Begini Kronologi Gonjang-Ganjing "Pembangkangan Konstitusi"

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Partai Buruh dan Partai Gelora mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara Nomor 60/PUU-XXII/2024. Sidang pertama pengujian materiil UU Nomor 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) dilakukan pada tanggal 11 Juli 2024. Partai Buruh yang didirikan pada Oktober 2021 dan Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora) yang  didirikan pada Oktober 2019 dan diketuai mantan presiden PKS Anis Matta, keduanya  tidak mempunyai kursi di DPRD Jakarta.

Di tingkat nasional pun kedua partai sama-sama tidak memperoleh kursi dari total 580 kursi. Partai Buruh memperoleh 972.910 kursi atau 0.64%, sementara Partai Gelora 1.281.991 atau 0.84%. Kepada MK, kedua partai menyatakan berhak mencalonkan kepala daerah baik secara individual maupun bergabung ke parpol lain karena telah memperoleh suara sah dalam Pemilu DPRD Tahun 2024.

Kuasa Hukum Said Salahudin mengatakan ketentuan UU Pilkada tentang ambang batas membuat kedua partai “kehilangan hak konstitusional dan kesempatan yang sama untuk mendaftarkan pasangan calon Kepala Daerah dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah”.

Kapan putusan MK dikeluarkan dan bagaimana bunyi putusan? Putusan MK keluar pada Selasa (20/08).

Seperti dikutip laman resmi MK, Ketua MK Suhartoyo dalam Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 menyebut rincian ambang batas yang harus dipenuhi partai politik atau koalisi untuk dapat mengajukan calon kepala daerah. Amar putusan yang mengubah Isi pasal 40 ayat (1) UU Pilkada yang diubah MK itu adalah Partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan yaitu:

Untuk mengusulkan calon gubernur dan calon wakil gubernur:

a. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 2 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 10% di provinsi tersebut.

b. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 2 juta jiwa sampai 6 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 8,5% di provinsi tersebut.

c. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 6 juta jiwa sampai 12 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 7,5% di provinsi tersebut

d. Provinsi dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap lebih dari 12 juta jiwa, partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu harus memperoleh suara sah paling sedikit 6,5% di provinsi tersebut

Bagi Jakarta, yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah warganya mencapai 10,68 juta jiwa, parpol atau koalisi parpol harus memperoleh suara sah paling sedikit 7,5%.

Dengan demikian, kini terbuka lebar kesempatan bagi partai-partai untuk mengajukan calon nominasi mereka. PDIP, misalnya, sebagai partai yang tidak tergabung dalam KIM Plus, bahkan bisa mengajukan calon sendiri karena persentase suara sahnya 14.01% pada pemilu DPRD 2024. Hanya satu orang  hakim konstitusi  yakni M. Guntur Hamzah menyatakan pendapat berbeda alias dissenting opinion.

Mengapa putusan MK ini merupakan sebuah kejutan?

Titi Anggraini, dosen pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia, seperti dikutip BBC News, menyambut baik putusan MK. Walaupun dirinya mengetahui adanya pengujian materi UU Pilkada oleh Partai Buruh dan Partai Gelora, dia tidak menduga putusan ini akan keluar.

“Ini kejutan luar biasa,” ujar Titi.

“Saya sejak lama berpendapat bahwa mestinya semua partai yang punya kursi di DPRD bisa mengusulkan pasangan calon di Pilkada,"imbuhnya.

Mahkamah Konstitusi, sambung Titi rupanya menggunakan pendekatan kesetaraan dan keadilan perlakuan antara calon perseorangan dan calon dari jalur partai atau gabungan partai politik peserta pemilu.

Titi Anggraini sebelumnya menyebut Anies Baswedan membutuhkan dukungan partai untuk bisa maju ke Pilkada Jakarta 2024. Di sisi lain, dia juga menyayangkan KPU DKI Jakarta yang menurutnya terburu-buru dalam menetapkan pencalonan Dharma-Kun.

“Mestinya KPU tidak terburu-buru menerbitkan keputusan di tengah masifnya spekulasi soal kredibilitas dan integritas pencalonan Dharma-Kun,” ujarnya.

Putusan MK lainnya soal batas umur calon kepala daerah.  MK juga menegaskan aturan batas usia untuk calon kepala daerah dalam Pilkada.

Dilansir Antara, Mahkamah menekankan syarat usia calon kepala daerah harus terpenuhi saat penetapan pasangan calon peserta Pilkada oleh KPU dalam Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang dikeluarkan pada Selasa (20/08).

Dilansir Tempo, putusan MK menutup jalan putra bungsu Presiden  Joko Widodo , Kaesang Pangarep untuk maju dalam Pilkada 2024. Sebelumnya, dia disebut-sebut akan maju dalam Pilkada Jawa Tengah.

 

Kaesang yang juga Ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI), baru akan berusia 30 tahun pada 25 Desember 2024. Sementara penetapan pasangan calon KPU adalah 22 September 2024.

Apakah putusan MK ini bisa segera berlangsung berlaku pada Pilkada 2024? Menurut Titi, Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 berlaku untuk Pilkada 2024 mengingat putusan tersebut tidak menyebut penundaan pemberlakuan putusan pada Pilkada mendatang – seperti halnya putusan mengenai ambang batas parlemen yakni Putusan No.116/PUU-XXI/2023, di mana berlakunya setelah 2024, yakni di Pemilu 2029

“Putusan MK soal ambang batas pencalonan Pilkada ini serupa dengan Putusan MK soal usia calon di Pilpres dalam Putusan MK No.90/PUU-XXI/2023 yang memberi tiket pencalonan kepada Gibran Rakabuming Raka untuk maju pada Pilpres 2024 yang lalu,” ujarnya, dikutip dari BBC News.

Titi merujuk ke putusan MK pada 16 Oktober 2023 yang menyatakan seseorang berusia di bawah 40 tahun bisa mengikuti pemilihan presiden dan wakil presiden, asalkan sedang atau pernah menduduki jabatan negara yang dipilih melalui pemilu, termasuk pemilihan kepala daerah.

Putusan itu memudahkan Gibran Rakabuming Raka - anak sulung Presiden Joko 'Jokowi' Widodo - untuk maju sebagai calon wakil presiden pada Pemilu Presiden 2024. Gibran saat ini berumur 36 tahun, tetapi dia menjabat sebagai Walikota Surakarta ketika akan mencalonkan diri.

Dalam putusannya, MK menyatakan batas usia minimal 40 tahun untuk calon presiden dan calon wakil presiden bertentangan dengan UUD 1945.

Demokrasi "Dibegal"

Namun sehari sesudahnya, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dianggap sebagai “angin segar” bagi demokrasi “dibegal” melalui persetujuan revisi Undang-Undang Pilkada yang berlangsung kilat di Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), kata pengamat pemilu.

Delapan dari sembilan fraksi di DPR sepakat untuk hanya menerapkan sebagian putusan Mahkamah Konstitusi terkait syarat pencalonan kepala daerah pada rancangan perubahan Undang-undang Pilkada, Rabu (21/08).

Keputusan yang diambil dalam rapat kerja di Badan Legislasi DPR pada Rabu (21/08) itu dianggap sebagai sebuah “pembangkangan” yang akan menghasilkan proses “demokrasi palsu” dalam pilkada 2024.

RUU Pilkada yang telah selesai dibahas oleh DPR dan pemerintah pada Rabu sore hanya dalam kurun waktu satu jam, rencananya akan disahkan dalam Rapat Paripurna DPR, Kamis (22/08).

“Langkah-langkah DPR yang ingin mengubah apa yang menjadi isi putusan MK tentu saja bertentangan dengan konstitusi dan bisa disebut sebagai pembegalan atau pembangkangan terhadap konstitusi,” kata dosen pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini.

Kalau revisi UU itu disahkan, maka peta pencalonan Pilkada akan kembali dikondisikan sesuai kepentingan para elite yang bersatu di dalam koalisi gemuk, kata pengamat politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor.

Partai-partai di parlemen yang dikucilkan dari koalisi seperti PDI-Perjuangan terancam tidak bisa mengusung calon mereka sendiri. Ini setidaknya terjadi di DKI Jakarta. Sebaliknya, revisi UU Pilkada soal batas usia akan membuka kembali peluang bagi putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep untuk mencalonkan diri.

Salah satu kesepakatan Baleg menyebut ambang batas parlemen dalam pilkada hanya berlaku untuk partai yang tidak memiliki kursi di DPRD. Artinya, partai dalam kategori ini dapat mendaftarkan calon gubernur dan calon wakil gubernur dengan syarat yang tidak berkaitan dengan jumlah kursi mereka di DPRD. Ketentuan ini serupa dengan putusan MK yang diambil satu hari sebelumnya.

Meski begitu, Baleg tidak memasukkan dua putusan MK lain dalam RUU Pilkada. Konsekuensinya, partai maupun koalisi partai yang memiliki kursi di DPRD harus memiliki setidaknya 20% kursi di dewan legislatif daerah atau 25% akumulasi suara di daerah tersebut untuk dapat mengajukan calon kepala daerah.

Kedua, dalam rancangan perubahan UU Pilkada, batas usia paling rendah untuk calon gubernur dan wakil gubernur adalah 30 tahun saat pelantikan. Sementara batas usia terendah kepala daerah di tingkat kabupaten/kota adalah 25 tahun pada saat pelantikan. Syarat batas usia itu tidak sesuai dengan putusan MK. Sebaliknya, seluruh fraksi, kecuali PDIP, sepakat mengacu pada putusan Mahkamah Agung.

Dosen hukum tata negara dari Universitas Andalas, Charles Simabura, menilai DPR memilih putusan MK yang menguntungkan kepentingan tertentu.

“DPR jelas melakukan cherry picking (kesesatan bukti tak lengkap/pilih-pilih kasus,red)” kata Charles.

“DPR mengakui putusan MK jika itu menguntungkan mereka, dan pada titik lain tidak mengakui putusan MK lainnya yang merugikan mereka. Ini merupakan bentuk pembangkangan terhadap putusan MK,” imbuh Charles seperti dikutip BBC News.

Pada rapat kerja di Baleg DPR, perwakilan PDIP, Muhammad Nurdin, menyebut MK telah memaparkan “secara rinci dan jelas” pertimbangan konstitusional ambang batas parlemen DPRD dan batas usia calon kepala daerah. Putusan MK itu, menurut Nurdin, bersifat final dan mengikat dan semestinya diterapkan dalam proses pengubahan UU Pilkada.

Masinton Pasaribu juga turut bersuara dan menyebut putusan MK sebagai “upaya menyelamatkan demokrasi”. Proses perubahan UU Pilkada yang berlangsung di Baleg, kata Masinton, “menyiasati putusan konstitusional MK” tersebut.

“Kita bisa mengakalinya dengan membuat peraturan, tapi kita tidak bisa membutakan kebenaran itu sendiri, Pak Menteri,” kata Masinton seperti dikutip BBC News.

Dua menteri yang menghadiri rapat kerja di Baleg itu adalah Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian serta Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Atgas.

Efek Domino : Menguatnya Politik Dinasti dan Oligarki Politik 

Putusan MK terkait ambang batas parlemen DPRD ditujukan untuk mencegah partai politik berkongkalikong mengusung kandidat tertentu demi kepentingan segelintir kelompok. Pendapat ini dikatakan Badan Riset dan Inovasi Nasional, Aisah Putri Budiarti.

Tanpa ambang batas parlemen itu, kata Putri, akan muncul pemilihan kepala daerah dengan kompetitif. Lebih dari itu, pilkada juga akan terhindar dari kompetisi melawan kotak kosong maupun “calon-calon boneka”.

“Yang dilakukan DPR hari ini merugikan kepentingan publik, bukan hanya tentang apakah PDIP bisa mencalonkan Anies atau tidak. Dampaknya bisa lebih luas daripada itu gitu,” kata Putri seperti dikutip BBC News. “DPR membatasi pemilih untuk memiliki banyak kandidat berkapasitas.”

“Ini akan berdampak sangat luas dan pada akhirnya akan ada efek domino, misalnya semakin menguatnya politik dinasti dan oligarki politik,” tutur Putri.

Meski partai yang tak memiliki kursi di DPRD berhak mengajukan kandidat, Putri ragu mereka mampu berkompetisi melawan calon-calon dari partai besar yang berada di dewan legislatif daerah. Dengan peluang menang yang tipis, Putri tak yakin keberadaan partai-partai kecil itu akan menghasilkan kompetisi yang seimbang.

“Partai politik mau berkompetisi di pemilu atau pilkada kan pasti untuk menang. Tapi ketika peluang untuk menangnya itu sangat tipis, mereka akan cendurungan tidak mengambil resiko. Jadi menurut saya pada akhirnya RUU Pilkada ini memang hanya akan menciptakan demokrasi palsu. Pemilunya kosong, hanya seremonial saja,” kata Putri.

Apa dampaknya bagi peta politik Pilkada? Firman Noor dari BRIN mengatakan bahwa revisi UU Pilkada secara praktis dapat menjegal PDIP untuk bisa mengusung calonnya sendiri di DKI Jakarta. Itu karena Baleg DPR hanya menyetujui penurunan ambang batas untuk partai nonparlemen.

Artinya PDIP, sebagai partai di parlemen, perlu berkoalisi untuk memenuhi syarat ambang batas yang disepakati. Sedangkan di Jakarta, 10 dari 11 partai yang memiliki kursi di DPRD DKI Jakarta telah berkoalisi mendukung Ridwan Kamil-Suswono. (Ast)