Fenomena kekerasan dan tayangan kekerasan saat ini sering kita temui dalam media visual seperti televisi dan aneka media lainnya termasuk media sosial. Teknologi dan digitalisasi media membuat banyaknya informasi mengenai kekerasan menjadi makanan sehari-hari yang dapat diakses setiap orang. Kasus-kasus seperti perundungan siswa, kekerasan di sekolah, pemerkosaan, penembakan, pembunuhan berencana, aksi begal, premanisme, terorisme, mutilasi, dan tindakan kriminal lainnya sering sekali muncul bahkan menjadi headline diberbagai media di Indonesia. Peran pers atau media massa dalam memberikan informasi sering menjadi pedang bermata dua. Ketika menampilkan hal-hal secara utuh akan menimbulkan penafsiran yang liar atas informasi.
Akan tetapi jika tidak disajikan secara utuh, ditakutkan informasi yang diterima masyarakat menjadi tidak konprehensif. Dengan demikian Pers atau jurnalis harus sangat hati-hati dalam memilah dan memilih berita yang akan dimuat atau dipublikasikan, penggunaan kata yang tepat juga menjadikan informasi memiliki dampak yang positif bagi penerimanya. Dalam perjalanannya, pers juga pernah memiliki masa kelam. Ketika Orde Baru, pers digunakan sebagai “corong” pemerintah. Pers dan para jurnalis yang tidak mengikuti keinginan pemerintah akan di “bredel” atau bahkan ditutup. Dewasa ini peran pers sudah semakin berkembang, dalam proses advokasi misalnya, pers sering digunakan untuk mempublikasikan kasus-kasus yang sedang terjadi. Tidak hanya sekedar mempublikasikan atau memberikan informasi, pers juga berperan untuk menarik simpati dan/atau dukungan agar semakin banyak perhatian masyarakat akan kasus yang sedang menjadi sorotan. Sehingga penanganan kasusnya bisa terpantau dengan baik. Akan tetapi, bukan berarti pers selalu menjadi sosok yang heroik dan mengutamakan kepentingan masyarakat, pers juga bisa menjadi racun yang berbahaya jika dalam penulisannya mampu menggiring opini negatif masyarakat dan merugikan pihak lain. Memasuki tahun 2023, pers sudah sudah mulai digunakan untuk melakukan kampanye terselubung dan menebar persona positif para elit politik.
Pers akan selalu menjadi alat politik yang utama untuk membangun kekuatan massa. Seperti kita tahu, kantor-kantor berita dan/atau media telah dimiliki oleh tokoh-tokoh politik negeri ini. Pengusaha besar dan tokoh politik bahkan terang-terangan menyiarkan mars lagu partainya secara terjadwal di seluruh media yang beliau miliki. Cara-cara seperti inilah yang sering kali terabaikan, padahal hakikatnya adalah propaganda. Tidak ada yang buruk untuk representasi ambisi ini, karena semuanya dikalkuasi dengan proses pertimbangan politik yang cermat. Apakah kemudian ini melanggar peraturan atau meloncati hukum, harusnya KPU dan Bawaslu harus tajam daya penciumannya. Pers dalam kesejatiannya lebih bernilai bila kebebasannya terbelenggu demi kebebasan bangsa dan negara. Maka apalah artinya pers bebas bila bangsa dan negara begitu tangkas menggencet nilai-nilai dasar demokrasi, mencekik supremasi hukum, meminggirkan hak asasi manusia, serta menghardik kebhinekaan. “Kebebasan pers berguna bukan hanya bagi media tetapi juga bagi publik. Dengan kebebebasan pers, publik bisa mendapatkan informasi yang terpercaya bangsa dan negara” (Mengelola Kebebasan Pers, penyunting Lukas Luwarso, 2008). Berpijak dari sini, yang sebetulnya menginginkan pers bebas adalah publik yang telah punya kebebasan berpikir dan menyuarakan pendapat. Karena pers sudah punya kepasrahan takdir untuk tidak bebas asalkan publik, atau bangsa, mencercap kebebasan. Pada tanggal 9 Februari 2023 yang lalu, kita baru saja memperingati hari pers nasional. Memasuki tahun politik, pers juga dihadapkan pada “godaan” untuk berpolitik. Bilamana era tahun 1920-an, wartawan atau pers sepertinya “wajib” berpolitik guna membangun perjuangan rakyat melawan penjajah, pertanyaan kini: masihkah relevan wartawan atau pers berpolitik? Pertanyaan inilah yang membuat Yayasan YAPHI semakin tergelitik untuk membuat diskusi santai lewat Ngobrol Bareng YAPHI (NGOPHI) dengan tema “Pers Zaman Sekarang Di Tengah Godaan Politik ”.