Diskusi Komasipera Petakan Masalah dan Solusi Pendampingan Perempuan dan Anak Korban Kekerasan

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Ada banyak sekali permasalahan yang dihadapi oleh  Koalisi  Masyarakat Sipil Peduli Perempuan dan Anak (Komasipera), sebuah koalisi yang lahir untuk merespons peristiwa aktual, kasus dan hal-hal urgen  terkait kekerasan pada perempuan dan anak  dalam pemenuhan hak asasi manusia. Demikian disampaikan oleh Vera Kartika Giantari pada diskusi bersama  Komasipera pada Kamis (18/7) di Ruang Anawim, Yayasan YAPHI.  Bahwa di pertemuan sebelumnya para peserta yang terdiri pegiat isu perempuan dan anak berhasil  menggali masalah dan harapannya di masyarakat.

Komasipera ingin sekali ada waktu untuk membedah Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU  TPKS), membuat pemetaan permasalahan kekerasan pada perempuan dan anak termasuk bentuk-bentuk kekerasan serta penjelasan cara mengidentifikasi kasus dan dampak kekerasan yang diderita, pendampingan di rumah tangga oleh Pos Pelayanan Terpadu (PPT) Kelurahan, kekerasan terjadi salah satunya disebabkan karena relasi kuasa, adanya ketidaksepahaman antara  kelurahan dan PPT dalam menangani kasus kekerasan (antar Lembaga tidak tersinkronisasi) sehingga output-nya berbeda, pembahasan ketidaksetaraan gender yang menyebabkan terjadinya kekerasan, pembahasan dosa-dosa pendamping (sifat blaming,menasehati,menilai menggunakan ukuran diri sendiri, tidak puas kalau tidak dituruti) dan pendamping tidak cermat melihat latar belakang (masih cenderung menghakimi).

Beberapa yang perlu digarisbawahi adalah: 1. ketika muncul sifat merasa lebih tahu dalam mendampingi korban, maka hasil yang diharapkan  menjadi  tidak maksimal.2) dak adanya SOP dalam penanganan kasus kekerasan, sistem yang amburadul, pembahasan hal-hal yang didapat dalam mencegah kekerasan oleh para peserta (pelatihan, seminar dll), penjelasan terkait hal-hal yang sudah didapat para peserta nyatanya masih banyak yang perlu untuk didalami. 3. Pembahasan hambatan/kesulitan yang dialami (PPT mati suri; dukungan terhadap korban; sifat menyalahkan korban), 4.Pembahasan terkait sistem di indonesia dalam lingkup hukum, psikologi, kedokteran, sosial-budaya pada kenyataannya tidak banyak memberikan dukungan kepada korban kekerasan

Para peserta menuliskan harapan pertemuan pada pertemuan Komasipera sebagai berikut ; 1. Solusi untuk mengurangi KDRT dan pernikahan dini, 2. Dapat menemukan hal-hal baru dalam bekerja sebagai pendamping, 3.Bisa menemukan titik terang agar terhindar dari dosa pendamping, 4. Mendapatkan ilmu agar menjadi pendamping yang baik, 4. Semakin memiliki keterampilan lebih sebagai pendamping, 5.Menemukan langkah dalam penyelesaian masalah korban sebagai pendamping dan tata cara menjadi pendamping yang baik, 6.Cara melakukan sosialisasi laporan penyelesaian kekerasan serta meningkatkan taraf hidup masyarakat.

 

Myra Diarsi Bahas Buku Menumbuhkan Rasa Sepenanggungan

Myra Diarsi, narasumber pada diskusi Komasipera  pada kesempatan tersebut membahas terkait buku yang berjudul ‘Menumbuhkan Rasa Sepenanggungan’ yaitu suatu buku yang melakukan penelitian pada support group (kelompok dukungan/sintas). Buku yang dapat menjadi panduan bagi mereka yang ingin menjadi pendamping.

Pembahasan terkait hal yang paling dirasa sangat mengganjal bagi para peserta hubungannya dengan isu kekerasan dan pekerjaannya menjadi pendamping adalah isu kekerasan seperti  anak disuruh bekerja untuk berjualan (eksploitasi ekonomi) sebagai gambaran  kemiskinan masyarakat, kedua adalah pernikahan dini pada anak-anak atau kerap disebut perkawinan anak yang terjadi akibat minimnya ketidaktahuan, ketiga : ketidakjelasan/tabu pendidikan seksualitas,  keempat yakni ajaran-ajaran di sekolah yang salah (banyak guru yang masih tabu dengan pengetahuan yang menyangkut dengan seksualitas). kelima : sosialisasi dan pengajaran kepada anak yang cenderung mengekang (anak tidak boleh ini dan itu), padahal sejatinya banyak anak yang kritis.

Sistem pendidikan yang ada sampai saat ini tidak diajarinya budi pekerti kepada  anak. Pengajaran budi pekerti berbeda dengan pengajaran agama. Banyak orang tua yang punya uang memilih untuk membawa anak ke pesantren. Padahal soal etika/budi pekerti seharusnya diajari oleh orang tua, seperti pernah dikatakan oleh Ki Hadjar Dewantara “kita harus belajar menjadi manusia dulu”.  

Banyak persoalan anak di depan mata, seperti putus sekolah karena dirundung temannya, anak tidak memiliki NISN karena sebelumnya belajar di sekolah yang tidak terstandarisasi/pondokpesantren, tidak terpenuhinya hak anak sebab si bapak yang sering judol.sehungga tidak bisa memenuhi kebutuhan keluarga, ada anak yang masih usia 5 tahun selalu didoktrin bahwa yang benar adalah ayahnya (berwatak keras), ketika ayahnya melakukan KDRT kepada ibunya sehingga sikap anak kepada keluarganya mirip dengan sang ayah.

Hal lain, rasa percaya diri seorang ibu bisa melakukan semuanya sendiri dalam mengurusi orang lain yaitu dalam pekerjaan mendampingi korban dapat menciptakan rasa jengkel bagi anaknya. Menjadi pendamping terlihat perkasa dihadapan korban  namun mengabaikan keluarga adalah hal yang salah. Begitulah seperti yang diungkapkan oleh Nunung Purwanti, aktivis perempuan.

Penyandang disabilitas mengalami kekerasan fisik dan psikis dari pasangan non disabilitas hingga ingin cerai. Tekanan tersebut menyebar ke keluarga hingga salah satu kerabat terkena skizofrenia/disabilitas mental. Tekanan juga datang dari tempat pekerjaan. Ini juga salah satu contoh dari kasus yang didampingi oleh anggota Komasipera.

 

Pekerjaan menjadi Pendamping

Lantas, sebagai pendamping korban, bagaimana cara mendekati korban untuk merasakan aman dan nyaman  didampingi dalam penanganan kekerasan yang dialami korban?Pertanyaan kedua sebagai orangtua yang hidup di era digital, bagaimana cara mengajar anak-anak dengan baik dan benar di arus informasi pengetahuan yang begitu banyak?

Myra Diarsi memberikan beberapa solusi atas permasalahan yang umum dihadapi oleh para pendamping yakni melakukan advokasi yang didukung oleh organisasi-organisasi yang peduli dengan penyelesaian isu kekerasan bersama pemerintah (dinas pendidikan; pengawas sekolah dll).

1. Jangan abai dalam mengurus administrasi/ keterangan khusunya terkait dengan data-data anak. Karena hak anak menjadi kewajiban negara untuk dipenuhi.

2. Membongkar seluruh sistem yang bermasalah salah satunya dengan memanfaatkan suara publik

3. Membangun kesadaran kepada seluruh masyarakat akan pentingnya hak anak seperti yang disampaikan oleh Vera Kartika Giantari.

Sedangkan problematika anak yang tidak bisa melanjutkan sekolah bisa disarankan untuk ‘kejar paket‘ salah satunya di Sanggar Kegiatan Belajar di setiap Kecamatan. Dan mengajak komunitas untuk berani bersuara dalam menuntut kewajiban-kewajiban pemerintah.

Sebagai pendamping, penting pula untuk menanyakan komunikasi antara ibu dengan anaknya (kedekatan) dengan tidak menambah beban ibu lebih lagi, sebab  kemungkinan ibunya takut dengan anaknya sendiri, dan juga jangan memikirkan solusi yang menurut pendamping  benar.  Anak perlu untuk berpikir sejenak untuk menumbuhkan rasa sepenanggungan.

Sedangkan solusi yang lain dengan  menyarankan untuk mengajak ibu dan anaknya tersebut mencari lingkungan/komunitas baru untuk mencari dukungan-dukungan, bisa dimulai dari posyandu. Output-nya yaitu  rasa cinta kasih anak kepada ibunya.

Pamikatsih, salah seorang peserta memberi masukan dan menyarankan untuk tidak berkata ‘Jangan dan tidak’ kepada anak. Karena akan tetap dilakukan pada kenyataanya. Ia menyarankan untuk lakukan self-healing yaitu agar anak tidak memiliki emosi negatif/titik nol. Ia juga sanggup untuk memberikan self-healing gratis dengannya.

Sesi terakhir moderator mengajak para peserta untuk saling membagikan cerita dan pengalaman untuk meningkatkan keintiman antara yang satu dengan yang lain. Dan menandakan bahwa masalah gender bukanlah masalah tunggal, namun berinterseksi dengan banyak hal. Termasuk bagaimana  permasalahan disabilitas yang merupakan permasalahan yang sangat kompleks. (Adi C. Kristiyanto/Ast)