Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Peristiwa Tragedi Mei 98 menjadi  momentum penting karena pada momen tersebut, gerakan perempuan melihat peluang melakukan perubahan mendasar. Di awal reformasi saat itu ada upaya mau mendesakkan perbaikan di ranah politik dengan mendorong kebijakan afirmasi politik, selain itu juga persoalan  isu tentang  kekerasan tubuh dalam konteks kekerasan rumah tangga juga menjadi  isu yang didorong dalam pengesahan  UU PKDRT. Demikian dikatakan Anita Dewi dalam seri diskusi KCIF oleh LettsTalk_Sexualities.



Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Dirjen HAM Kementerian Hukum dan HAM,  Dhahana Putra, dalam seminar internasional dan seni instalasi terkait kondisi instutisionalisasi penyandang disabilitas mental yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) mengatakan bahwa Indonesia menjunjung tinggi HAM dalam landasan konstitusional RI UUD 45 dan Pancasila  telah mengatur jaminan HAM. Pengakuan HAM juga ada di sila kedua Pancasila. Juga ada di Undang-undang  Nomor 8 Tahun  2016  sebagai subjek dan modal sosial pendekatan  dari charity base ke pemenuhan HAM.

Bahwa disabilitas mental terpinggirkan dan mendapat stigma dipandang sebagai insan yang merepotkan bahkan,  banyak yang dipandang lebih rendah dari manusia, terkait harkat dan martabat,  pemasungan, penyiksaan dan tindak kekerasan lainnya. Realitasnya mereka dipasung di tengah masyarakat dan di panti rehabilitas.

Pokja Penghormatan, Pelindungan, Pemenuhan, Penegakan dan Pemajuan HAM (P5HAM) telah melakukan kunjungan lapangan ke panti-panti yang ada di Jabodetabek, Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jatim menemukan banyak pelanggaran HAM   dan kekerasan seksual dalam panti. Menurut Dhahana Ini bentuk kekerasan yang tersembunyi.

Kemenkumham mengapresiasi kerja pokja P5HAM dan upaya-upaya kerja selanjutnya  akan dilakukan lebih efektif.

Sedangjan narasumber lain, Ketua PJS Yeni Rosa Damayanti menyatakan bertahun-tahun telah mengunjungi panti-panti sosial yang fotonya sudah dipamerkan di tempat seminar, bahkan kunjungan tersebut dilakukan sejak tahun 2012. Foto-foto berasal dari panti-panti di pulau Jawa yakni  Jawa Barat, Banten dan beberapa daerah Jawa Timur.

Menurut Yeni Rosa, mereka "dihukum" tanpa tindakan hukum. Tidak adanya vonis sehingga tidak tahu kapan keluar. Kekerasan seksual mungkin saja terjadi tapi tidak ada mekanisme kekerasan artinya kalau terjadi kekerasan tidak ada yang melapor. Hal itu berakibat kesehatan reproduksi perempuan terganggu seperti yang terjadi di Kebumen, darah menstruasi berceceran. Dia buang air sembarangan.

Data terbatas ada di angka 18  ribu orang  hidup di panti. Atau sekitar 20 ribuan orang dalam kondisi hidup di panti begitu dan tidak ada yang tahu. Artinya apa yang terjadi ini tidak diketahui orang. "Berbicara masalah penyiksaan-penyiksaan yang  terjadi di panti-panti sosial ini tidak dibicarakan atau tidak diangkat ke permukaan,"ujar Yeni. (Ast)

 

 

 


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Panelis kedua pada Letsstalk_Sexualities even KCIF,  Si Luh Ayu Pawitri memaparkan "Wiji Kendeng. Bagaimana Krisis Iklim dan Perlawanan dari Selatan." Penelitian Ayu lewat Wiji Kendeng membedah bagaimana   krisis  iklim menjadi isu sangat panas di hari ini. Krisis iklim  membuat kebutuhan perempuan dan anak terbatas untuk mendapat akses yang lebih baik.  Akses air oleh perempuan dialami oleh  perempuan di Indonesia dan dunia terkait proses domestik di rumah. Juga kebutuhan reproduksi perempuan sendiri secara global krisis yang berdampak juga pada semua makhluk. Perempuan dan anak jadi sasaran paling rentan.