NGO-PHI #14 : Ketahanan Pangan dan Masyarakat Adat

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Bertempat di ruang podcast,  pada 20 Oktober 2024 lalu, Yayasan YAPHI mengadakan program Ngobrol bareng YAPHI (NGO-PHI) ke-14. Program siaran dipandu oleh Yosi, Handharu, dan Vera. Hadir sebagai narasumber adalah Sartika, seorang peneliti dan dosen dari UGM Yogjakarta. NGO-PHI kali ini ngobrol atau membahas soal ketahanan pangan dan masyarakat adat.

Yosi menyampaikan bahwa di tanggal 16 Oktober akan ada peringatan hari pangan sedunia, sehingga apa yang akan diobrolkan tidak jauh dari hal tersebut. Vera mengawali dengan menyampaikan kegelisahannya terkait dengan situasi di wilayahnya, yaitu Delanggu. Delanggu yang merupakan lumbung pangan di Jawa Tengah saat ini situasinya telah berubah. Salah satu faktor perubahan tersebut adalah masuknya perusahaan air mineral di wilayah tersebut. Semenjak masuknya perusahaan tersebut, sumur-sumur air menjadi kering dan keruh karena tercampur pasir. Akhirnya Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) masuk, dan dampaknya masyarakat yang dulunya bisa mengakses air secara gratis kini harus membayar.

Berikutnya terkait dengan persawahan (padi), mengalami penurunan hasil disebabkan oleh hama (tikus dan belalang). Munculnya banyak hama ini karena masa panen yang cukup dekat, dalam satu tahun bisa 3-4 kali panen. Dalam hal ini, tanah dipaksa untuk terus bekerja tanpa masa istirahat. Beberapa varietas gabah telah hilang. Ada upaya dari pemerintah untuk mengembalikan lagi varietas beras Raja Lele yang dulu sempat hilang. Namun, kualitas yang dihasilkan menurut Vera sudah berbeda dengan raja lele yang dulu, dimana ada yang ukurannya kecil bahkan kopong. Itu hal yang sempat ditemui oleh Vera terkait dengan situasi pangan lokal di wilayahnya. Vera menambahkan juga bahwa Delanggu adalah salah satu wilayah yang terkena Program Strategis Nasional (PSN), yang dampaknya wilayah persawahan menjadi semakin menurun. Selain itu, di dalam Perda RTRW, Delanggu juga kini ditetapkan sebagai wilayah industri.

Sartika memberi tanggapan dengan menceritakan pengalamannya bahwa masyarakat adat tidak selalu tentang suku-suku atau masyarakat yang terpencil. Di Banten ada komunitas Badui. Badui dalam biasa menggunakan pakaian serba putih atau hitam tanpa mengenakan alas kaki, sedang Badui luar menggunakan baju berwarna dan mengenakan alas kaki. Sekalipun di dalam komunitas ada larangan untuk menggunakan gawai, namun ada juga di antara mereka yang menggunakan handphone, bahkan memiliki sosial media (tiktok, instagram). Untuk transaksi jual-beli, mereka juga sudah menggunakan layanan transfer bank.

Di sini dapat dilihat bahwa masyarakat adat ternyata berinteraksi juga dengan orang-orang di luar komunitasnya, baik untuk jual-beli ataupun kaitannya dengan pekerjaan. Menurut Sartika, saat ini sudah tidak ada lagi komunitas adat yang terisolasi. Tentang apa yang terbersit tentang masyarakat adat, Vera menyebutkan tentang tradisi. Handharu menyebutkan bahwa di dalam masyarakat adat pasti ada sesuatu yang diturunkan/diwariskan. Sedangkan Yosi menanyakan sejak kapan masyarakat ada itu muncul.

Sejarah Masyarakat Adat dan Ketahanan Pangan

Sartika menjelaskan bahwa masyarakat hukum adat muncul dari dua faktor, yaitu kewilayahan dan turun-temurun (tradisi). Masyarakat hukum adat juga terus berkembang sebagaimana masyarakat pada umumnya. Kaitannya dengan ketahanan pangan, pada awalnya masyarakat adat hanya memproduksi pangan untuk internal mereka saja, tidak dalam rangka menghasilkan komoditas untuk dijual.

Dalam perjalanannya, ketika muncul pajak atas tanah mereka, mau tidak mau mereka juga harus bisa menghasilkan uang untuk membayar pajak tersebut. Belakangan muncul banyak konflik tenurial berkaitan dengan masyarakat adat dan wilayahnya. Masyarakat ada tidak dapat berbuat banyak ketika harus berhadapan dengan penguasa yang melakukan segala sesuatunya secara sistematis, terstruktur, dan meluas untuk merebut tanah mereka.

Kedaulatan pangan bukan berarti semua harus dihasilkan sendiri tapi juga bisa melalui proses pertukaran dengan pihak luar. Pertanian subsisten berkembang ke arah pertanian yang diterima oleh pasar. Kedaulatan pangan harus dilihat juga dalam konteks politik mikro dan makro. Ada kaitan antara kedaulatan pangan dan penguasaan terhadap tanah. Secara mikro itu bisa dilihat dari angka stunting. Jika stunting tinggi berarti masih ada masalah di dalam pemenuhan gizi ibu hamil. Kenapa ibu hamil bisa kekurangan gizi itu yang menjadi pertanyaan. Kedaulatan yang tertinggi adalah kedaulatan atas tubuh, khususnya tubuh perempuan. Tubuh perempuan masih sering dijadikan sebagai alat tukar melalui perkawinan.

Bicara kedaulatan tanah ada dua  hal, yaitu masyarakat yang tidak punya alat produksi (tanah) dan masyarakat yang memiliki alat produksi namun alat produksi yang diimiliki tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan. Perlu ada intervensi dari negara untuk melakukan pembagian tanah yang adil agar masyarakat memiliki jaminan hidup yang layak, itu sudah ada dalam konstitusi.

Orang-orang yang mengerjakan sawah di Bali kebanyakan adalah orang luar. Artinya, bila ada masyarakat yang mempertahankan wilayah pertaniannya belum tentu masyarakat itu sendiri yang mengerjakan. Handharu kemudian menanyakan juga terkait bentuk bukti kepemilikan tanah masyarakat adat. Dijawab oleh Sartika, bahwa tanah di Bali terkomunalisasi, karena pada saat PTSL yang diterbitkan adalah hak milik desa. Jika penguasaan tanah komunal meningkat maka penguasaan tanah individu mengecil, dan sebaliknya. Di Bali penguasaan tanah secara komunal sangat kuat. Sertifikat diberikan atas nama desa adat bukan perseorangan, termasuk rumah-rumah dan kios-kios. Timbul kekhawatiran jika tiba-tiba tanah dipindahtangankan.

Berbeda jika di Nusa Tenggara Timur (NTT). Di NTT kepemilikan individu tinggi namun untuk melakukan suatu perbuatan hukum harus seizin dari ketua adat. Dalam konteks adat, proses jual beli tanah tidak sesederhana biasanya. Jika sudah atas nama pribadi, belum tentu itu bukan tanah adat. Dalam kepemilikan tanah komunal, semua berhak, dan tidak semua berhak. Handharu kemudian menanyakan apa itu ulayat. Sartika memberi penjelasan bahwa dasar hak ulayat adalah kewenangan mengatur atas wilayah. Negara tidak memiliki namun menguasai tanah. Cara negara menguasai adalah dengan membuat aturan.

Sama halnya dengan negara, masyarakat hukum adat juga bisa membuat aturan, misalnya terkait RTRW, mana kawasan hutan, kantor kepala desa, rumah warga, kuburan, dll. Hak ulayat sebetulnya merupakan hak atas wilayah. Masyarakat hukum adat selain memiliki hak publik, juga memiliki hak privat. Pengadministrasian milik ini dalam konteks negara berkembang menjadi 2 hal, ada yang disebut sebagai Hak Pengelolaan (HPL) dan Hak Komunal. Kepemilikan perseorangan, bisa secara invidu namun bisa juga klan. Tanah ulayat merupakan tanah yang tidak dibagi-bagikan karena peruntukannya untuk persekutuan/bersama. Hak komunal tidak perlu penetapan melalui perda masyarakat hukum adat seperti  Pendaftaran Tanah Sstematis Lengkap (PTSL), berdasarkan kesepakatan klan sedangkan tanah persekutuan (publik) perlu ada pengakuan dari komunitas adatnya terlebih dahulu.

Untuk hutan berbeda lagi. Pengakuan secara subjek tidak serta merta memberikan pengakuan untuk objeknya. Perlu dicari terlebih dahulu kerentanannya dimana agar diperoleh kepastian perlindungan hukumnya. Ini menunjukkan ketika bicara soal tanah tidak pernah lepas dari relasi sosial yang ada di dalamnya, baik hubungan antara manusia dengan alat produksinya, manusia dengan manusia yang lainnya, manusia dengan kelompok lainnya ataupun manusia dengan negara dan juga aspek spiritualnya sebab aspek spiritual juga lahir dan berkembang dari adanya interaksi antara manusia dengan alam. (Yosi Krisharyawan)