Pada Sabtu, 7 September 2024, kasus pembunuhan Munir Said Thalib memasuki tahun ke-20. Munir, aktivis pembela hak asasi manusia, tewas akibat racun arsenik dalam penerbangan menuju Belanda pada 2004. Sudah 20 tahun berlalu dan kasus ini masih menyisakan pertanyaan tentang siapakah di balik pembunuhan tersebut.
Dalam konferensi pers yang digelar pada Kamis (5/9l) oleh Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM), keluarga Munir dan para aktivis kembali menuntut agar Komnas HAM mempercepat penyelidikan pro justitia yang telah berlangsung sejak awal 2024. Mereka mendesak agar Komnas HAM fokus dalam menuntaskan penyelidikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Konferensi yang digelar untuk mendorong secara litigasi maupun advokasi karena memang penuntasan atas kasus pembunuhan Munir Sa'id Thalib ini menjadi sangat penting karena Munir menjadi histori sebagai pembela HAM. Kalau negara gagal untuk mengungkap kebenaran, mengadili pelaku dan mencegah keberulangan, ini menjadi situasi yang darurat buat keberlangsungan. Beberapa peserta konferensi pers datang dari aliansi perempuan Indonesia.
Salah seorang narasumber, Usman Hamid pernah jadi tim yang dibentuk Presiden SBY pada 2004-2005 mengatakan bahwa KASUM ingin mengingatkan kembali tanggung jawab negara untuk menyelesaikan kasus pembunuhan pejuang HAM, Munir. Ia juga menyayangkan tidak adanya inisiatif formal dari negara termasuk langkah hukum untuk menimbang dibukanya kembali perkara ini. Semua tahu pembunuhan terhadap Munir menjadi simbol secara struktural atau menjadi simbol dari problem kekerasan di Indonesia. Munir adalah orang yang banyak mengadvokasikan penanganan kasus HAM dan kekerasan struktural di Indonesia karena itu pembunuhannya bisa diartikan sebagai tindakan menghentikan perjuangan para korban dan keluarga dari penanganan HAM.
Kedua, pembunuhan itu sendiri memperlihatkan dimensi sistematis dari sebuah kejahatan. Bukan hanya sistematis dari arti namun ada perencanaan terhadap peristiwa pembunuhan Munir sangat berhubungan dengan aktivitasnya selama masa masa hidupnya, baik di dalam memperjuangkan keadilan, mereformasi lembaga keamanan militer, polisi dan intelejen dan juga memperjuangkan kebijakan-kebijakan baru yang lebih baik.
Beberapa kebijakan terakhir yang disoroti Munir adalah RUU TNI 2004 dan rancangan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi 2004. Kedua UU itu disahkan tidak jauh dalam momen Munir dibunuh. Pembunuhan itu juga bisa diartikan sebagai usaha untuk membunuh partisipasi warga, partisipasi masyarakat, partisipasi para aktivis di dalam melahirkan kebijakan-kebijakan yang adil, kebijakan pembangunan, kebijakan keamanan atau kebijakan tentang pelanggaran HAM berat masa lalu yang efeknya bisa dilihat sekarang. Efek tersebut yakni usaha untuk melemahkan kekuatan korban, usaha untuk mengintimidasi para saksi, usaha untuk mengubah lokasi peristiwa. Dan alasannya bisa macam- macam, bisa sebagai pembangunan bisa monumen. Dimensi sistematis ini bisa dilihat dari keterlibatan petinggi-petinggi negara khususnya dalam BIN dan maskapai penerbangan udara. Di tingkat lapangan juga terlihat aspek sistematis itu, dimana perencanaan sebuah pembangunan memang mungkin direncanakan oleh satu orang tetapi perencanaan pembunuhan Munir dilakukan oleh seseorang saja karena ia mengharuskan kemampuan untuk mengakses perjalanan seseorang yang bersifat pribadi. Kalaupun pelaku tahu kapan Munir akan menggunakan penerbangan Garuda. Orang tersebut belum tentu punya akses untuk masuk di dalam penerbangan yang sama dan melakukan tindakan yang sama tanpa bantuan dari pihak penerbangan. Penerbangan yang ditumpangi Munir adalah penerbangan berskala internasional dan milik perusahaan negara karena itu tidak mungkin bisa disusupi begitu saja untuk adanya kejahatan seperti ini.
Keterlibatan pihak lain selain maskapai menjadi lebih terbuka dengan hasil tim pencari fakta ketika itu. Dimensi-dimensi inilah yang sebenarnya kurang terbongkar dalam proses peradilan pidana selama ini. Karena itu peristiwa ini tidak bisa diletakkan sebagai pembunuhan biasa atau pembunuhan dalam konteks kejahatan biasa. Dia harus diletakkan dalam mekanisme untuk memeriksa dan mengadili kejahatan luar biasa. Dasar undang-undangnya sudah ada yakni UU HAM dan UU pengadilan HAM. Dalam lensa HAM, pembunuhan Munir bisa dipandang sebagai pembunuhan di luar hukum atau extrajuditial killing, yakni pembunuhan yang dilakukan otoritas pemerintah tanpa melalui proses peradilan yang sah. Dan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yaitu serangan yang ditujukan kepada penduduk sipil dan mengandung unsur sistematis dalam peristiwa-peristiwa itu. Bentuknya pembunuhan, perampasan kemerdekaan, dan kalau dilihat di masa-masa ia mengalami muntah dan kesakitan, itu adalah masa-masa dalam sudut pandang HAM, masa-masa ia mengalami penyiksaan. Kesakitan mental dan kesakitan fisik yang luar biasa sampai ia mengalami kematian. Jadi sudut pandang peristiwa ini bisa dilihat sebagai penyiksaan yang berakibat kematian, penyiksaan tindakan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Bisa dilihat secara umum sebagai pembunuhan di luar hukum. Bahkan kejahatan kemanusiaan dalam bentuk pembunuhan, penyiksaan dan perampasan kemerdekaan.
Pertanyakan Kinerja Komnas HAM dalam Mengungkap Kasus Pembunuhan Munir
"Disitulah kita bertanya-tanya kenapa begitu lama untuk lembaga Komnas HAM yang telah memiliki mandat? Terlalu lama Komnas dalam melakukan penyelidikan ini dan bertele-tele, terlalu birokratis, terlalu teknokratis. Berbeda dengan presiden- presiden sebelumnya ketika Komnas HAM di masa lalu melakukan penyelidikan pro justisia, kerangka waktunya sangat jelas : 3 bulan, kerja sangat terukur, setiap pekan bisa dilaporkan, siapa yang dipanggil, dokumen apa yang diperiksa, saksi mana yang dihadirkan. Orang yang dipandang bertanggung jawab dari mana yang akan dipanggil. Semua berjalan dengan keterbukaan. Yang sekarang justru menggunakan dalil ketertutupan atas nama pro justisia untuk menutupi peristiwa itu atau secara tidak sengaja menutupi perkara itu, "ungkap Usman Hamid masih di konferensi pers.
Usman menambahkan jika ia bukan tidak percaya bahwa mereka (Komnas HAM_red) tidak bekerja. Ia hanya ingin memastikan bahwa proses peradilan iru hasilnya akan membawa keadilan tapi proses menuju hasilnya itu juga harus memperlihatkan keadilan. Tidak ada pro justisia ditutupi prosesnya kecuali menyangkut nama-nama, menyangkut yang diduga terlibat dalam pembunuhan itu. Itupun menurutnya nanti di akhir laporan. Ketika laporan selesai dan diserahkan kepada penyidik, tentu saja ada nama-nama yang akan dipertimbangkan penyidik untuk jadi tersangka. Maka praduga tidak bersalah harus dihormati. Itu di ujung artinya ketika laporan itu sudah selesai. Bukan di dalam prosesnya. Atas nama pro justisia semestinya ada ketidakterbukaan.
Pretty, perwakilan dari Kontras menyatakan bahwa mereka berharap Komnas HAM memberikan transparansi laporan secara berkala karena sebagai perbandingan tidak ingin kasus Munir terulang kembali. Ia mencontohkan kasus Bumi Flora di Aceh sudah dibentuk tim adhoc sejak 2013 tapi sampai sekarang Bumi Flora tidak keluar hasil penyelidikannya oleh Komnas HAM. Kalau seandainya Komnas HAM mengeluarkan surat berkala kepada korban terkait dengan proses hasil penyelidikannya dari 2013 sampai dengan 2024 , selama 11 tahun kalau dijadikan binder (buku catatan_red) sama keluarga korban menurut Pretty, Komnas bisa mengeluarkan hasil progress setiap bulan, itu sudah jadi berapa binder atau ruang dari hasil progress Komnas HAM yang tiap bulan akan mengatakan belum selesai dengan alasan tidak ada anggaran, belum jadi fokus penyelidikan dan sebagainya.
Pretty tidak mau kasus Munir kemudian menjadi seperti kasus Bumi Flora di Aceh, kemudian ditinggal oleh Komnas HAM tanpa adanya transparansi progressnya seperti apa. Jaringan internasional pun sedang mengawasi kasus Munir karena pada 11 Maret 2024 komisi InternationaI Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) , kovenan internasional tentang hak sipil dan politik, menanyakan kepada Indonesia mengenai proses penyelesaian kasus Munir dan juga transparansi dari penyelesaian kasus Munir. Banyak mata yang mengawasi Komnas HAM dan Pretty berharap dengan kondisi seperti ini Komnas HAM harusnya mengeluarkan progress dan hasil juga transparansi progress selama penyelidikan kepada publik, kepada keluarga korban dan kepada kuasa hukum keluarga korban.
Kedua adalah Munir adalah satu contoh Human Right Defender (HRD) atau pembela HAM yang menerima kekerasan dari negara. Menurut data Kontras dari 2000-2024 sekitar 4 tahun sebelum Munir dibunuh ada sekitar 30 korban pembela HAM yang mengalami kekerasan dari negara terjadi di 6 provinsi di Indonesia : Aceh, JakartaJabar, Sulsel, Sultenggara dan Sumut. Dan 30 korban HRD ini luka dan 11 korban HRD tewas jadi total 41 ditambah lagi 61 HRD mengalami penangkapan dan penahanan sewenang-wenang yang dilakukan oleh beberapa institusi yakni TNI pada 4 peristiwa, kepolisian dan Orang Tak dikenal (OTK) 5 peristiwa. Tahun 2024 belum selesai saja, Kontras mencatatkan ada 30 korban di 14 provinsi. Jadi bisa dilihat bagaimana dari tahun 2004 dari Munir meninggal sampai sekarang 2024 bukan hanya kekerasan terhadap HRD meluas jangka waktunya yakni 2000-2024 tapi juga negara tidak belajar sehingga berpikir jangan-jangan negara memelihara kekerasan terhadap HRD.
Untuk itu Kontras berharap sebagai lembaga negara, Komnas HAM bisa taktis, kreatif strategis dalam menggunakan kewenangannya untuk menularkan pengetahuan penyelidikan pembunuhan HRD ke lembaga yang lain, misalnya mungkin dengan pendidikan ke kepolisian atau dalam bentuk UU atau sekadar Memorandum of Understanding (MoU). Menurut Pretty kalau itu bisa dilakukan sekarang itu lebih baik supaya Komnas HAM progresif.
Ardi, wakil direktur Imparsial menambahkan pandangannya tentang Komnas HAM terkait kasus pembunuhan Munir adalah Komnas HAM turut memperpanjang impunitas. Akibatnya tidak main main, karena angka/data Kontras yang disampaikan oleh Pretty menunjukkan bahwa keberulangan berbagai kasus kekerasan yang dilakukan oleh negara atau aparat, akibat dari pelanggengan impunitas oleh negara termasuk Komnas HAM yang menunda nunda pengungkapan kasus pembunuhan terhadap Munir.
Ardi menambahkan bahwa kasus Munir bukan pembunuhan biasa tapi serangan kepada pembela HAM secara sistematis yang melibatkan aparatur negara. Fakta terang dan jelas. tapi negara sengaja menunda dan tidak proaktif dalam pengungkapan kasus tersebut. Impunitas yang dilakukan terhadap negara turut menjadi pemicu berulangnya kekerasan aparat terhadap pembela HAM, kekerasan terhadap mahasiswa, kekerasan terhadap petani, dan kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan.
Narasumber lain, Arif Maulana dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), mengatakan bahwa pihaknya sudah mengirimkan legal opinion sejak 202, berkaitan dengan proses pro justitia yang hari ini sedang berjalan di Komnas HAM. Prosesnya sangat panjang, karena kasus ini sudah ada di meja Komnas HAM sejak 2004. Proses penyelidikan menurut Arif, seharusnya bisa dimulai sejak saat itu tapi kemudian baru bisa dijalankan empat tahun terakhir. Ia menegaskan apa yang sudah disampaikan bahwa kejahatan pembunuhan keji yang dilakukan oleh permufakatan jahat oleh aktor negara BIN dan Garuda Indonesia pada saat itu di tahun 2004, bukan kejahatan biasa tapi kejahatan serius yakni kejahatan kemanusiaan, jika merujuk UU tentang Pengadilan HAM.
Oleh karena itu, menurut Arif, sudah semestinya negara, pemerintah, khususnya Komnas HAM dan Jaksa Agung harus menuntaskan kasus ini karena jika tidak, yang terjadi adalah pengulangan demi pengulangan, serangan terhadap Human Right Defender, warga negara yang berjuang atas nama HAM.
Kita Sedang Melipatgandakan Pikiran-Pikiran Berani seperti Munir
Bivitri Susanti, seperti halnya KASUM, ingin bercerita bahwa 20 tahun bukan waktu yang sebentar, bahkan sudah berganti generasi, dan berganti orang. Juga berganti metode advokasi bahkan berganti sekretariat. Tetapi sampai sekarang tak kunjung selesai kasusnya. Banyak yang berpikir tentang masa depan kasus ini dan tak pernah lelah untuk memperjuangkannya karena sudah lelah dengan kekerasan seperti mahasiswa yang dipukuli waktu demo 21 Agustus kemarin. Menurut Bivitri, salah satu cara sebenarnya yakni dengan pengungkapan bahwa kasus Munir sebagai pelanggaran HAM berat. Dilihat dampak yang sampai sekarang, kok sampai sekarang masih terjadi? Bahkan terjadinya peristiwa Kanjuruhan dan saat ini Semarang dan Makassar? Sebabnya karena impunitas yang terjadi. Karena bahkan orang yang bertanggung jawab orang yang merencanakan masih ada dan keluarganya masih berpolitik. Bagaimana menuntaskan jika orang-orang yang membunuh Cak Munir itu masih dan keluarganya aktif berpolitik.
Kedua, yang Cak Munir wariskan yakni dengan mendirikan lembaga-lembaga itulah cara Cak Munir untuk memperbesar banyak orang yang memperjuangkan keadilan dan HAM. Tidak ada tujuan lain. Cak Munir mendirikan lembaga-lembaga itu bukan untuk jadi board kemudian diundang kesana-kemari. Tapi Cak Munir merintis pendirian lembaga itu untuk memperbanyak orang berjuang keadilan sehingga muncullah slogan "Cak Munir ada dan berlipat ganda. "
"Dalam banyak soal ada dilema kecemasan, ketakutan yang mungkin ditawarkan kepada kita dan generasi sekarang lantas membayangkan apa yang Cak Munir lakukan dalam situasi seperti itu. Apakah ia menerima uang untuk teman-temannya mendukung suatu kebijakan atau suatu hal yang meminggirkan atau meniadakan kasus kasus HAM berat? Tentu tidak. Apa Cak Munir ketakutan sampai tidak keluar karena ada represi? Tentu tidak. 7 September kita sedang melipatgandakan pikiran-pikiran yang berani dan tidak hanya strategis dan berintegritas,"tegas Bivitri. Ia menambahkan yang aktivis lakukan sekarang semestinya bukan untuk romantisme, bukan untuk uang, tapi memperjuangkan hak. Itulah nilai-nilai Cak Munir yang harus diteruskan.
Jihan dari Perempuan Mahardhika juga berbicara bahwa Munir punya ikatan kuat dengan perempuan pembela HAM : rakyat, buruh, tani, mahasiswa perempuan. Salah satu yang ia perjuangkan adalah perkosaan dan pembunuhan Marsinah oleh Orde Baru, Penculikan dan Penghilangan Paksa aktivis 98. Kalau kasus Munir diungkap maka akan membuka kasus yang lain seperti pembunuhan Marsinah.
Dalam konferensi pers, hadir pula Diva Suukyi Larasati, anak kedua Munir yang menyampaikan tuntutan kepada Presiden Joko Widodo dan presiden sebelumnya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). "Tuntutan saya selalu sama dari dulu, dari umur saya dua tahun sampai umur saya 22 tahun, yaitu selesaikan janji-janji kalian yang kalian omongkan kepada ibu saya dan keluarga saya, bahwa kalian akan menuntaskan kasus Abah saya," tutur Diva Suukyi Larasati. (Ast)