Penghapusan Pernikahan Anak Pada Musyawarah Perempuan Nasional

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Pada acara puncak musyawarah perempuan nasional yang dihelat pada Sabtu (20/4) problematika perkawinan anak menjadi salah satu yang diusung untuk dibahas dengan detail dan menghasilkan rekomendasi-rekomendasi. Perkawinan anak adalah perkawinan yang dilakukan di usia kurang atau sama dengan 19 tahun. Pada praktiknya perkawinan anak usia kurang dari atau sama dengan 19 tahun terus meningkat.

Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA)  dan Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) bahkan di putusan pengadilan terkait dispensasi kawin terus meningkat terutama tahun 2019-2020. Rata-rata perkawinan anak di 8,64% secara nasional sepanjang periode 2020-2023.

Ada empat hal penting terkait persoalan tersebut. Perwakilan dari peserta yang mengusung isu ini  dari perempuan 'akar rumput' telah menganalisanya bersama, dan hal itu disebabkan  karena 1.Terbatasnya akses yakni akses pendidikan hak kesehatan seksual dan kesehatan reproduksi  (kespro) serta minimnya  fasilitas sarana dan prasarana pendidikan  di daerah tertinggal, terdepan, terluar (3 T)  yang terbatas. 2. Minimnya partisipasi tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama dalam sosialisasi pencegahan perkawinan usia anak atau sama dengan 19 tahun, minimnya ruang daya untuk evaluasi dan kontrol terhadap kebijakan dispensasi pernikahan. 3. Masih lemahnya pemantauan forum- forum eksternal dan organisasi masyarakat sipil, dan masyarakat memastikan strategi daerah terkait Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), mengenai pencegahan pernikahan anak telah terintegrasi dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).4. Anak yang mengalami perkawinan kurang atau sama dengan 19 tahun  khususnya perempuan belum mendapatkan program dari pemerintah kecuali yang masuk kasus  karena tindak kekerasan.

Sedangkan faktor penyebab perkawinan anak yang menikah usia kurang atau 19 tahun adalah di antaranya : 1. Adanya faktor langsung yang terjadi di tingkat keluarga yaitu anak dianggap sebagai aset di mana untuk mengurangi beban  sehingga anak harus dinikahkan. 2. Kurangnya pengetahuan orang tua anak mengenai kespro  dan seksualitas serta kehamilan yang tidak diinginkan serta dampak pernikahan di usia dini, usia anak dan usia 19 tahun. Dampak tidak langsung juga terjadi di masyarakat. 3. Adanya tradisi budaya, stigma perawan tua dan menikah muda lebih baik serta tafsir pemahaman agama mempercepat usia pernikahan adalah ibadah. Di tingkat masyarakat ada faktor tidak langsung dimana pernikahan terjadi di usia anak menjadi pola bagi teman sebaya bahwa menikah muda itu keren. Di tingkat negara terjadi faktor di antaranya regulasi dispensasi pernikahan dan monitoring yang masih lemah dan belum optimalnya peran pemerintah, sarana dan pra sarana  pendidikan terutama terkait pendidikan seksual reproduksi serta seksualitas.

Berdasarkan persoalan tersebut, pengusung yang berasal  dari masyarakat ‘akar rumput’  menginginkan adanya percepatan pengurangan angka kasus pernikahan anak dan kurang atau sama dengan 19 tahun di Indonesia. Dan  merekomendasikan :  1. Menguatnya peran orang tua dalam pendidkam dalam keluarga khususnya keluarga yaitu keluarga pembaharu berperspektif Gender, Equality, Disability, Social, Inclusion (GEDSI), kesehatan seksual dan reproduksi dan dampak perkawinan anak. 2. Memperluas aksesibilitas sarana dan pra sarana  yang layak dan pengetahuan hak kesehatan seksual dan reproduksi. 3.  Mendukung partisipasi perempuan, meningkatnya peluang lapangan pekerjaan dan kewirausahaan bagi keluarga miskin dan daerah tertinggal, terdepan, terluar  (3 T). 4  Penyusunan implementasi dan pemantauan evaluasi terhadap regulasi, kebijakan dan program serta anggaran. (Astuti)