Lintas Berita

Pancasila dan Tantangan-Tantangan Kebangsaan

Penilaian: 2 / 5

Aktifkan BintangAktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Bangsa Indonesia menghadapi sejumlah tantangan yang membahayakan persoalan dan kesatuan bangsa yakni radikalisme agama, globalisme ekonomi, kesenjangan sosial dan korupsi. Yang diperlukan saat ini adalah landasan etis yang kokoh seperti dalam rumusan Pancasila. Demikian dikatakan oleh Otto Gusti Madung dari Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, Maumere  pada diskusi yang dihelat oleh Forum Denpasar 12 pada Rabu (2/6).

Otto Gusti menyampaikan tentang Hatta yang menganjurkan liberalisme sebagai basis ideologi bangsa dengan memasukkan ide kebebasan berserikat, berkumpul dan mengemukakan pendapat. Otto juga mengutip tentang Soepomo yang mengusulkan konsep Negara Integralistik karena dianggap sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia.

Jika dikaitkan dengan diskursus Hak Asasi Manusia (HAM), pemikiran Hatta sesungguhnya merujuk kepada liberalisme yang landasan filosofisnya adalah gerakan HAM generasi pertama yang telah melahirkan hak-hak sipil dan politik pada abad ke-17 dan 18. Gerakan ini berhasil membatasi keleluasaan absolut raja.

Sedangkan pemikiran Soepomo berkaitan dengan gerakan kedua dan ketiga HAM yang berhubungan dengan hak-hak asasi sosial/hak kaum buruh dan hak-hak kolektif kelompok minoritas.

Dalam paparannya, Otto mengatakan bahwa generasi kedua hak-hak asasi manusia lahir sebagai hasil perjuangan kaum buruh industri dan kelompok-kelompok kelas bawah lainnya di abad 19. Latar belakang filosofinya adalah sosialisme. Generasi kedua memuat hak-hak sosial yakni hak untuk mendapatkan tempat tinggal, pekerjaan, upah yang adil dan nafkah hidup. Pasal 33 dan 34 UUD 1945  masuk termasuk kelompok ini, Generasi ketiga merujuk pada hak-hak kolektif atau kelompok orang, misalnya minoritas etnik atau religious, penduduk asli,dan komunitas adat.

Otto juga berpendapat  dari perspektif komunitarisme, Pancasila dapat memberikan penekanan pada beberapa persoalan sentral Indonesia moderen. Prinsip moderen seperti demokrasi dan faham hak-hak asasi manusia yang menjadi titik pijak politik di Indonesia pasca reformasi tetap menunjuk pada pertanyaan seputar pandangan hidup, yang berhubungan dengan substansi dan pemahaman tentang manusia. Pancasila adalah jawaban tentang pertanyaan ini.

Sedangkan Pancasila sebagai paradigma deferensiasi dalam relasi antar agama dan Negara, perlu dicatat bahwa Pancasila hanya dapat diterima sebagai basis ideologi masyarakat Indonesia yang plural dan jika tetap belajar dari  konsep liberal tentang pembedaan antara negara dan masyarakat, politik dan agama. Maka pilihan makna, nilai pandangan hidup serta konsep hidup baik dan pemeliharaannya harus berlangsung dalam konteks masyarakat liberal atau bebas. Menurut Bockenforde, ini paradoks yang harus diterima setiap negara liberal yang mau menghargai pluralisme dan menyelamatkan kebebasan individu.  Sebuah negara demokratis moderen hanya mungkin eksis secara legitim jika ia mampu menjamin dan melindungi kebebasan setiap warganya.  (Astuti)