Catatan Diskusi Publik YAPHI tentang RUU Penyiaran : Meski Pembahasannya Ditunda, Mesti Kita Awasi

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Ada banyak catatan yang ditorehkan dari hasil diskusi publik yang dihelat oleh Yayasan YAPHI pada Selasa (25/6). Pada diskusi yang dipandu oleh Yohanes Handharu, Syifaul Arifin, narasumber, jurnalis senior Solopos mengawali paparannya bahwa pada 21  Mei, di beberapa kota banyak digelar aksi demo terutama diselenggarakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan diikuti oleh banyak lapisan masyarakat tak hanya jurnalis, aktivis pro demokrasi, tetapi juga  content creator, dan masyarakat sipil lainnya  yang berdampak  pembahasan RUU Penyiaran ditunda oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia  (DPR RI).

Kemudian yang menjadi persoalannya adalah apakah publik harus percaya? Jangan-jangan draft Rancangan Undang-Undang (RUU) bersalin rupa tapi intinya tidak jauh beda. Masyarakat harus mengawalnya karena masyarakatlah yang memiliki hak untuk mendapatkan informasi yang benar. Intinya  jika Undang-undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran diubah dengan versi yang ini (versi yang beredar per akhir Maret) maka yang rugi adalah masyarakat.

Syifaul kemudian menjelaskan tentang pasal-pasal problematik : ada semacam pemisahan antara Undang-undang nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Undang-undang Penyiaran. Ia membaca draft RUU ini dan tidak ada penyebutan UU Pers. Artinya tidak disebut UU Pers sebagai konsideran padahal sesuatu yang paling utama yang mengatur tentang wartawan, jurnalistik dan lain-lain. Khawatirnya jika draft RUU ini dibahas dan disahkan jadi Undang-Undang, kalau ada masalah tidak menggunakan UU Pers tetapi UU penyiaran. Intinya UU Pers dicopot dari draft RUU UU penyiaran.

Catatan berikutnya adalah adanya pengambilalihan Dewan Pers oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Jika sebelumnya kalau ada sengketa maka yang akan menyelesaikan adalah dewan pers sesuai UU Pers. Tapi di draft UU yang akan menyelesaikannya KPI. Jika begitu, bisa-bisa jika ada perkara, penyelesaiannya lewat pengadilan, padahal sesuai UU Pers melalui Dewan Pers.

Beda Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)

Dewan Pers adalah lembaga swa sistem seperti masyarakat dewan pers yang memilih konstituen pers. Anggota  Dewan Pers tidak digaji oleh pemerintah dan relatif independen. Berbeda dengan KPI yang dipilih oleh DPR yang jelas bisa jadi tidak objektif. Tugas utama Dewan Pers melindungi pers dari kepentingan pihak lain sedangkan  KPI adalah rezim yang  mengawasi dan membatasinya.

Catatan lainnya yakni soal penayangan eksklusif investigasi. Setelah dikritik oleh banyak pihak  mereka (penyusun) menjawab yang dimaksudkan pelarangan tayangan investigatif adalah yang eksklusif. Padahal menurut Syifaul bagi seorang jurnalis,  menyangkan yang eksklusif investigatif itu membanggakan. Kekhawatirannya adalah apa yang salah dengan investigasi? Karena kalau salah mereka akan dbongkar. Pada  investigatif tayangannya ada penyimpangan dan kesalahan. Dan hal ini tidak akan terungkap jika tidak ditayangkan oleh media. Jadi masyarakat tahu "oh ternyata ada penyingkapan."

Catatan berikutnya adalah adanya potensi bredel di media dan media sosial sebab nanti akan ada pemantauan dari KPI terkait konten netizen. Mereka memakai standar isi penyiaran.

Ada pula kekhawatiran masyarakat  terkait pasal 20 tentang larangan penguasaan lembaga penyiaran swasta oleh satu orang atau badan hukum meski saat ini ada yang banyak yang menyiasati, tetapi di  UU penyiaran ini ada namun di dalam draft RUU ini pembatasan kepemilikan ini tidak ada. Padahal dengan adanya pembatasan  saja kartel menguasai, apalagi jika ada tidak ada

Juga ada larangan penayangan LGBT dan minoritas lain yang berpotensi untuk merepresentasikan keberadaan mereka. Disinilah  ada potensi ujaran kebencian yang  akhirnya membenci kelompok minoritas.

"Tugas dari teman-teman dan kita semua setelah DPR menunda adalah mengawal jangan sampai muncul draft baru yang bersalin rupa yang intinya sama tapi isi nyaris sama,"tegas Syifaul.

 

Awasi Perkembangan Digital yang Lahirkan Taipan Baru

Haris Azhar, Direktur Eksekutif Lokataru, narasumber berikutnya menyatakan bahwa dalam dunia yang satu abad, penyiaran menjadi bisnis yang membesar dan ada sisi keamanan namun perlu diingat ada fundamental yakni tujukan di konstitusi.

Terkait dengan penyiaran publik harus sadar dulu di mana posisinya dalam simulasi sosial. Setiap orang  butuh informasi dan ketersediaan informasi dan boleh mengolah informasi tersebut meski itu salah tidak boleh dipidana. terlebih lagi di pemerintah soal Perpres tata kelola.

RUU penyiaran muncul setelah tahun 2002. yang sekarang ini mau diubah. Namun menurut Harris  yang tidak banyak dihighlit oleh publik bahwa di dalam negara lagi mau mencecar ke sektor ke sumber daya digital. Perkembangan dunia digital ini sebenarnya melahirkan taipan konglomerat sektor bisnis baru dan kapitalisasi ini buat rebutan.

"Kita bersyukur RUU ditunda karena tidak jaminan karena kita tidak paham administrasi dan  proses legislasi. Ini situasi yang kita hadapi saat ini. Gimana jawabnya? Kita harus punya roadmap teknis. karena akan berulang. Omnibuslaw kita kecolongan,”ungkapnya.

Haris menegaskan bahwa pihaknya dan publik yang menolak  bukan anti perubahan tetapi kalau ada perubahan pakai teori yang umum harus ada Naskah Akademik (NA).

Juga perlu adanya perhatian adalah kondisi dan keamanan kerja para jurnalis Indonesia dalam rumpun jurnalisme yang mengalami kekerasan, intimidasi, suap dan  finah. Semestinya energi negara untuk  memperkuat jaringan diversifikasi sumber informasi yang semakin banyak lalu memfasilitasi industri misal UMKM. Seperti bagaimana negara mensupport lahirnya media-media kecil, bagaimana negara melindungi dari represi. Semestinya hal-hal itu diperkuat atau  disupport.

"Jadi meski sudah  ada UU ITE, rupanya mereka merasa kurang cukup. Mereka mencari jalan lagi untuk men-skrinning atau menyeleksi. Nanti berlapis-lapis sektor. Rezim ya begitu, untuk membabat sawah tidak hanya pakai arit, tapi apapun bisa digunakan,"pungkas Haris. (Ast)