Wiwin Siti Aminah Rohmah, Co Founder Srikandi Lintas Iman dan Direktur Direktorat GESI UNU/Gender Equality and Social Inclusion Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta dalam siaran IG Live @letsstalk_sexualities yang dipandu oleh Renvi Liasari menyatakan bahwa Indonesia memiliki deklarasi tentang Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama/Kepercayaan PBB tahun 1981 Pasal 1 menyatakan,”Setiap orang bebas untuk memilih dan menganut agama/kepercayaan, dan memanisfestasikannya secara pribadi dan berkelompok, baik dalam beribadat, pengalaman, maupun pengajarannya.”
Tetapi hingga kini masih terus-menerus banyak kasus intoleransi beragama dan berkeyakinan. Ini yang kemudian menurut Wiwin menjadi keprihatinan bersama,
Wiwin tertarik dengan gerakan perempuan dan isu keberagaman dan itoleransi yang menurutnya bukan sesuatu hal baru, ketika masuk universitas ditahun 1995. Ketika itu mulai ada pengkaderan dan ia dikenalkan isu gender. Menurutnya itu menarik karena erat hubungannya hak perempuan.
Ia kemudian menggeluti isu lintas iman di tahun 1997 menjelang terjadinya reformasi. “Kita punya potensi cukup besar terjadinya konflik jadi kalau tidak diantisipasi akan berpotensi muncul kembali,”ujarnya. Sama keyakinannya bahwa masyarakat punya peran atau kontribusi bagi terwujudnya toleransi di Indonesia.
Terkait sebanyak apa atau kuantitasnya, para aktivis yang fokus ke isu intoleransi lintas iman dan agama menurut pengamatan Wiwin sejauh ini belum banyak, baik personal atau organisasi. Wiwin juga bertanya kepada teman pun terkait dan peneliti melihat isu toleransi dan lintas agama bukan sebagai prioritas.
Ada prioritas lain yang dipandang mendesak dibanding isu ini. Padahal tantangan di Indonesia cukup besar terkait isu toleransi sebab budaya patriarki belum memberi ruang cukup besar. Isu ini masuk di crosscutting isu dan irisannya cukup besar dan kalau terjadi kasus intoleransi, korbannya adalah perempuan dan anak-anak, juga terkait kasus terorisme.
Contohnya kasus Ambon dan Poso yang paling menderita perempuan dan anak. Perempuan di dalam konflik maupun tidak di konflik selalu sebagai pioner.
Di Ambon banyak penelitian menemukan mama di Ambon justru membuat ruang netral, komunitas Kristen dan muslim berjumpa di pasar. Perempuan, bagaimana bisa survive terkait kehidupan itu sendiri, mereka harus menembus batas-batas.
Namun begitu masih banyak yang belum melihat bahwa perempuan sebagai agen perdamaian.
Berdasarkan riset Wahid Foundation masih banyak terjadi kasus intoleransi di masyarakat terkait Suku, Agama dan Ras (SARA).
Juga sumber dari Kementerian Agama menyatakan bahwa indeks toleransi beragama belum seperti yang diharapkan sebab tidak semua daerah memiliki meindeks yang diharapkan. Nusa Tenggara Timur (NTT) indeks tertinggi.
Situasi-situasi di NTT atau Kupang belum tentu terjadi di semua daerah.Ini menjadi persoalan serius baik dibanding jumlah daerah terkait otonomi daerah. Jadi sebaiknya isu ini diinisiasi di tingkat lokal dan tidak menunggu pusat sehingga daerah bisa menjadi basis. Serta bagaimana mereka bisa mengeluarkan kebijakan yang mendukung toleransi.
Lalu faktor lain apakah yang membuat kasus intoleransi tetap terjadi? Sebenarnya ada banyak faktor yang bisa digali mengapa kasus itu masih terjadi sampai saat ini di antaranya pemahaman yang masih belum terbuka sebab orang tidak akan melakukan intoleransi kalau dia memiliki cara pandang inklusif.
Kedua adalah Law Enforcement praktik penegakan hukum atau sistem yang di dalamnya terdapat anggota pemerintah yang bertindak secara terorganisir untuk menegakkan hukum dengan cara menemukan, menghalangi, memulihkan dan menghukum sangatlah penting. Kalau ada kasus diselesaikan dengan baik, maka tidak akan terulang. Kalau sampai pengadilan mengambang, maka berpotensi peristiwa kembali berulang.
Ketiga, penting terkait tokoh agama harus menjadi tokoh yang benar-benar teladan misalnya kyai dalam konteks Islam.
Keempat berkaitan faktor regulasi. Di Indonesia satu sisi mendukung di satu sisi kurang mendukung misalnya terkait rumah ibadah. Kasus tertinggi saat ini adalah pelarangan atau persulitan pendirian rumah ibadah misalnya soal keharusan ada Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Kenyataan ada dukungan sekian puluh orang misalnya harusnya itu sudah menjadi prasyarat. Konteks Indonesia terkait lokalitas ada perbedaan jumlah penduduk dan aturan itu belum tentu diaplikasikan di Indonesia. Faktor ini dari dulu sampai sekarang ada yang sama ada yang berbeda.
Sekarang ini ada gejala over relijiusitas/ beragama secara berlebihan sehingga sedikit-sedikit dikaitkan dengan syariah.
Ada kasus terkait keadilan gender dan intoleransi beragama dan bagaimana hal tersebut ada keterkaitannya. Misalnya kasus Medan yang mempersoalkan azan, perempuan budhis yang dia sebenarnya tidak protes dalam pengertian keras, namun karena isu ini sensitif kemudian berkembang.
Dalam konteks kasus ini perempuan mendapat beban ganda yakni dia sebagai perempuan dan dia dibully. Perlu diakui bahwa kasus intoleransi tidak melulu dilakukan laki-laki. (ast)