Albert Wirya LBH Masyarakat (LBHM) menjadi salah seorang narasumber pada diskusi Difabel Lawyer Club yang diselenggarakan oleh Sigab Indonesia terkait Akomodasi yang Layak bagi difabel berhadapan dengan hukum mengatakan bahwa LBHM telah melakukan riset pada tahun 2018-2020. Temuannya antara lain adalah sudah ada pembaruan di empat hal : tujuan permohonan, proses pemeriksaan, penetapan hakim, berita acara pembatalan.
Pada proses penetapan yang sifatnya parsial yakni adanya aksi membatasi porsi kewenangan, seperti "Apa orang ini bisa diampukan? ". Apakah pada kasus ekonomi atau medis atau menempatkannya di panti. Terkait soal pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM), dan pemantauannya, menurut Albert momentum penyusunan Raperma sangat baik. Namun dalam proses pembuatan Raperma ini perlu dilihat lagi dalam beberapa aspek berkaitan proses pemeriksaan, ada poin yang lebih tepat bahwa penyandang disabilitas perlu dimintakan keterangan dalam persidangan dengan memberikan kesempatan mereka bersuara alias berbicara sehingga ia menjadi subjek hukum itu sendiri. Saran dari LBHM, mohon difasilitasi dengan perbaikan permohonannya.
Kaitannya tentang penetapan hakim. Menurut pengamatan LBHM selama mayoritas permohonan pengampuan diterima. Maka, cobalah untuk dibatasi. Kedua adalah berkaitan bagaimana penetapan hukum. Masih ada anggapan dan pemikiran saat ini bahwa pengampuan ditetapkan secara absolut jadi tidak ada batas waktu dan kewenangan-kewenangan yang tetap.
Banyak praktik yang hanya mengandalkan bagaimana riwayat pasien dengan mudah dianggap memerlukan pangampuan dan Albert melihat itu. Pengampuan tersebut tidak ada keterangan dari terampu. Ini yang harus mendapatkan perhatian dengan lebih serius.
Supported Decision Making yang Seperti Apa yang Ideal
M.Syafi'i, dari Pusat Studi Hukum UII saat ditanya terkait Supported decision making itu apa? Ia menjelaskan bahwa difabel sudah punya riset panjang bagaimana saat mereka berhadapan dengan hukum, baik dalam hukum pidana, perdata dan administrasi serta ada juga pembacaan kritis terhadap regulasi di Indonesia misal ada pembacaan dalam konteks hukum pidana, apakah teman difabel dalam hukum pidana tidak bertanggung jawab? Ketika dia melakukan sesuatu atau gelap? Pasal 33 KUHPerdata pada pasal pengampunan.
Hal lainnya adalah Undang-undang Perkawinan menyebutkan bahwa disabilitas sebagai satu syarat untuk perceraian. Di Raperma ini juga muncul . Di Raperma ini ada beberapa kamar, pidana, perdata, agama, militer, TUN. Maka ada debat yang panjang soal pengampunan, dan perceraian. Kalau dalam konteks pidana tidak terlalu, namun dalam konteks pengampuan di hukum materiilnya masih berlaku.
Syafi'I termasuk yang terlibat dalam pengajuan Juditial Review (JR) Mahkamah Konstitusi."Intinya adalah kita tidak sepakat hukum materiil yang pengampuan karena ini sistem substitusi dalam pengambilalihan keputusan. Dimana difabel digantikan oleh pengampu sehingga ia tidak punya legal capasity. Sebenarnya vis a vis pasal 12 CRPD. Putusan MK hanya memutuskan" ungkapnya. (Ast)