Lintas Berita

Forum Diskusi Denpasar 12 : Kebijakan Berbasis Bukti dalam Proses Legislasi RUU P-KS

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Dr. Nur Rofiah dari  Jaringan KUPI menjadi narasumber dalam diskusi bertema mewujudkan kebijakan berbasis bukti dalam proses legislasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) yang dihelat Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (25/7). Menurut Nur Rofiah, kekerasan seksual bertentangan dengan misi kerahmatan semesta Islam, tauhid, dan makarimah akhlak. Juga dengan Pancasila khususnya sila pertama dan kedua.

Berdasar data BPS dan Survey Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) tahun 2016 : 1 dari 3 perempuan usia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan seksual. Komnas Perempuan, 2001-2011 mencatat bahwa rata-rata setiap 2 jam ada 3 perempuan atau 35 orang setiap hari menjadi korban kekerasan seksual. Kekerasan seksual menyebabkan keterpurukan perempuan dalam kesehatan baik fisik, maupun psikis, pendidikan, ekonomi, sosial hingga kriminalisasi.

Jaringan Kogres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) sendiri adalah perempuan ulama yang memiliki kapasitas keulamaan. Dan ulama baik laki-laki maupun perempuan yang mempunyai perspektif perempuan. Kongres ini berlangsung pada 25-27 April 2017 di Pondok Kebon Jambu Cirebon yang dipimpin oleh Ibu Nyai Masriyah dengan ribuan santri putra dan putri. Sedangkan peserta kongres adalah pimpinan majelis taklim, mubalighoh, daiyah, pimpinan pesantren, pimpinan ormas Islam, akademisi, dosen, peneliti, kongres adalah 1.280, orang dengan 519 peserta , 131 pengamat dari Indonesia dan luar negeri dan aktivis perepuan 13 negara.

 

Landasan Filosofi dan Teologis Mengapa RUU P-KS Urgen Segera Disahkan menurut KUPI

Kekerasan seksual bertentangan status melekat manusia sebagai hanya hamba Allah dan amanat melekat sebagai khalifah fil ardh, menunjukkan hilangnya akal budi pelaku yang mejadi inti kemanusiannya dan berdampak pada hilangnya kemaslahatan korban di berbagai sendii kehidupan yang menjadi maqashid syariah, khususnya hifdzun nafs (menjaga jiwa), hifdzul ‘irdh (menjaga kehormatan), hifdzun nasl (menjaga keturunan). Kekerasan seksual haram sebab madharat, baik di luar atau dalam pernikahan. Zina haram, apalagi  dengan kekerasan. Hubungan seksual suami istri pun tetap wajib musyawarah bil ma’ruf.

Islam melarang kekerasan seksual bahkan pada budak (QS. an-Nur/24:33). Sikap Alalh pada korban Maha Pengampun dan Maha Pengasih. Rasulallah s.a.w memerintahkan menolong pelaku kezaliman dengan mencegah atau menghentikan kekerasan pada korban.

Beberapa pokok pikiran khusus yang disumbangkan oleh KUPI terkait RUU P-KS ini adalah definisi kekerasan seksual agar disederhanakan menjadi “perbuatan seksual yang mengarah kepada fungsi dan/atau alat reproduksi dan/atau seksualitas seseorang, secara paksa dan/atau bertentangan dengan kehendak seseorang, yang berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis dan seksual.Serta merugikan ekonomi, sosial, budaya dan politik.” RUU P-KS tidak cukup hanya mengatur pencegahan karena pencegahan saja tidak mampu mengatasi kekerasan seksual yang sudah terjadi dan dampak yang ditimbulkannya dari segi fisik, sosial, ekonomi, moral, spiritual, baik jangka pendek maupun jangka panjang. RUU P-KS perlu mengatur aspek  hukum acara yang memudahkan pihak yang terdzolimi (korban, keluarga korban,  dan pendamping korban) mendapatkan hak-haknya. Menghadirkan hukum acara itu adalah sarana mewujudkan keadilan itu sendiri. Hal itu sesuai kaidah (kewajiban yang tidak bisa tertunaikan tanpa ada sesuatu yang lan, maka sesuatu yang lain itu wajib).

KUPI memberikan kesimpulan bahwa UU P-KS penting ada sebagai implementasi tauhid dan akhlak mulia serta instrumen membangun peradaban bangsa yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, dan berkemanusiaan yang adil dan beradab. UU P-KS perlu karena ada kekosongan hukum di Indonesia terkait perlindungan warga negara dari kekerasan seksual. Pengesahan RUU ini akan berkontribusi pada lahirnya budaya baru yang lebih adil dan beradab dalam melihat persoalan kekerasan seksual dan dampaknya bagi korban, keluarga, komunitas, dan negara, masyarakat dengan budaya baru ini, akan melahirkan aparatur penegak hukum dan juga penyelenggara negara yang lebih beradab, adil, dan memiliki keberpihakan pada korban dalam menyikapi persoalan kekerasan seksual. Hal-hal yang tidak bisa diatur dalam RUU P-KS , karena setiap UU memiliki keterbatasan tidak layak menjadi alasan untuk tidak mengesahkan UU ini, karena kebutuhan sistem hukum yang mencegah kekerasan seksual.

Framing Media Terhadap RUU P-KS dan Perempuan Disabilitas yang Rentan Kekerasan Seksual

Endah Triastuti, Kaprodi Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, dalam paparannya saat berdiskusi menyatakan terkait framing media terhadap RUU P-KS adalah : menyoroti citra negatif RUU P-KS yang berujung pada tolak RUU P-KS (Rohma, 2018). RUU P-KS lebih banyak diberitakan dengan sentimen negatif (Rizky, 2021). Dari 2.490 berita RUU P-KS di media daring pada kurun waktu 2 Juli-20 Desember 2020, 1.601 artikel  (64%) membuat sentimen negatif, 632 artikel (25%) sentimen positif, dan netral 257 artikel (11%). Endah juga menyoroti bagaimana peran kelompok kontra pengasahan RUU P-KS dalam mem-framing media misalnya kelompok Alia.

Anggiasarie Puji Aryatie, tenaga ahli Wakil Ketua MPR RI, yang menjadi penanggap dalam diskusi menyatakan bahwa kali ini adalah momen paling penting untuk menyuarakan segera disahkan RUU P-KS sebab semakin banyak korban yang melaporkan adanya tindakan kekerasan seksual, terutama bagi penyandang disabilitas di daerah Indonesia tengah dan timur. Saat ini juga masih banyak aparat penegak hukum yang belum berperspektif terhadap penyandang disabilitas. Padahal payung hukum RUU P-KS ini jelas melindungi korban penyandang disabilitas.

Perempuan dengan disabiltas rentan mengalami kekerasan seksual. Kalau melihat dari RUU P-KS ini maka menjadi PR  besar bagi negara bagaimana memfasilitasi korban yang mendapat kekerasan. “Perasaan aman itu tidak ditemui ketika perempuan difabel mendapatkan kekerasan. Sehingga mereka banyak yang tidak melapor. Bahwa setiap orang harusnya mendapatkan perlindungan dan Negara harus menjamin adanya  perasaan aman dan berkeadilan hukum,”pungkas Anggiasarie dalam diskusi yang dimoderatori oleh Arimbi Heroeputri. (Astuti)