Lintas Berita

Film “The Impossible Dream” di Mata Perempuan Porang-Paring

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Pagi itu, ada empat orang perempuan yang membantu memasak di dapur rumah Ibu Supi, istri Pak Cip, warga Dukuh Tumpang, Desa Porang-Paring, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Ketua paguyuban petani KOMPAK. Setelah menyelesaikan pekerjaannya mereka lalu duduk di ruang tamu bergabung bersama para perempuan lainnya. Selain para perempuan yang sebagian besar adalah ibu rumah tangga, bergabung pula Cahaya dan Febri serta Rafael, anak-anak warga Dukuh Tumpang Desa Porang Paring untuk turut belajar bersama Yayasan Yekti Angudi Piadeging Hukum Indonesia (YAPHI), Rabu (7/4). 

Perempuan Porang-Paring yang tergabung dalam kelompok yang dipimpin oleh Dwi Wahyu kemudian duduk berjajar dengan sedikit mengambil jarak sebagai prasyarat protokol kesehatan. Selain itu ke-13 perempaun dan anak tersebut mengenakan masker serta sebelumnya mencuci tangan terlebih dahulu. Setelah Dunung Sukocowati dari Yayasan YAPHI menyampaikan maksud dan kedatangan tim kepada para peserta, lalu acara dibuka oleh Dwi Wahyu.

 

Kelompok Perempuan Porang-Paring yang terbentuk beberapa waktu lalu sebelumnya telah melakukan  pembelajaran tentang perlindungan anak dan hak-hak anak. Hal ini dilatarbelakangi masih minimnya mereka akan pengetahuan tentang hak anak. Apalagi jika dilihat secara situasi sosial dan pendidikan, anak-anak dalam Kelompok Perempuan Porang Paring perlu untuk mendapatkan pengetahuan tentang hak-hak mereka.

 

Terkait realita bahwa banyak anak usia Sekolah Dasar (SD) di Desa Porang-Paring sudah berkendaraan sendiri saat mereka berangkat dan pergi ke sekolah. Padahal aturan Negara tidak membolehkan anak-anak yang masih usia dini (di bawah 17 tahun) untuk naik kendaraan bermotor. Situasi sosial ekonomi dan kondisi letak gerografislah yang kemudian menjadi penyebab bahwa anak-anak tersebut harus berangkat ke sekolah dengan menaiki sepeda motor. Kondisi jalan yang berkontur naik-turun serta terjal, akan menyulitkan mereka ketika naik sepeda onthel. Maka satu-satunya jalan pintas orangtua yang kebanyakan bekerja di ladang membolehkan mereka naik motor untuk mengumpulkan tugas sekolah (PR) kala Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) diterapkan.

 

Dunung Sukocowati kemudian membuka layar LCD dan menyiapkan power poin yang berjudul “Mengenali dan Mencegah Tindak Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)”. Hal ini sesuai dengan keinginan yang disampaikan oleh para ibu pada pertemuan sebelumnya bahwa mereka ingin sekali belajar tentang apa itu kekerasan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Untuk memaknai apakah kekerasan itu, maka Dunung membagikan kertas meta-plan dan spidol kepada para ibu dan meminta mereka menuliskan arti kekerasan menurut pemikiran mereka sendiri. Ini bisa dimaknai sebagai awal tes/pre test bagi ibu-ibu.

 

Setelah kertas warna oranye dan spidol itu dibagi kemudian mereka menulis. Namun dari 13 peserta, ada seorang peserta yang tidak bisa menulis dikarenakan belum pernah mengenyam pendidikan alias tidak bersekolah. Peserta tersebut kemudian dibantu dengan menuliskannya dengan cara dia berbicara lalu ada yang menuliskannya. Termasuk pengisian yang kedua, maka yang membantu menuliskannya teman yang ada di sampingnya.

 

Setelah belajar tentang apa itu kekerasan kemudian para peserta diputarkan sebuah film “The Imposible Dream” . Mereka menyimak dengan baik film tersebut dan meresponnya dengan celetukan-celetukan jika ada adegan yang tidak berkenan. Dari celetukan-celetukan para penonton, bisa ditafsirkan bahwa mereka ada yang memahami tentang adanya kesenjangan dalam pembagian kerja domestik. Dibuktikan salah seorang ibu yakni Bu Ning berkata bahwa pesan film tersebut tentang “persamaan gender” yang kemudian ditanyakan oleh fasilitator/narasumber (Dunung) apa itu artinya, Bu Ning menjawab bahwa “persamaan gender” adalah jenis kelamin, yang langsung dijelaskan oleh Dunung Sukocowati arti gender dan apa yang dimaksud dengan kesetaraan gender.

 

Melanjutkan belajar siang itu, kembali ke power poin yang disampaikan Dunung, tentang bagaimana mencegah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan apa yang dilakukan jika mengalami KDRT : yakni segera keluar rumah dan mencari tempat perlindungan sementara yang aman, mendatangi Pos Pelayanan Terpadu (PPT) yang ada di kabupaten/kota untuk memperoleh pendampingan, melapor kepada polisi, Jika luka maka pergi puskesmas/rumah sakit terdekat, ceritakan kejadian yang sebenarnya supaya dicatat petugas.

 

Setelah belajar bersama tentang apa itu kekerasan dengan melihat power poin dan menonton film, kemudian para ibu menceritakan kembali apa yang dipelajarinya dengan menuliskan ke kertas meta-plan. Ini bisa dimaknai sebagai post-test. Dari masukan ibu-ibu tersebut, mereka mudah menangkap pembelajaran yang disampaikan  karena bisa dicerna, tetapi ketika akan menceritakannya kembali ke dalam tulisan, maka mereka mengalami kesulitan. Namun begitu ada satu dua ibu yang menuliskannya kembali tentang pembelajaran siang itu.

 

Pengetahuan tentang kekerasan dan dampak KDRT ketika diberikan kepada para ibu tersebut tentu dalam rangka untuk menambah pengetahuan mereka serta upaya untuk mencegah agar di wilayah dukuh atau di wilayah privat (rumah tangga) mereka tidak terjadi KDRT. Dan apabila KDRT terjadi, mereka telah mendapat bekal pengetahuan bagaimana cara mengatasinya.

 

Pemutaran film sebagai media pembelajaran juga dapat diharapkan menjelaskan dengan gamblang tentang pembagian peran dalam rumah tangga yang diatur sedemikian rupa. Contoh buruk pada film “The Imposible Dream” menurut para ibu adalah gambaran jika di dalam sebuah rumah tangga tidak ada pembagian kerja yang adil dan setara, maka yang repot adalah kaum perempuan. “Wah, kok cerita di film itu hampir mirip dengan cerita hidup saya ya,” celetuk salah seorang perempuan peserta.  (Astuti)