Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Keberadaan Pembela HAM sangat penting dalam pemenuhan, pelindungan, dan penghormatan HAM. Pembela HAM telah secara nyata berpartisipasi dan berkontribusi dalam memajukan dan menegakkan HAM di Indonesia, baik di tataran kebijakan maupun implementasinya. Pembela HAM berkontribusi dalam di antaranya bentuk pendampingan korban dalam memperjuangkan hak asasinya; pemberdayaan dan pengorganisasian komunitas; pengajaran dan peningkatan kapasitas HAM; peningkatan kesadaran publik dan kampanye HAM; peliputan, pemantauan, dan dokumentasi peristiwa pelanggaran HAM; pelindungan saksi atau korban pelanggaran HAM;pemeliharaan lingkungan; penelitian dan pengembangan ilmu HAM; advokasi perubahan hukum dan kebijakan yang mendukung penegakan HAM; mengusahakan perdamaian, resolusi konflik, dan harmoni sosial; melakukan kegiatan kemanusiaan; penguatan demokrasi dan pemerintahan yang baik; pemantauan korupsi dan akses ataskeadilan; dan pelbagai bentuk kontribusi pemajuan HAM lainnya.

Berbagai kontribusi dalam pemajuan dan penegakan HAM tersebut telah diakui baik oleh norma HAM internasional maupun peraturan perundang-undangan nasional. Deklarasi tentang Hak dan Tanggung Jawab Individu, Kelompok, dan Organ Masyarakat untuk Memajukan dan Melindungi Hak Asasi Manusia Universal dan Kebebasan Dasar, yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi PBB tentang Pembela HAM. Pada Pasal 1 Deklarasi ditegaskan: “Setiap orang mempunyai hak, secara sendirisendiri maupun bersama-sama dengan yang lain, untuk memajukan dan memperjuangkan perlindungan dan pemenuhan HAM dan kebebasan dasar di tingkat nasional dan internasional.” Pada Pasal 12 Deklarasi ditegaskan: “Setiap orang memiliki hak, secara sendiri-sendiri dan dengan berorganisasi bersama-sama dengan yang lain, untuk berpartisipasi dalam aktivitas damai melawan pelanggaran HAM dan kebebasan dasar.”

Sementara Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), khususnya Pasal 28C Ayat (2), menegaskan bahwa: “Setiap orang berhak untukmemajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.”Pembela HAM sering berada dalam situasi yang memprihatinkan. Mereka kerap mendapatkan ancaman dan/atau serangan atas kegiatan yang mereka lakukan di bidang pemajuan dan penegakan HAM. Ancaman dan/atau serangan tersebut dapat berbentuk penghalangan atau pembatasan kegiatan pembelaan dan pemajuan HAM; serangan fisik, psikis, verbal, seksual secara langsung atau melalui sarana digital; fitnah; diskriminasi; penyalahgunaan proses hukum, atau pelbagai bentuk serangan lainnya. Ancaman dan/atau serangan tersebut ditujukan untuk menghentikan Pembela HAM dari melakukan kerja-kerjanya. Michel Forst, Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa- Bangsa untuk Pembela HAM Periode 2014‒2020 menyebutkan bahwa di banyak negara, kegiatan pemajuan dan penegakan HAM masih merupakan kegiatan yang sangat luar biasa berbahaya.

Beberapa peristiwa ancaman dan/atau serangan terhadap Pembela HAM dapat berbentuk penyalahgunaan proses hukum. Pembela HAM harus berhadapan dengan proses hukum dan administrasi yang tidak sah atau penyalahgunaan kewenangan administratif atau peradilan dalam bentuk lainnya, termasuk penerapan perundangundangan secara sewenang-wenang atau ketidaksetaraan di hadapan hukum, dengantujuan atau dampak untuk menghentikan, menghalangi, atau memberikan stigma negatif atas kerja pembelaan HAM. Pembela HAM juga kerap mengalami intimidasi, baik secara langsung maupun tidak langsung, melalui saluran telepon atau melalui sarana digital.

Pembela HAM juga dicemarkan reputasinya, diberikan stigma buruk atau label negatif, dilukai dan bahkan dibunuh. Pelanggaran, ancaman, atau serangan ditujukan secara langsung kepada pembela HAM dan juga terhadap keluarga, kerabat, sahabat, atau orang-orang dekat di sekitar Pembela HAM.

Mary Lawlor, Pelapor Khusus PBB tentang Situasi Pembela HAM peridoe 2020‒ 2023 mencatat bahwa selama periode 2015‒2019, pembunuhan terhadap Pembela HAM paling tidak terjadi di 64 negara, termasuk Indonesia.5 Michel Forst, Pelapor Khusus PBB tentang Situasi Pembela HAM periode 2014‒2020, juga telah menerima laporan penahanan sewenang-wenang dan kriminalisasi terhadap Pembela HAM di Indonesia.6 Sepanjang 2020-2023, Komnas HAM menerima sebanyak 39 aduan dugaa pelanggaran HAM para pembela HAM dari berbagai wilayah di Indonesia, yang meliputi ancaman dan serangan yang berkaitan diantaranya dengan hak atas rasa aman, hak memperoleh keadilan, hak hidup, dan hak berpendapat dan berekspresi. Aduan ke Komnas HAM tentu tidak merefleksikan gambaran utuh atas situasi pelindungan danpemenuhan HAM para pembela HAM. Namun menjadi puncak gunung es betapa setelah 25 tahun reformasi, para Pembela HAM menghadapi berbagai ancaman dan serangan.

Perempuan Pembela HAM mengalami ancaman dan/atau serangan yang lebih khusus. Dibandingkan dengan Pembela HAM yang lain, Perempuan Pembela HAM lebih berisiko mengalami kekerasan dengan bentuk tertentu karena gendernya atau kekerasan berbasis gender, prasangka buruk, pengasingan, penyangkalan, pelecehan seksual, gender stereotip, dan dianggap melanggar adat. Pelanggaran terhadap hak Perempuan Pembela HAM justru berasal dari komunitas, keluarga inti, atau kerabat dari tempat mereka berasal. Hal ini di antaranya karena perempuan dilihat dari sudut pandang peran tradisional mereka di dalam komunitasnya. Keterlibatan perempuan dalam pembelaan. HAM ditentang, dibatasi, atau dipersalahkan saat mengalami serangan.

Selain juga mengalami risiko pelanggaran terhadap integritas fisik dan psikologisnya, Perempuan. Pembela HAM juga mengalami kekerasan berbasis gender, perkosaan dan kekerasan seksual dalam berbagai bentuk, pelecehan secara fisik atau verbal, kekerasan sosial dan ekonomi, serta serangan terhadap reputasinya, baik secara langsung maupun melalui sarana digital. Demikian pula halnya Pembela HAM yang berasal dari kelompok rentan dan minoritas, seperti penyandang disabilitas, masyarakat adat, minoritas suku, agama dan kepercayaan, minoritas orientasi seksual dan identitas gender, orang lanjut usia, anak- anak, pekerja migran, dan pengungsi, dan lainnya. Oleh sebab itu kita perlu mengawal komitmen Pemerintah Indonesia untuk mengadopsi peraturan perundang-undangan dan menerapkan kebijakan komprehensif bagi perlindungan pembela HAM/perempuan pembela HAM, termasuk pembela lingkungan, aktivis dan jurnalis; dan mengadopsi kerangka hukum dan kebijakan komprehensif yang menyediakan mekanisme perlindungan preventif bagi pembela hak asasi manusia.

Komnas HAM telah menerbitkan Peraturan Komnas HAM Nomor 5 Tahun 2015 tentang Prosedur Perlindungan Terhadap Pembela HAM dan menerbitkan Standar  Norma dan Pengaturan (SNP) Nomor 6 tentang Pembela HAM sebagai acuan dan penjelasan bagi penyelenggara negara dan masyarakat dalam melindungi dan memajukan hak-hak pembela HAM yang memegang peran sentral dalam agenda pemajuan dan penegakan HAM di Indonesia. Selain itu SNP Pembela HAM, Komnas HAM telah menerbitkan sebelas SNP lain, yang terbaru terkait dengan Pemilu dan Hak-hak Kelompok Rentan.

Namun Komnas HAM tak dapat berjalan sendiri. Pemajuan dan Pelindungan terhadap Pembela HAM membutuhkan gerak bersama, antara Komnas HAM, Lembaga HAM lainnya, seperti Komnas Perempuan, LPSK, KPAI, KND, akademisi, dan Gerakan masyarakat sipil, dan tentu saja kehadiran negara sebagai “duty bearer” dari HAM. Demikianlah, melalui Konferensi Pembela HAM di kota Bogor ini, kami berharap bahwa ruang diskusi dan kolaborasi di antara berbagai aktor dan institusi, di antara pembela HAM, akan membuah energi baru bagi pemajuan dan pelindungan bagi Pembela HAM yang baik secara langsung akan mendorong pula kondisi HAM di Indonesia.

We owe it to brave women and pioneers many of the rights that we consider

fundamental nowadays. Those women were our defenders for human rights and

suffered from reprisal because of it. Thousands of defenders for human rights put their

Pidato Kunci | Konfernas Pembela HAM

 

ives at risk today, for our well-being. That is why we need to protect them (Claudia

Samayoa, Guatemalan Activist)

Terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr Wb

 

Ketua Komnas HAM

Atnike Nova Sigiro


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Cucu Saidah, inisiator Jakarta Free Barier Tourism (JBFT) dalam diskusi Forum Denpasar 12, mengatakan bahwa untuk memastikan pemenuhan hak difabel maka yang selalu dibicarakan adalah kebijakan,  baik di pusat maupun daerah  serta bagaimana perlakuan diskriminatif  terhadap difabel akan semakin berkurang. Namun dari itu semua yang paling utama adalah kerja sama antar pihak. Terkait bicara  aksesibilitas tentu manfaatnya bagi semua dan merata. Tentang aksesibilitas ini  misalnya, ada di pihak penyedia jasa bangunan awalnya tugasnya adalah mempermudah bagi difabel, bagaimana kebermanfaatannya.


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Kasus kekerasan kepada perempuan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) intensitasnya  makin tinggi akhir-akhir ini dan tidak sedikit yang menyebabkan kematian. Kasus Cikarang dan kasus Dokter Qory menunjukkan bagaimana penanganan kasus KDRT sangat sulit dari UU yang progresif. Kasus Cikarang korban tidak segera melaporkan kasusnya, kembali kepada pelaku dan kemudian korban dibunuh oleh suaminya. Kasus Dokter Qory yang sudah melaporkan ke polisi dan tidak segera  berujung ke penangkapan pelaku. Kadang kasus pembuktian kasus KDRT sangat sulit dicari pembuktian bahkan dicarikan bukti-bukti yang lain. 


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Perda nomor 9 Tahun 2020 yang disahkam pada Desember 2020 telah mengamanatkan 9 Perwali yang bakal jadi aturan pelaksanaannya. Demikianlah hasil dari diskusi oleh Jaringan Visi Solo Inklusi bersama Yayasan YAPHI yang dilakukan beberapa kali bahkan serial saat pandemi COVID-19 masih melanda. Jaringan Visi Solo Inklusi adalah sebuah jaringan masyarakat sipil yang mewadahi berbagai organisasi difabel dan komunitas di Surakarta antara lain PPRBM Solo, SHG Solo Berseri, dan Gerkatin, KPSI Solo Raya, SKAI.

Beberapa diskusi yang sudah terlaksana tersebut menghadirkan narasumber dari Bagian Hukum Setda Pemkot Surakarta dan tim penyusun lainnya yakni difabel sebagai tenaga ahli, serta seorang anggota DPRD.

Setelah mengerucut bahwa jelas amanat perda adalah pemerintah segera menerbitkan Perwali, maka terjadi kesenjangan diskusi. Lalu proses itu pun berjalan untuk mengejar tenggat waktu dua tahun pasca disahkan harus sudah terbit Perwali.

Rupanya, telah terbentuk tim penyusun beberapa waktu belakangan ini yang salah satunya adalah Purwanti, seorang pegiat isu difabel. Purwanti juga terlibat sebagai tim yang berperan aktif dan berpartisipatif penuh saat penyusunan Perda. Bersama Rina Herlina, seorang akademisi, serta seorang narasumber  bagian hukum Pemkot, draft Perwali berhasil disusun.

Hingga pada 23 Nopember 2023 lalu diselenggarakanlah komunikasi publik oleh Dinas Sosial Kota Surakarta yang mengundang 100-an orang yang berasal dari berbagai elemen masyarakat.

Ada beberapa hal urgen menjadi perhatian bahwa bahwa Perda nomor 9 tahun 2020 telah mengamanatkan 9 Perwali namun dalam pelaksanaannya Perwali tersebut kemudian dihimpun menjadi satu draft perwali yang didalamnya memuat 11 bab.


Konsensus Penyusun dengan Dinas Pendidikan : Ada Peraturan Sendiri Terkait ULD Kependidikan


Dalam bab II draft Perwali yang membahas tentang Pendidikan Inklusif, ada usulan dari seorang peserta yakni  praktisi pendidikan agar memasukkan Peraturan Permendikbud nomor 48 tahun 2023 tentang Akomodasi Yang Layak (AYL) pada dasar hukum yang digunakan. Dan dijawab bahwa untuk dasar hukum yang dimasukkan sudah jelas yakni Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Daerah. 


Lain hal menurut narasumber Purwanti, bahwa saat ini para penyusun sudah memiliki konsensus dengan Dinas Pendidikan bahwa mereka akan memisahkan Perwali Pendidikan Inklusif akan masuk dalam Perda Pendidikan. Artinya bahwa draft Perwali saat ini tidak memasukkan tentang pendidikan inklusif, terkait pendidikan inklusif dan Unit Layanan Disabilitas (ULD) pendidikan akan diatur tersendiri. 


Bab III yang membahas tentang Penyediaan Akomodasi yang Layak (AYL) di Bidang Ketenagakerjaan mendapat banyak perhatian dari audiens dengan berbagai pendapat dan masukan seperti yang disampaikan oleh DR. Budi Santosa, dosen Poltekkes, bahwa perlu pengawas atau supervisor terkait kebutuhan mentorship supaya kalau ada konflik terkait ketenagakerjaan bisa menengahi. Ia menyoroti terkait bagaimana peraturan ketenagakerjaan khususnya kepada penyandang disabilitas sangat diskriminatif sebab mensyaratkan umur tertentu serta syarat sehat jasmani dan rohani. Menurutnya seharusnya peraturan umur terkhusus untuk difabel dihapus sebab untuk aturan itupun tidak berlaku untuk atlet paralimpik. (ast)