Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Dewi Candraningrum lewat progam VOICE yang didukung oleh HIVOS  menginisiasi diskusi terfokus terkait survey yang selama sebulan dilakukannya. Survey yang membidik 148 orang ini diikuti oleh di antaranya sesama pengakses program VOICE dan kelompok perempuan, minoritas agama, adat,difabilitas, minoritas gender dan seksual, kelompok remaja rentan, lansia pemangku hak dan yang lainnya. Dari keseluruhan 55% pengakses survey berusia 18-24 tahun, dan 99,67% memiliki identitas gender, dan 52% berasal dari suku Jawa dengan mayoritas bergama Islam.

Ketika pertanyaan mencuat terkait apakah saat ini ada kebijakan /peraturan/program yang menghambat gerakan/advokasi/pemberdayaan diri pemegang hak atau komunitas, 76 orang responden menjawab ya, dan 72 orang menjawab tidak. Dan saat menjawab tekait apakah ada kebijakan/aturan/program saat ini yang menyebabkan diskriminasi/kekerasan/pengecualian bagi komunitas/pemegang hak? dari 148 responden, 79,53% menjawab ya adalah 69,47%.

Siti Aminah Tardi, Komisioner Komnas Perempuan saat FGD menyatakan bahwa analisa yang dilakukan dalam penelitian ini bisa mendorong lembaga layanan sehingga kebijakan yang sudah ada terimplementasikan dengan baik,  jadi ada kebijakan penunjukannya.

Sedangkan Dewi Tjakrawinata, pegiat isu disabilitas menyampaikan bahwa analisa dalam penelitian yang terkait disabilitas sudah cukup. Ia sangat menghargai atas upaya dan kerja Dewi Candraningrum terlebih ini akan berguna ke depan bagi anak yang tidak bisa berkembang dan bertumbuh dengan baik  terutama bagi disabilitas.

Albert Wirya peserta lain dari LBH menilai bagaimana lampiran penelitian ini sangat persepsional. Menurutnya sangat terlihat sebagai analisa persepsional seperti ini memang sangat penting. Hal lain berkaitan ini dengan misalnya dampak psikologis terutama dua tahun masa pandemi dengan berbagai suasana politik yang tentu akan berpengaruh pada responden yang berasal dari kelompok marjinal. Isu politik yang kemudian akhirnya merambah ke isu LGBTdengan situasi dipojokkan atau ancaman untuk meningkatkan popularitas tokoh atau elektabilitas.

Usulan Memasukkan Emergency Risk Akses Kerja Bagi Kelompok Disabilitas

Giani dari Voice memberi apresiasi atas kerja-kerja penelitian selama 1-2 bulan ini dan ia tertarik terkait emergency risk yang belum memasukkan akses kerja bagi penyandang disablitas dan tidak tertuang dalam kolaborasi. Dan langsung ditanggapi oleh peneliti, Dewi Candraningrum, yang akan memasukkan dalam kolaborasi-kolaborasi yang dapat dilakukan. Apalagi terkait masalah payung hukum, Indonesia telah memiliki Undang-undang nomor 8 Tahun 2016 yang di dalamnya mengatur tentang berapa persen tenaga kerja disabilitas yang harus dipekerjakan sebagai PNS, pegawai BUMN dan sektor swasta. Terlebih saat ini isu akses pekerjaan sedang didengungkan terutama akses pekerjaan bagi disabilitas mental dan intelektual.

Qori dari Pamflet mewakili generasi orang muda terutama isi berlapis di kelompok muda menyampaikan pentingnya orang muda terkait kerentanan ruang aman, dan butuh kesempatan. Juga terhadap komunitas yang mengedepankan keseteraan, dan terkait bagaimana dengan  komunitas adat, mereka bisa bersuara di komunitasnya juga. Ini terjadi pula di komunitas LGBT. “Untuk first votter, partisipasi tidak diambil secara meaningfull dan yang diambil adalah yang tidak mewakili semua generasi,” terang Qori.

Juga bagaimana terkait sosialisasi akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum, dipertanyakan dalam  diskusi ini apakah juga menjadi pertanyaan dalam survey sebab ini penting karena menyangkut disabilitas yang menjadi korban kekerasan seksual dan pantas untuk di-highlight.  (Ast)



Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Ada beberapa catatan dari kegiatan FGD yang dilakukan oleh Jaringan Masyarakat Pedulii Sungai Juwana (Jampisawan) didukung Yayasan YAPHI pada Rabu, (15/6) bertempat di Sekolah Tinggi Agama Islam Pati (STAIP). FGD dihadiri oleh antara lain para anggota Jampisawan, DPRD, BBWS dan BPDAS, Bappeda Pati serta akademisi. Dibuka dengan memperkenalkan Jampisawan dan kegiatan-kegiatan yang pernah dilakukannya, Sunhadi, ketua panitia sekaligus ketua Jampisawan mengatakan bahwa pihaknya pernah menggelar Festival Sungai Juwana. Jampisawan mendorong agar proses normalisasi sungai berhasil dilaksanakan.


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Beberapa hal penting terkadang luput dari perhatian kita, padahal hal tersebut sering terjadi misalnya keluarga yang kehilangan anak difabelnya alias mereka pergi dari rumah tanpa izin. Proses kepergian tersebut bukan sengaja tetapi kondisi karena kedisabilitasannya. Padahal ketika pergi ini menjadi suatu persolan.  Lalu bagaimana upaya agar anak-anak tersebut terjamin keamanannya? Eka Prastama, komisioner KND dalam sebuah zoom meeting menyatakan bahwa WHO memasukkan alat bantu sebanyak 50 jenis dan alat bantu tersebut untuk difabel. Yang jadi persoalan adalah bagaimana kita dapat mengakses alat bantu tersebut yang menjadi solusi bagi anak disabilitas yang sering keluar rumah.


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Kota Surakarta telah memiliki Perda nomor 2 tahun 2022 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) yang disahkan pada 9 Mei 2022. Hal ini menjadi pengayaan, salah satunya tentu bagi dinas terkait yakni Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Kota Surakarta.


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Perlu adanya berbagai bentuk sosialisasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) karena undang-undang ini sudah ditunggu oleh masyarakat. Selain itu perlu juga implementasi ke semua aparat penegak hukum. Begitu sambutan Bintang Puspayoga, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) dalam sambutan pada webinar perlindungan bagi penyandang disabilitas dalam UU TPKS yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), Kamis (16/6).

Hal senada juga disampaikan oleh Willy Aditya, Ketua Baleg DPR RI, yang menyatakan bahwa  RUU PKS kemudian menjadi UU TPKS adalah kerja bersama antara eksekutif dan partisipasi masyarakat. UU TPKS  hadir memberi kepastian hukum bagi kelompok rentan. Termasuk  menjadi titik penting menurut Willy, bagaimana undang-undang ini adalah melindungi penyandang disabilitas. Pasal norma krusial pasal 40, pasal 45 ayat 4. Di situ memuat keterangan saksi penyandang disabilitas  memiliki kekuatan hukum serta pasal 65 ayat 5 poin e. Pasal tersebut menyediakan kebutuhan khusus sesuai kondisi penyandang disabilitas.

“Perjuangan kita tidak berhenti sampai di sini. Membangun budaya literasi yakni pertama di APH dan masyarakatnya, pada APH yakni kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lain-lain karena mereka memiliki sendiri korban disabilitas. Selanjutnya kita menunggu 5 aturan turunan yakni PP,” terang Willy.

Sementara itu dalam webinar, Yeni Rosa Ketua PJS menyatakan bahwa pihaknya pernah berkonflik dengan Komnas Perempuan. Terkait pasal usulan.  Akhirnya pihaknya membuat daftar isian masalah (DIM) sendiri dan posisioning serta konsinyering dengan berbagai pihak. Ada banyak pasal yang mereka perjuangkan. Juga terkait tentang kesaksian, sebab hal tersebut menyulitkan penyandang disabilitas. Lalu  pada tanggal 5 April 2022 pihaknya mendapatkan draft terakhir kemudian hal yang dilakukannya adalah beberapa kali bertemu dengan menteri beserta berbagai pihak dan melakukan diskusi habis-habisan.

Advokasi terhadap RUU TPKS sudah dilakukan oleh PJS semenjak rancangan RUU TPKS dibahas oleh DPR RI periode yang lalu (2014-2019). Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) dan PJS terlibat aktif dalam memberikan input terhadap draft RUU TPKS masa itu yang difasilitasi oleh Komnas Perempuan. Yeni Rosa menyatakan bahwa mereka sempat ada konflik dengan Komnas Perempuan tentang pasal 104 yang berisikan pasal diskriminatif yang menyatakan bahwa pemaksaan kontrasepsi terhadap perempuan penyandang disabilitas mental bukanlah tindak pidana, asal dimintakan oleh keluarga dan disetujui oleh dokter. Komnas Perempuan akhirnya mencabut pasal itu dari draft. (Ast)