Isu perempuan selalu bersinggungan erat dengan budaya patriarki dan anak pinaknya yang sudah terlanjur "mbalung sungsum". Tidak berlebihan bukan? Karena budaya patriarki memang sudah selekat itu dengan kehidupan sosial dan tak kunjung lekang oleh waktu. Pengetahuan semakin berkembang, pola pikir semakin terbuka, teknologi semakin modern namun orang-orang yang memilih tetap dalam jeruji patriarki pun semakin garang menunjukkan kekuasaannya seolah ingin tetap memegang kuasa dalam berbagai lini kehidupan. Lagipula, tidak perlu teropong canggih untuk melihat fakta ini, hanya cukup membuka mata dan melihat dari hal yang terdekat. Alih-alih terus menambahkan daftar panjang segala tindakan dan akibat yang ditimbulkan dari ulah kaum patriarki, mari mulai ambil langkah sederhana untuk mengikis sedikit demi sedikit dengan harapan suatu saat budaya patriarki hanyalah bagian dari sebuah sejarah.
Pertama, mengakui keberadaan seseorang sebagai manusia utuh yang memiliki kuasa penuh atas tubuhnya. Budaya patriarki telah memposisikan tubuh perempuan untuk tunduk dan patuh pada norma dan kebiasaan tanpa memberikannya ruang untuk mengambil pilihan, dan mirisnya hal ini sudah terjadi sejak ia dilahirkan. Contohnya adalah budaya menindik bayi perempuan. Menindik bayi perempuan seolah telah menjadi sesuatu yang otomatis harus dilakukan ketika bayi lahir dengan vagina sebagai alat kelaminnya. Hal ini dilakukan dengan berbagai alasan seperti, untuk memberikan tanda jenis kelamin si bayi atau anggapan bahwa ketika masih kecil maka bayi tidak akan terlalu merasakan sakit. Mari kita berdiskusi hangat soal ini.
Sebegitu pentingkah mengetahui setiap bayi yang kita temui berjenis kelamin perempuan atau laki-laki? Sekedar ingin tahu atau sebagai bahan untuk berkomentar lebih lanjut seperti "wah ganteng ya" atau "anak cewek nangisnya keras ya kaya anak cowok" Atau sebagai referensi ketika akan membelikan hadiah? Hehe.. Apapun alasannya, masih ada cara lain untuk mengetahuinya yaitu dengan bertanya tanpa perlu tebak-tebak berhadiah hanya berdasarkan kesimpulan pribadi setelah melihat telinga si bayi.
Alasan lainnya adalah mumpung masih kecil karena menindik ketika sudah dewasa akan terasa lebih sakit. Sejauh pengetahuan dan sharing dari beberapa orang tua yang memilih menindikan bayinya, si bayi akan menangis ketika ditindik. Bukankah tangisannya sudah cukup memberitahu bahwa dia merasakan sakit? Bukan karena dia tidak mengeluh dengan kata-kata, maka dapat disimpulkan bahwa dia tidak merasakan sakit. Ya benar bahwa telinganya yang masih terbilang lunak akan lebih mudah ketika ditindik dan rasa sakit yang ditimbulkan tidak separah ketika ditindik ketika dewasa dengan telinga yang sudah lebih keras. Tapi perlu diingat juga, kadar menahan sakit seorang bayi pun tidak seperti orang dewasa. Menyadari bahwa hal itu menimbulkan kesakitan, mengapa kita tidak menunggu saja sampai si empunya tubuh mengambil pilihan untuk ditindik atau tidak atau ditindik dengan model seperti apa.
Menindik memang terdengar sederhana dan bukan sesuatu yang layak dipersoalkan. Sama seperti orang tua yang memilih menindik bayi perempuannya dengan banyak alasan, tidak menindik bayi perempuanpun juga sebuah pilihan. Tentu tidaklah mudah untuk mengambil pilihan itu, karena harus siap dengan berbagai komentar yang dilontarkan namun setidaknya ada satu keyakinan bahwa mengakui keberadaan si bayi perempuan sebagai manusia utuh yang memiliki hak penuh atas tubuhnya adalah hal yang seharusnya dilakukan. Dan untuknya si bayi perempuan, kebebasan dan pengakuan bisa menjadi hadiah pertama dalam kehidupannya.
Kedua, mulai tanamkan nilai-nilai kesetaraan sedini mungkin. Cara berpikir dan cara bertindak seseorang tentu dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah pola asuh yang didapat ketika masih kanak-kanak. Dan tanpa disadari, sejak anak lahir sudah dijejali dengan cara pandang stereotip gender melalui pilihan warna baju, pilihan mainan, dan lain sebagainya. Menurut informasi yang diperoleh dari berbagai sumber, salah satunya Tempo.co disebutkan bahwa pemisahan warna sebagai pelabelan terhadap jenis kelamin, baru muncul pada awal abad 20 di Amerika Serika dan menurut sosiolog dari University of Maryland, Philip Cohen, pemilahan warna untuk penanda jenis kelamin merupakan satu dari sekian banyak strategi pasar. Hal itu berkaitan dengan dunia bisnis. Namun seiring berjalannya waktu, masyarakat juga menggunakan warna untuk melabeli identitas gender seseorang, contohnya ketika laki-laki menggunakan pakaian atau aksesoris berwarna pink maka akan mendapatkan label laki-laki feminim. Tak perlu menunggu dewasa, kebanyakan anak laki-laki pun ketika diminta menggunakan baju atau perlengkapan sekolah berwarna pink, mereka akan menolak karena malu dan biasanya mereka akan berucap “masak laki-laki pakai warna pink”. Dari mana munculnya? Jelas dari apa yang ditanamkan oleh orangtuanya melalui kebiasaan sejak ia dilahirkan.
Belum lagi soal mainan, anak laki-laki diidentikkan dengan mainan mobil-mobilan atau robot sedangkan perempuan diidentikkan dengan boneka atau masak-masakan. Semua mainan memiliki manfaat pada aspek tertentu. Sudah banyak jurnal dan penelitian yang menerangkan bahwa bermain boneka melatih keterampilan sosial dan mengasah empati anak sedangkan bermain mobil-mobilan akan melatih anak untuk berlogika. Jika keduanya bermanfaat, mengapa tidak dimainkan semua tanpa dibedakan menurut jenis kelamin anak?
Lalu, apa hubungannya mainan dengan pelanggengan budaya patriarki? Bayangkan saja jika sejak kecil anak mengenal bermain masak-masakan adalah mainan anak perempuan, maka sampai usia dewasa pun mereka akan berpikir bahwa tugas memasak adalah tugas perempuan atau istri didalam konteks berumah tangga.
Budaya Patriarki bak lingkaran setan yang butuh keberanian untuk memutusnya dan pola asuh patriarki akan semakin mempertebal lingkaran tersebut. Mengubah kebiasaan memang bukanlah hal yang mudah, terlebih jika sudah secara turun temurun diwariskan dari generasi ke generasi. Namun semua pilihan ada pada kita, setitik langkah yang kita ambil mungkin akan nampak tidak berdampak apapun saat ini. Namun setidaknya apa yang kita lakukan dapat mengikis sedikit demi sedikit budaya patriarki dan pada akhirnya membentuk budaya kesetaraan. (Dorkas Febria Krisprianugraha)