Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bersama Koalisi Kelompok Masyarakat Sipil mendesak Polda DIY untuk menghentikan penyidikan terhadap pengacara LBH Yogyakarta, yang juga pendamping kasus kekerasan seksual di Yogyakarta, Meila Nurul Fajriah, sebagai tersangka pencemaran nama baik.
Meila sebelumya ditetapkan sebagai tersangka pencemaran nama baik dengan pasal 27 Ayat 3 jo Pas 45 Ayat 3 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Koalisi menilai penetapan tersangka kepada Meila adalah sebagai upaya kriminalisasi sekaligus serangan serius pada perempuan pembela HAM maupun korban kekerasan seksual.
"Penetapan tersangka oleh Polda DIY merupakan serangan serius terhadap perempuan pembela HAM dan pendamping korban kekerasan seksual yang pada akhirnya menjadi preseden buruk kepada seluruh korban kekerasan seksual di tanah air, "jelas Ketua YLBHI, M. Isnur seperti dikutip Tirto.id Sabtu (27/2024).
Seperti diketahui, kekerasan yang terjadi dalam kasus yang ditangani oleh pengacara publik LBH Yogyakarta adalah fakta. Hal ini merujuk pada Surat Keputusan Rektor Universitas Islam Indonesia No. 327/SK-REK/DPK/2020) tertanggal 12 Mei 2020 tentang Pencabutan Penghargaan Mahasiswa Berprestasi Utama Tingkat Universitas Islam Indonesia Tahun 2015 atas nama Ibrahim Malik dan putusan perkara No. 17/G/2020/PTUN.YK yang berkekuatan hukum tetap. Bahkan, akibat dari kejahatan seksual yang dilakukan pelaku, korban mengalami dampak serius.
Menurut catatan yang diperoleh penulis, bahwa di tahun 2020 UII menganggap serius kasus ini dan menindaklanjuti dengan membentuk tim pencari fakta dan tim untuk mendampingi korban atau penyintas secara psikologis apabila diperlukan serta menunjuk LBH Fakultas Hukum UII untuk memfasilitasi korban atau penyintas yang berkeinginan untuk menempuh jalur hukum dalam rangka memperjuangkan dan melindungi hak-hak hukumnya. UII juga mendukung upaya penyintas yang telah melakukan aduan melalui LBH Yogyakarta dan sudah melakukan komunikasi.
Pasal 27 Ayat 3 jo Pas 45 Ayat 3 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) adalah pasal karet yang banyak digunakan untuk mengkriminalisasikan korban. Pasal ini berulang kali digugat dan diminta dihapus namun ironisnya tetap dipertahankan oleh pembentuk undang-undang. Meskipun demikian, saat ini terdapat pembatasan dalam pemberlakuannya yang merupakan bagian dari Putusan Mahkamah Konstitusi. Putusan MK soal UU ITE khususnya pada pencemaran nama baik memberikan syarat yang ketat dituangkan dalam SKB implementasi UU ITE. Disebutkan di sana bahwa ketika orang menyampaikan fakta terkait dengan apa yang dilakukan oleh seseorang tidak dapat dikategorikan sebagai pencemaran nama baik.
Berdasarkan putusan MK nomor 50/PUU-VV2008 tahun 2008, bukan delik yang berkaitan dengan muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, jika muatan atau konten yang ditransmisikan, didistribusikan,dan/atau dibuat dapat diaksesnya tersebut adalah berupa penilaian, pendapat hasil evaluasi atau sebuah kenyataan. Hal tersebut juga telah ditegaskan bersama dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pedoman Implementasi Atas pasal-pasal tertentu dalam UU No. 19 tahun 2018 tentang Perubahan UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang ditandatangani oleh Kapolri, Jaksa Agung, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Kriminalisasi terhadap perempuan pembela HAM yang merupakan pengacara publik pada LBH yogyakarta tidak hanya serangan terhadap independensi sebagai penegak hukum namun juga menjadi ancaman lembaga/organisasi bantuan hukum. (Ast)