Ada hal menarik yang disampaikan oleh Doktor Windhu Purnomo, dosen FKM Universitas Airlangga dalam sebuah diskusi via zoom meeting yang digelar oleh Forum Diskusi Denpasar 12 bertema “Meramu Keseimbangan Antara (Kewaspadaan Gelombang ke-3) COVID-19 dan Kenormalan Baru" di akhir September lalu, bahwa ketika pada bulan Juni virus Delta merebak, banyak angka kematian karena COVID-19, sebab pasien tidak mendapat tempat tidur dan ruang isolasi yang terbatas. Angka testing dan tracing yang sangat jauh dari ideal juga menyumbang besarnya angka kematian. Baru 13% penduduk Indonesia yang melakukan testing dan tracing, sangat kecil dibanding Singapura yang 300% dan Australia 400%. Apa yang belum terdeteksi masih banyak di luaran. Menurut Windhu, kita harus hati-hati dengan data yang dilaporkan sebab kasus positif COVID-19 dan angka kematian masih seperti fenomena gunung es.
Dibanding kondisi global dan Singapura, saat ini Australia meningkat lagi kasusnya, sedangkan India dan Malaysia sudah seperti Indonesia. Yang luar biasa walau Singapura dan Australia angka kasus positif meningkat, tetapi angka kematian rendah, yakni 0,09% sedangkan angka kematian di Indonesia 3,37% dan di angka global adalah 0,2%. Ini dikarenakan mereka siap dengan dalam sistem kesehatannya, jadi meski kasus meningkat tapi kematian kecil. Saat ini di Indonesia sendiri mampu menekan angka kematian, yang dari sebagian besar provinsi berada di PPKM level 4 kemudian menjadi level 3.
Setelah level turun kemudian ada mobilitas masyarakat. Menurut Windhu, virus setelah Delta yang saat ini ada di luar negeri tidak sedahsyat Delta. Ia berpesan jangan sampai terjadi virus Delta mengikut lagi. Kalau mobilitas saat hari Natal dan Tahun Baru bisa ditekan, maka varian baru tidak masuk. Tetapi kalau tidak bisa ditekan, maka varian baru bisa masuk. Antisipasi yang dapat dilakukan adalah dengan menjaga perbatasan lintas batas negara dan itu sangat tergantung kebijakan di hari-hari ini. Ada banyak hal yang perlu diwaspadai yaitu : dibukanya kembali Pulau Bali, PON di Papua dan even MotoGP Mandalika di Mataram NTB. Dan yang tak boleh disepelekan bahwa kita memiliki waktu karantina hanya lima hari di bulan-bulan sebelum Juli, seperti karantina yang diberlakukan kepada para pekerja migran. Angka akses vaksin di Indonesia juga masih kecil sehingga kita masih belum tahu apakah sudah terlindungi atau belum. Hal ini karena Indonesia masih tergantung pasokan vaksin dari luar negeri.
Indonesia sama dengan Singapura yang memiliki aplikasi yang nyaris sama yakni pedulilindungi. Ibaratnya, aplikasi pedulilindungi itu senjata, tetapi amunisinya ada di surveilant yakni testing dan tracing. "Kalau angka testing dan tracing masih rendah, berarti amunisi kita masih rendah. Maka, testing dan tracing harus dilakukan dengan masif," pungkas Windhu Purnomo. (Astuti)