Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Ada hal menarik dalam helatan diskusi LettsStalk _Sexualities pada minggu ketiga Desember 2021 terkait sejarah politik kekerasan seksual di Indonesia. Menghadirkan Ita F. Nadia menjadi salah seorang narasumber, mengatakan bahwa saat ini dirinya melakukan inisiasi memfokuskan penggalian kembali sejarah secara kolektif dengan melakukan recalling, dengan mendokumentasikan sejarah dengan menuliskannya. Dalam temuannya, Ita menyatakan bahwa ketika bicara sejarah maka berbicaranya akarnya. Menurutnya ada politik internasional yang diinternalisasi.



Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Komnas Perempuan melaporkan bahwa jumlah perempuan penyandang disabilitas yang menjadi korban kekerasan seksual meningkat dari 40 kasus pada tahun 2015, menjadi 89 kasus pada tahun 2019. Sedangkan laporan lembaga SAPDA di Yogyakarta pada tahun 2015, 29 perempuan dan anak dengan disabilitas dilaporkan mengalami berbagai bentuk penyerangan, kekerasan seksual, kekerasan fisik, dan kekerasan ekonomi. Sebanyak 33 kasus terjadi pada 2016 dan meningkat menjadi 35 kasus pada tahun 2017. Demikian yang pernyataan Fatimah Asri, salah seorang komisioner Komisi Nasional Disabilitas (KND) pada sebuah webinar peringatan hari disabilitas internasional yang dihelat oleh Yayasan Satunama, pertengahan Desember 2021.


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Menurut International Disability and Development Consortium (IDDC), pembangunan inklusif merupakan sebuah proses gunanya untuk memastikan bahwa semua kelompok yang terpinggirkan bisa terlibat dalam proses pembangunan. Konsep tersebut mengupayakan pemberian hak bagi kelompok yang terpinggirkan di dalam proses pembangunan. Sekarang ini, hampir di semua negara, penyandang disabilitas merupakan salah satau dari kelompok yang terpinggirkan. Penyandang disabilitas masih mendapatkan kesulitan untuk mendapatkan perhatian sebagai objek dalam program-program pembangunan sekaligus sebagai subjek atau pelaku aktif. Dengan dalih bahwa masih banyaknya isu yang harus dipikirkan selain masalah disabilitas seringkali menjadi alasan bagi beberapa tokoh pembangunan untuk mengesampingkan isu disabilitas.

Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi dalam webinar yang dihelat akhir November 2021 bertema terkait Prioritas Penggunaan Dana Desa bagi Kelompok Penyandang Disabilitas. Seperti yang disampaikan oleh Joni Yulianto dari AIPJ2, bahwa di satu sisi perlu dibuka secara sistematis dan pastikan ruang aman untuk dimasuki teman-teman penyandang disabilitas. Sedangkan dari sisi non fisik melibatkan perspektif pemangku kebijakan dan attitude. Menurutnya, kelompok yang tereksklusi tidak berangkat dari ruang yang sama, maka harus ada aktor yang juga disiapkan.

Bito Wikantosa dari Kemendesa PDTT menyatakan bahwa ketika indikator desa inklusi dibentuk, maka dibentuk pula kelompok disabilitas. Di sini perlu adanya proses berkala dan hal apa saja yang menjadi prioritas penggunaan Dana Desa untuk hal pemberdayaan kelompok rentan termasuk difabel dan bisa diperlihatkan datanya setiap tahun. Sedangkan Angga Yanuar dari NLR mengatakan jika akses Dana Desa bagi kelompok penyandang disabilitas dengan memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 1. Adanya political will, 2. Sinkronisasi regulasi dengan prioritas pembangunan di desa atau kota, 3. Sangat dipengaruhi oleh prioritas pembangunan di daerah tersebut.

Sedangkan tantangan budaya yang dihadapi adalah bagaimana masyarakat melihat disabilitas, dan memastikan bahwa regulasi tingkat desa sinkron. Peraturan terkait yakni permendesa PDTT nomor 11 tahun 2019 tentang prioritas penggunaan dana desa tahun 2020 kemudian diubah menjadi Permendesa PDTT 14 tahun 2020 tentang perubahan ketiga prioritas penggunaan Dana Desa tahun 2020. Dalam Permen tersebut disebutkan daftar kegiatan prioritas bidang pemberdayaan masyarakat desa di antaranya alat bantu bagi penyandang disabilitas dan sosialisasi dan advokasi sarana dan prasarana yang ramah terhadap anak disabilitas.

Bito menambahkan bahwa saat ini ada 640 desa inklusi sebagai pilot. Beberapa desa inklusi ada di Kabupaten Tegal dan Janeponto. Untuk pelaksanaan desa inklusi di Papua saat ini masih minim. Sedangkan d kabupaten Sikka masih uji coba desa inklusi. Penguatan pelaku harus diperkuat dengan political will. Kepala desa bisa melaporkan penggunaan anggaran untuk apa saja. Apabila desa tidak melibatkan difabel maka akan ada sanksi dan itu ada di dalam Peraturan Pemerintah. “Ini sebuah perjuangan agar desa inklusif,”tutur Bito dalam webinar tersebut.  

Desa inklusi itu sendiri adalah desa di mana kondisi setiap warga negaranya membuka diri, meniadakan hambatan untuk bisa saling berpartisipasi, merangkul, dan bekerja bersama-sama saling bahu-membahu. Desa Inklusi untuk semua warga tanpa kecuali, yang dalam istilah di Kemendesa PDTT adalah Desa Surga : Desa untuk semua warga. Desa untuk semua kaum marjinal, agar bisa setara dengan yang lain.

Dengan adanya keterlibatan kelompok penyandang disablitas maka hal yang perlu dilakukan adalah membuat diskusi kelompok ini hingga masuk musdes. Kekuatan mengadvokasi dengan melakukan musyawarah bisa dilakukan dengan informasi, tidak harus administratif tetapi sosio kultural. Melakukan musyawarah dulu, bisa dimulai dari tingkat RT, RW, lalu kelompok. Dan penggunaan Dana Desa tidak semena mena, tetapi berdasar kebutuhan. Semua usulan murni dari kelompok masyarakat yang termarjinalkan yang merupakan kebutuhan kelompok itu. (astuti)

 


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Perempuan disabilitas mengalami diskriminasi ganda, interseksionalitas sebagai perempuan dan sebagai penyandang disabilitas. Stigma ini akan meningkat pada diri mereka sendiri sebagai kelompok yang lemah, rendah, tidak setara, dan menjadi beban. Di masa pandemi, PPKM telah menghambat mereka masuk ke layanan kesehatan dan rentan mengalami kekerasan seksual ketika mengalami beban dan tekanan ganda. Kekerasan Seksual pada perempuan disabilitas paling tinggi di DKI dan NTT, dengan korban 51 orang disabilitas intelektual.


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Orang terdekat Anda, baik teman atau saudara tak mustahil menjadi orang yang positif Human Immunodeficiency Virus (HIV). Lalu bagaimana cara kita untuk menghadapinya? Anda bisa mempelajari tentang HIV. Anda mungkin belum mengetahui perbedaan HIV dan AIDS, maka penting untuk mempelajarinya. Kedua adalah menjaga rahasia orang yang positif HIV. Ketiga luangkan waktu untuk mendampinginya dan membantu mereka untuk menjalani gaya hidup sehat serta mengedukasi orang-orang di sekitar tentang HIV dan AIDS.  

Umumnya Orang dengan HIV (ODHIV) dan Orang dengan AIDS (ODHA) memiliki stigma negatif di masyarakat. Mereka tidak berani berbicara, padahal mereka membutuhkan pengakuan. Jarang sekali media menuliskan tentang itu, kalaupun ada pasti jelang peringatan Hari AIDS.

Padahal jika tidak secara intens ditulis, maka persoalan terkait pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS tidak dianggap. Bisa dikatakan bahwa HIV/AIDS adalah silent epidemic, jadi di sinilah kemudian peran NGO atau organisasi masyarakat untuk turun di lapangan menyuarakan suara-suara yang ada. Untuk itu mendampingi populasi kunci menjadi kerja-kerja mereka yang terjun di isu HIV/AIDS. Lalu siapa yang disebut populasi kunci?

Seperti disebutkan dalam Permenkes nomor 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV/AIDS, Populasi Kunci adalah mereka yang rentan terinfeksi HIV, sebagaimana yang dimaksud adalah : pengguna NAPZA suntik, perempuan pekerja seks, pelanggan perempuan pekerja seks, Lelaki Seks dengan Lelaki (LSL), waria atau transpuan. Label tidak bermoral, menyalahi kodrat, berdosa, hingga tuduhan melanggar norma dan nilai sosial membuat populasi kunci ini sulit dijangkau. Ketika sulit dijangkau, pasti akan sulit pula untuk melakukan tracing.

Maka sangatlah penting kepemilikan hak identitas diri bagi populasi kunci yakni Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektrik dan NIK supaya bisa di-tracing. 85% orang yang terinfeksi HIV berada di usia produktif dengan katar belakang pekerjaan formal dan non formal. Namun sayangnya saat ini belum ada sinergitas yang satu pintu antara Kemenkes dan Kemenaker.

Pengguna NAPZA suntik kerap menggunakan alat suntik yang tidak steril. Mereka juga rentan mengalami penyiksaan. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa 60% dari tersangka kasus narkotika mengalami kekerasan fisik oleh kepolisian untuk mendapatkan keterangan tersangka secara utuh. Sebuah catatan menyatakan bahwa bahwa pada tahun 1987, di Indonesia sudah ada kasus positif HIV. Penularan HIV dapat terjadi melalui darah, air mani dan air susu. Perilaku yang berisiko tinggi bisa menyerang kepada diri mereka sendiri lalu menularkan ke pihak lain.

Pada awal Desember lalu di sebuah siaran radio swasta terkait peringatan Hari AIDS Sedunia yang menghadirkan seorang pendamping Pekerja Seks (PS) yang di bawah Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) mengakui bahwa stigma terkait ini sangat negatif. Amara, nama samaran si pendamping, menyatakan bahwa saat ini di dampingannya ada 20 ODHIV dan ada yang LFU (Lost Follow Up)/ putus obat.

ODHIV ada yang sudah menunjukkan gejala sakit, ada yang kena syaraf mata, sampai akhirnya tidak bisa melihat. Sebagai pendamping, ia merasa bingung lalu berjejaring dengan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) tingkat kota dan Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) . Pasien tersebut saat ini sudah membaik. Amara mengakui bahwa masih ada perlakuan diskriminasi dan keluarga tidak mendukung/menerima. Padahal menurutnya pengalaman di lapangan, para ODHIV butuh support. Amara yang mendampingi kadang sampai menangis jika melihat kesakitan ODHIV dan tidak mendapat dukungan keluarga. (Astuti)