas Perempuan membuka pintunya untuk pengaduan langsung. Kongres perempuan memperoleh laporan dari korban sebanyak 4. 347 kasus kekerasan terhadap perempuan. Dari jumlah itu 3000 di antaranya adalah kasus kekerasan berbasis gender. Data ini juga dikonfirmasi dari Kementerian Perlindungan Perempuan dan Anak pada bulan april 2024 terdapat 2.681 di lingkungan perguruan tinggi yang merupakan bentuknya laporan. Jadi yang berani melaporkan tentu tidak berbanding lurus dengan kejadian sesungguhnya.
Berlatar belakang itulah Universitas Atmajaya Jakarta belajar banyak dan berharap akan mengetahui polanya dan berusaha dan mampu mencegah hal-hal kekerasan seksual ataupun kekerasan bentuk-bentuk lain di kampus. Dorongan dan penguatan sistem laporan misalnya untuk memudahkan akses bagi kawan-kawan terutama mahasiswi untuk bisa melaporkan apa yang terjadi itu menjadi catatan penting bagi kampus. Empati terhadap korban ini juga salah satu kampanye yang selalu mereka bagikan karena prioritasnya. Juga berharap bisa belajar dari banyak perguruan tinggi yang lain tentang bagaimana layanan yang lebih komprehensif, bukan hanya sekadar melindungi korban tetapi juga menguatkan dan membuat korban tersebut menjadi penggiat di dalam penghapusan kekerasan baik itu seksual kekerasan di lingkungann kampus, terutama untuk kawan-kawan muda yang juga berkecimpung di dunia akademisi sehingga tema Safe Space for All untuk mencegah kekerasan seksual di dunia kampus serta meningkatkan akses layanan bagi korban merupakan tema yang sangat penting.
Mariana Amirudin pada even Diskusi Publik Safe Space for All, Pencegahan Kekerasan Seksual di Kampus dan Akses Layanan Bagi Korban, yang dihelat oleh Universitas Atma Jaya,Rabu (4/12)memberikan penghargaan yang mendalam kepada para perempuan korban kekerasan berbasis gender yang telah menunjukkan keberanian luar biasa dalam perjuangan mereka untuk bertahan dan bangkit dari pengalaman traumatis, tidak terkecuali para korban atau para penyintas yang ada di lingkungan kampus di seluruh Indonesia. Dan sekarang saat di Universitas Atmajaya yang memiliki keinginan untuk memiliki Safe Space for All sehingga dalam setiap kegiatan pendidikan mahasiswa merasa aman, mengingat pentingnya keadilan perlindungan dan juga pemulihan yang harus menjadi prioritas utama buat semua.
Mariana juga memberikan penghormatan kepada para perempuan pembela hak asasi manusia yang tak kenal lelah berjuang bersama-sama Komnas Perempuan di garis depan untuk memastikan pemenuhan hak-hak korban sehingga mereka ini adalah inspirasi bagi semua untuk terus bergerak melawan ketidakadilan dan menegakkan nilai-nilai kemanusiaan.
Diskusi publik bertajuk Safe Space for All pencegahan kekerasan seksual di kampus dan akses layanan bagi korban diskusi ini merupakan bagian dari kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) yang menjadi momentum penting dalam upaya bersama menghapuskan kekerasan terhadap perempuan di berbagai ranah termasuk lingkungan pendidikan tahun 2024 ini. Komnas Perempuan telah melakukan konsolidasi di Jakarta dan daerah yang melibatkan berbagai pihak dan menghasilkan tema kampanye yang berjudul lindungi semua, penuhi hak korban, akhiri kekerasan terhadap perempuan, ajak masyarakat bergerak bersama menyuarakan perlindungan bagi semua perempuan baik di ranah personal maupun ranah publik sebagai pekerja formal maupun informal. Juga menyuarakan pemenuhan hak korban atas penanganan dan pemulihan serta bersama-sama mendukung upaya mengakhiri kekerasan terhadap perempuan.
Catahu Komnas Perempuan mencatat jumlah pengaduan kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2023 di mana sebanyak 289. 111 kekerasan berbasis gender atau KBG dan ini masih didominasi oleh kekerasan terhadap perempuan di ranah personal yang sebanyak 98, 5%, kemudian ranah publik sebanyak 1, 4% dan ranah negara ada 0, 1%. Selama tahun 2023, Komnas Perempuan juga telah menerima pengaduan sebanyak 4. 347 dengan 3. 303 kasus di antaranya merupakan kasus kekerasan berbasis gender. Dengan jumlah ini berarti rata-rata Komnas Perempuan menerima pengaduan sebanyak 16 kasus setiap hari. Padahal Komnas Perempuan bukanlah lembaga pendampingan namun ekspektasi masyarakat, Komnas diharapkan sebagai lembaga yang bisa mendengarkan pengalaman korban. Kemudian melakukan rekomendasi kepada lembaga-lembaga yang memiliki kepentingan terhadap kasus-kasus ini menjadi salah satu acuan bagi masyarakat maupun stakeholder negara republik ini untuk menangani pencegahan dan penanganan terhadap perempuan yang mengalami kekerasan. Aduan yang masuk ke Komnas Perempuan sebagiannya terdapat aduan kekerasan di lingkungan pendidikan termasuk kampus yang harusnya menjadi ruang aman untuk mengemban pendidikan namun bisa menjadi ruang yang tidak sepenuhnya aman bagi perempuan. “Kekerasan seksual di kampus bukan hanya melukai individu tapi juga merusak nilai-nilai keadilan dan rasa aman di ruang akademik,”demikian tutur Mariana Amirudin.
Oleh karenanya diskusi sangat relevan untuk menjawab dua pertanyaan dasar yaitu bagaimana mencegah kekerasan seksual di kampus dan bagaimana memastikan akses layanan yang memadai bagi korban.
Kampus seharusnya menjadi Safe Space ruang aman bagi siapapun untuk mengajar berkembang dan berprestasi tanpa rasa takut upaya pencegahan kekerasan seksual ini tidak hanya menjadi tanggung jawab institusi pendidikan, tetapi juga tanggung jawab bersama para mahasiswa, tenaga pendidik, pemerintah dan juga masyarakat sipil.
Veryanto Sitohang, Komisioner Komnas Perempuan yang menjadi narasumber mengatakan bahwa satu korban sesungguhnya lebih dari cukup. Karena kalau dilihat misalnya angka penting, tetapi di balik angka itu pasti banyak kisah yang terjadi sehingga perlu memetik pembelajaran dari situ. Ia mencoba mengutip data tahun 10 tahun terakhir satu dekade, Komnas Perempuan itu mencatat jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan mencapai 2.560.000.
Menurut Very, walaupun sejak tahun 2004 sudah punya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Lantas ada pertanyaan, mengapa mereka butuh waktu untuk speak up? Sebab yang menjadi pelaku kekerasan adalah orang yang paling dekat dengan korban misalnya : suaminya, ayahnya, dan seterusnya. Kasus kekerasan seksual dalam 10 tahun terakhir tercatat hampir 150.000 kasus.
Kemudian ada orang yang berkomentar, hari ini ada korban kekerasan seksual lapor sementara kejadiannya itu bertahun-tahun yang lalu. Menurut Veri harus ditolak karena negatif terhadap korban.”Kok, baru sekarang sih ngomong, kenapa kemarin-kemarin nggak ngomong, kenapa baru sekarang?” Apakah dia ingin membunuh karakter pelakunya jadi yang dibela adalah pelaku termasuk di kampus juga begitu di kampus misalnya kejadiannya satu atau dua tahun yang lalu, kemudian ketika dia speak up, orang akan menuding dia macam-macam. Apalagi kalau pelakunya orang yang memiliki pengaruh di kampus misalnya orang yang banyak bawa proyek ke kampus misalnya penelitian. Dia memiliki kolega yang cukup kuat sehingga tuduhan kepada korban adalah “Oh, dia ingin menghancurkan reputasi dosen.”Kemudian korban berpikir dua tiga kali untuk berani speak up, belum lagi korbannya harus memulihkan diri dulu. Dia harus berjuang dulu mengalahkan rasa takutnya, mengalahkan traumanya, baru kemudian berani bicara, karena itu harus disampaikan sesungguhnya ruang aman untuk perempuan korban kekerasan itu masih sulit di Indonesia.
Kalaupun sudah cukup banyak kebijakan-kebijakan, apalagi menciptakan ruang aman yang inklusif misalnya.Karena perempuan difabel korban dianggap tidak berdaya apalagi ketika dia berani bicara infrastruktur yang belum cukup memadai memenuhi kebutuhan korban misalnya, sebab tidak semua pendamping paham bagaimana cara mendampingi perempuan dengan disabilitas yang menjadi korban perkosaan. Apalagi misalnya kalau dia disabilitas ganda misalnya menggunakan bahasa isyarat kalau dia disabilitas wicara yang tidak paham misalnya,bagaimana mengontrol, mengelola emosi yang dia menjadi perempuan dengan psikososial. Itu akan menjadi situasi khusus. Belum lagi penegakan hukum aparat penegak hukum yang tidak terlalu paham.
Feronica, Dosen Unika Atma Jaya dan Koordinator Bidang Penanganan Hukum di Pos SAPA Unika Atma Jaya mengatakan bahwa dengan Permendikbudristek PPKS sebelumnya, implementasinya luar biasa dan sangat didukung oleh Komnas Perempuan, juga punya perjanjian kerjasama PKS. Satgas PPKS dari awal hingga sekarang baik karena seluruhnya mendukung. Juga banyak mendapat inside begitu dari Universitas Atmajaya juga terkait dengan PPKS sebelumnya. Jadi kalau ditanya, apa yang sudah dilakukan? di awal tahun 2021 ketika menerbitkan Permendikbudristek nomor 30 tahun 2021 dengan perbandingan dan penanganan kekerasan seksual dilakukan perguruan tinggi memang memandatkan seluruh perguruan tinggi itu untuk memiliki Satgas PPKS karena harapannya dengan kasus kekerasan seksual yang paling tinggi, sekitar 70% yang dilaporkan.Jadi kemendikbudristek ingin gerak cepat untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual agar tidak semakin banyak. Ada peningkatan kapasitas untuk satgas dan lain sebagainya menjadi membaik dan disempurnakan lagi dengan Permendikbudristek Nomor 55 55 Tahun 2024.
Kekerasan seksual ternyata bukan hanya perempuan korbannya, walaupun itu yang terbanyak, tapi juga pada laki-laki. Kalau di era sebelum TPKS, pencegahan memang dilakukan dan sudah ada payung hukum. Jadi sebenarnya tidak diturunkan dalam bentuk kebijakan di universitas. Juga sebenarnya sudah tunduk, tapi kemudian diturunkan oleh Universitas, standar perilaku atau kode etik untuk dosen karyawan. Kemudian untuk mahasiswa pedoman perilaku. Jadi sebelum hadirnya PPKS, memang pedoman itu kemudian diimplementasikan. Jadi ketika terjadi kekerasan di lingkungan kampus, larinya para korban itu ke unit-unit misalnya ada di fakultas hukum, itu akan melapor ke pimpinan, ke dosen atau Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum (PKBH).
Dengan hadirnya PPKS memang jadi kelihatan jelas komitmen dari universitas khususnya untuk mengkomprehensifkan atau untuk mensistematis semua tentang prosedur, penanganan, pencegahan dan pendampingan korban. Jadi di tingkat universitas, mahasiswa, dosen, jadi jelas ke mana mereka harus melapor. Memang mengenai ruang aman ini sebenarnya bukan hanya dilihat “Oh, kita ada fisiknya nih, ruangan, tapi juga ternyata para korban itu melihat kepada siapa mereka harus melapor.” Walaupun sudah ada PPKS, korban-korban ternyata juga melapornya lewat jalur yang lain melapor misalnya tetap ke pimpinan program studi fakultas. Demikian diungkapkan oleh Feronica.
Terkait Permendikbud Nomor 55 tahun 2024, sejauh mana pemerintah untuk mengimplementasikan Permendikbud itu dan bagaimana pendekatan inklusif bisa diimplementasikan di kampus? Bahwa ada penyempurnaan dari Permendikbudristek 30 Tahun 2021 menjadi Permendikbudristek 55 tahun 2024 atau Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi (PPKPT).Sekarang sudah ada bentuk kekerasan lain yang diatur hingga jadi ada enam bentuk kekerasan yaitu kekerasan fisik, psikis, perundungan, kekerasan seksual, diskriminasi dan intoleransi.
Secara data, kasus PKS masuk di Kemendikbudristek sebanyak 49%. Memang masih kasus kekerasan seksual yang paling tinggi. Akhirnya mereka melakukan konsultasi publik dan dipetakan kekerasan-kerasan yang terjadi di perguruan tinggi dan dihasilkan 6 bentuk kekerasan. Dan ini sejalan dengan kekerasan yang terjadi juga di sekolah, di satuan pendidikan. Satuan pendidikan sebetulnya tidak hanya sekolah karena ada yang non formal, sehingga akhirnya disempurnakan menjadi Permendikbudristek nomor 55 Tahun 2024 untuk menjadi komitmen semakin menyempurnakan yang terjadi di perguruan tinggi. Di luar kasus-kasus kekerasan dan bukan merupakan Tridharma, ada mekanisme rujukan artinya Satgas juga ada batasan wewenang karena tidak mungkin semua diurusi oleh Satgas sehingga yang di luar Tri Dharma, di luar enam bentuk kekerasan itu bisa ditangani oleh pihak yang berwenang di perguruan tinggi untuk pelanggaran etik atau pelanggaran disiplin.(Astuti)