Lintas Berita

Catatan dari Diskusi Denpasar 12 “Optimisme di Tengah Ketidakpastian”

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Prof. Hinky Hindra Irawan Satari, Tim Pakar Satgas COVID-19  pada diskusi Forum Denpasar 12 Rabu (14/7) menyatakan bahwa harus ada evaluasi terkait PPKM Darurat yang diterapkan oleh pemerintah. Diperlukan diskusi bersama masyarakat, dan untuk membuat komunikasi dengan masyarakat ini berhasil yakni dengan bahasa yang semua masyarakat paham yang berpadu pada kearifan lokal. Sebab selama ini ia menilai bahwa komunikasi antara pemerintah dan masyarakat belum pas.

Kedua yakni dengan menemukan tokoh masyarakat yang bisa menjadi panutan. Dengan bersatu-padu bermasyarakat, Hinky Hindra yakin bahwa pemerintah bisa mengendalikan laju pandemi COVID-19, karena musuhnya hanya satu yakni virus corona. Hingga 14/7, sudah 51,2 juta vaksin COVID-19 telah disuntikkan. Ia menyimpulkan bahwa pandemi ini tidak dapat diramalkan kapan berakhir, meski beberapa negara berhasil menekan. Dan diperlukan kebersamaan suatu bangsa, tanpa ada yang menjegal kebijakan satu sama lain, termasuk bersatunya partai oposisi untuk memerangi COVID-19.

Pembicara lain, Prof. Dr. Komarudin Hidayat menyikapi pandemi COVID-19 dengan mengatakan bahwa ini adalah peristiwa alam biasa, kalaupun ada angka-angka yang sakit dan meninggal, masih di angka 2-3% dari penderita. Menurutnya ini angka yang kecil, meski kita tidak boleh menyepelekan. Ia membagi menjadi 4 zona : yakni bagi yang bingung, kalah dan yang kehilangan pekerjaan, virus berkembang pada orang-orang yang kalah, zona belajar sehingga ada yang bergerak secara inovatif di komunitas masyarakat dan zona masyarakat yang mampu bertahan.

Dari segi agama, menurut Komarudin Hidayat meninggal adalah pulang ke rahmatullah, menjadi orang yang terkasih, hanya saja saat ini meninggalnya karena COVID-19. Ia mengaku saat sekarang sering diundang untuk menghibur para keluarga yang sedang berduka. Ia menambahkan bahwa imunitas itu tergantung mindset yang meliputi hati, pikiran, tingkat spiritualitas naik, dan kehangatan antar anggota keluarga juga naik (khusus untuk masyarakat menengah), serta naiknya ibadah sosial. Pandemi ini juga membuka kedok-kedok para pemimpin.

Lalu muncul pertanyaan, bagaimana soal pemimpin yang ragu di tengah kebijakan pemerintah pusat? Komarudin menjawab bahwa negara punya otoritas, sehingga seharusnya mampu merangkul tokoh-tokoh karena saat ini ada penurunan kepercayaan masyarakat kepada negara. Ia curiga bahwa ada pihak luar yang melakukan proxy war.

Windhu Purnomo, Ph.D, epidemiologi/fakultas kesehatan masyarakat Unair menyatakan bahwa persoalan yang menggelayuti dari peristiwa pandemi di Indonesia adalah minimnya literasi, misalnya COVID-19 itu apa? Dan penanganannya seperti apa? Sebab kemampuan test dan tracing di Indonesia belum menyentuh batas seperti yang diatur oleh WHO. Beda dengan yang di United Kingdom (UK), di Indonesia masih sangat under reported. Di Jatim angkanya 1 : 8, khususnya Surabaya 1 : 14, artinya bahwa yang dilaporkan dengan yang tidak dilaporkan perbandingannya seperti itu. “Jadi sesungguhnya angkanya seperti puncak gunung es. Lalu kendalanya seperti apa? Ya minimnya literasi pada tokoh publik dan pengambil keputusan, sebab ada kepala daerah yang malah menyembunyikan data positif COVID-19, takut dikira kinerja buruk,” ujar Windhu Purnomo.

Hampir senada dengan pembicara sebelumnya, Alissa Wahid menutup webinar dengan menyatakan bahwa kearifan lokal bisa dikerjasamakan dengan multipihak, dan masyarakat jangan dilepas. Penting untuk melakukan konsolidasi politik dengan menyingkirkan kontestasi-kontestasi politik. Ia menutup webinar dengan pesan kemanusiaan,”puncak hubungan sosial adalah keluarga, puncak hubungan ekonomi adalah kerja sama dan puncak hubungan politik adalah musyawarah.” (Astuti)