Sigab Gelar Diskusi Publik dan Launching Modul Pelatihan Paralegal

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Diawali momentum masa transisi pandemi COVID-19, organisasi bantuan hukum yang memberikan bantuan hukum sejauh ini dikuatkan eksistensinya terutama dalam pelaksana bantuan hukum yakni advokat dan paralegalnya. Bagaimana kemudian menguatkan paralegalnya lalu membentengi. Bagaimana pula membedakan paralegal dan advokat.

Kemudian Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permen KUMHAM) nomor 3 tahun 2021 dilahirkan lalu dilakukan pelatihan-pelatihan  untuk mencapai kompetensinya. Dan disempurnakan lagi dengan adanya modul supaya ada batasan-batasan. Setiap pemateri dalam menyampaikan hal substansi dari setiap bahan ajar yang disampaikan pada calon paralegal. Mengapa substansi? Karena ada yang lucu. Ada materi mengenai teknik laporan dan dokumentasi, laporan pengaduan dan dokumentasi hukum  harusnya menyampaikan laporan tapi ada pemateri yang menyampaikan bagaimana cara membuat dokumentasi kegiatan. Jadi proposalnya, penjiidannya, tebalnya, lalu isinya ada foto-foto. Bukan substansinya bagaimana membuat laporan, bagaimana membuat pengaduan di kepolisian. Berapa kali 1x 24 jam tetapi bagaimana cara membuat foto copy dokumen laporan tersebut. Dijilidnya biasa spiral atau lakban. Padahal yang kita mau hal substansinya. Maka dari itu perlu disampaikan adanya kebutuhan modul pelatihan paralegal. Demikian dikatakan oleh Masan Nurpian dari Badan Pembinaan Hukum Nasional  (BPHN) saat diskusi publik yang dihelat oleh Sigab Indonesia bekerja sama dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Senin (10/6).

Masan menambahkan terlebih saat ini sedang digalakkan peradilan secara inklusif sehingga dibutuhkan peran-peran paralegal yang berasal dari komunitas-komunitas tertentu. Komunitas-komunitas itu kalau dilihat dari rumpun legal air recipient maka ada tiga rumpun. Kalau di dalam undang-undang, ini ada yang senior citizent, perempuan hamil, anak dan disabilitas. Kalau melihat dari human referensi maka ada pengungsi, migrant worker, masyarakat adat, anak, dan juga perempuan. Perempuan banyak mengalami perdebatan di internal, apakah negara bisa mengkaver semua dan bagaimana negara memprioritaskan salah satu di antara ini. Tetapi tanpa menghindari adanya pandangan diskriminasi negara terhadapnya, lantas bagaimana negara mengkaver itu semua dengan APBN ? Jelas tidak mampu, ungkap Masan.

Tetapi bagaimana negara memikirkan mempertimbangkannya dengan pertimbangan non diskriminasi. Kalau perempuan dianggap kelompok rentan tapi perempuan yang seperti apa. Bagaimana bantuan hukum secara kebijakan memberikan upaya pemberian bantuan hukum yang inklusif bagi disabilitas dan yang lainnya.

"Kita sedang melakukan upaya perubahan rancangan Undang -undang Bantuan Hukum atau Rancangan Undang-undang (RUU) Bantuan hukum. Naskah Akademiknya baru selesai dibuat di akhir 2023. 2024 kita masih memikirkan transisi transisi politik dan bisa dikebut  setelah ada transformasi kepemimpinan di legislatif dan eksekutif, "terang Masan.

Sekarang ini draft masih dalam proses pengkajian dan pendalaman dalam penyusunan RUU bantuan hukum, standar upaya pelayanan bantuan hukum. Bagi organisasi bantuan hukum yang saat ini lagi eksis, maka dibentuk standar bantuan hukum stobela sebagai syarat, disusun oleh konsorsium seperti YLBHI, LBH Apik, dan lainnya dengan  prinsip tidak memandang kantor wilayah.

Kalau dibanding kantor wilayah, yang selalu ditekankan di litigasi adalah pelaku. Korban pun bisa untuk mengakses layanan litigasi. Permen no 4 tahun 2021 tentang Starla bantuan hukum semestinya paralegal  paham. Lalu dimasukkan ke Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN HAM) dan RAN disabilitas. Sehingga di aplikasi sudah diketahui mana penerima bantuan hukum yang disabilitas dan non disabilitas. BPHN saat ini memberikan asistensi dengan Sigab agar terakreditasi sebagai organisasi pemberi bantuan hukum dari tahun 2025-2029.

Di dalam draft RUU Bantuan Hukum perubahan undang-undang yang menjadi highligt hal-hal yang krusialnya saja. Bagaimana memberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada si penerima bantuan hukum. Dengan mencoba menjadi jasa hukum untuk menjadi layanan hukum bagi lainnya. Ada kebutuhan-kebutuhan yang secara inklusif mengakomodir kebutuhan dari penerima bantuan hukum saat ini karena mindset yang dipahami negara itu bukan secara langsung memberi bantuan hukum, atau bukan memberi bantuan organisasi bantuan hukum. Tapi bekerja sama dengan organisasi advokat untuk membantu penerima bantuan hukum. Penerima bantuan hukumnya adalah masyarakat yang masuk kategori kelompok rentan. Bantuan hukum non litigasi sifatnya primary legal aid. Primary legal aid itu apa, bahwa perkara itu harus diselesaikan harus secara litigasi. "Kita pelan-pelan dari sisi politik anggaran. Mengarahkan perkara itu ke litigasi. Karena apa? Ke litigasi yang lebih simpel. Kalau non litigasi lebih komplek karena ada pertanggungjawaban negara. Dan anggaran litigasi jauh lebih besar dari non litigasi. Pelan pelan kami juga sedang menyusun bersama teman-teman LBH Apik, YLBH dan IJRS untuk adanya perubahan standar biaya keuangan. Bagaimana non litigasi menjadi langkah pertama dalam penyelesaian perkara, baik pidana, perdata maupun Tata Usaha Negara (TUN), "ungkap Masan.

Namun ada juga aturan yang diatur oleh peraturan kapolri, kejaksaan, MA terkait di versi dan restoratif justice-nya  berikutnya adalah ketika non litigasi jadi primary legal aid. Yang utama adalah siapa yang berperan? Yang berperan adalah seorang paralegal. Non litigasi, di luar pengadilan  dimainkan peran seorang paralegal. Bukan berarti mendiskreditkan  advokat. Karena advokat sudah sangat luar biasa.

Maka untuk peran-peran non litigasi di luar pengadilan, memerlukan peran seorang paralegal. Kebijakan berikutnya adalah sandar layanan bantuan hukum : Starla Bankum. Ada asesmen kondisi kerentanan, dibutuhkan seorang penerima bantuan hukum. Bukan asesmen dibebankan kepada penyelenggara tetapi lembaga bantuan hukumlah sebagai pemberi layanan pertama : Seorang advokat atau paralegal di Organisasi Bantuan Hukum (OBH). Atau bahkan si penerima bantuan hukum harus mampu melakukan self assessment sendiri. Jangan misalnya orang mampu tetapi menganggap dirinya tidak mampu. Self assessment penting, terlebih asesmen yang dilakukan organisasi pemberi bantuan hukum juga menjadi penting. (Ast)