Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Gagasan lahirnya “Kepada Tanah” berawal pada tahun 2019.  Kemudian di tahun 2021 oleh sebab produksi kopi di Desa Wadas sedang menggeliat, maka mereka memasarkan kopi. Seperti yang dituturkan oleh  Hanggono dari “Kepada Tanah” kepada Khalisah Khalid dari Greenpeace sebagai host Talkshow "Kepada Tanah" yang juga disiarkan lewat kanal youtube pada Senin (21/2), kopi di Desa Wadas adalah kopi yang ditanam  secara turun-temurun dan berdampingan dengan yang lain. Menurutnya, kopi merupakan produk yang gampang diterjemahkan dan universal. Dan perampasan tanah juga terjadi di daerah lain dengan memberi ruang teman untuk bersolidaritas dan memberikan ruang kepada petani kopi.



Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Disabilitas intelektual adalah kondisi yang ditandai dengan fungsi intelektual di bawah rata-rata dan kurangnya keterampilan untuk menjalani kehidupan sehari-hari dan biasanya kondisi ini sering memengaruhi anak-anak. Sedangkan menurut laman Special Olympics, disabilitas intelektual adalah istilah yang digunakan ketika seseorang memiliki keterbatasan/hambatan tertentu dalam fungsi dan keterampilan kognitif, termasuk keterampilan komunikasi, sosial, dan perawatan diri sendiri.


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Muhammad Isnur, Direktur Eksekutif YLBHI dalam zoom meeting Forum Diskusi Salemba 76 yang dihelat oleh Ikatan Alumni/Iluni UI, Minggu (13/2) menceritakan terkait  keberulangan, sistematisasi dari korban yang masif yang menimpa warga Desa Wadas. Ia menyoroti peristiwa yang terjadi 23 April 2021, bahwa tidak ada pemberian sanksi terhadap bentuk kekerasan dan semua pelanggaran saat penyerangan. Saat itu ratusan polisi bersenjata memaksa dan melakukan penyiksaan terhadap warga dengan cara menarik, memukul, menginjak, serta mendorong warga yang berada di barisan paling depan terutama ibu-ibu. Beberapa warga yang berusaha menolong ibu-ibu juga mendapatkan penyiksaan dari aparat kepolisian.


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Komnas HAM telah mengambil sikap terhadap kasus Desa Wadas sejak awal peristiwa terjadi pada 8/2/2022 dengan mengeluarkan pers rilis pada 9/2/2022 yang meminta pihak Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWS SO) dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk menunda pengukuran tanah milik warga Desa Wadas yang sudah setuju pengukuran, meminta Polda Jateng menarik aparat yang bertugas di Desa Wadas dan mengevaluasi total pendekatan yang dilakukan dan memberi sanksi petugas terbukti melakukan kekerasan terhadap warga Desa Wadas, meminta Polres Purworejo segera melepaskan warga yang ditahan di Kantor Polres Purworejo dan meminta kepada semua pihak untuk menahan diri, menghormati hak orang lain dan menciptakan suasana yang kondusif  bagi terbangunnya dialog berbasis prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).

Pada zoom meeting yang dihelat oleh Iluni UI pada Minggu (13/2), Beka Ulung Hapsara, Komisioner Komnas HAM kembali memaparkan terkait kronologi kasus Desa Wadas bahwa pada 17 September 2022, Komnas HAM menerima aduan dari GEMPA DEWA dan Wadon Wadas yang didampingi oleh LBH Yogyakarta, Walhi Yogyakarta dan Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta terkait penolakan atas adanya rencana penambangan quarry batuan andesit di Desa Wadas guna kepentingan pembangunan PSN Bendungan Bener.

Pada Oktober dan November 2021, Komnas HAM RI menerima aduan dari Yayasan Pusat Bantuan Hukum (YPBH) Nyi Ageng Serang terkait permohonan perlindungan sehubungan adanya dugaan intimidasi, pengancaman, teror dan penghalang-halangan oleh Warga Desa Wadas, khususnya yang menolak penambangan quarry terhadap warga yang mendukung penambangan batuan andesit di Desa Wadas.

Upaya yang kemudian dilakukan oleh Komnas HAM adalah melakukan pemantauan lapangan pada 27-30 September 2021 guna mendapatkan data, informasi, keterangan dan fakta, pertemuan dengan Kementerian PUPR RI dan Kantor Staff Presiden pada 7 Oktober 2021. Dan melakukan diskusi degan ahli menghadirkan ahli lingkungan Prof. Sudharto P Hadi, MES, Ph.D dan ahli hukum lingkungan B. Danang Setianto, SH. LLM, Ph.D dan Gubernur Jawa Tengah beserta jajaran pada Selasa 16 November 2021.

Poin-poin yang disampaikan oleh Komnas HAM antara lain, sesuai SK Gubernur Jawa Tengah nomor  590/41 Tahun 2018 yang kemudian diperpanjang melalui SK 539/29 Tahun 2020 dan diperbaharui melalui SK nomor590/20 tahun 2021. Desa Wadas, Kecamatan Bener, tepatnya sebagai penambangan querry batu andesit material pembangunan proyek Bendungan Bener. Penetapan tersebut menimbulkan perpecahan antar warga Desa Wadas. Penolakan dari warga Desa Wadas tergabung dalam GEMPA DEWA maupun Wadon Wadas menegaskan bahwa tidak dalam posisi menolak PSN Bendungan tidak dalam posisi menolak PSN Bendungan Bener, melainkan hanya menolak wilayahnya ditetapkan sebagai lokasi penambangan quarry batu andesit guna kepentingan pembangunan Bendungan Bener.

Berdasarkan identifikasi warga yang menolak merupakan warga yang memiliki lahan dan yang tidak memiliki lahan. Hasil kajian oleh BBWS Serayu Opak menunjukkan bahwa lokasi quarry tidak ditemukan mata air, namun pada kenyataannya hasil bumi/tanaman mampu mencukupi kebutuhan hidup warga. BBWS Serayu Opak memastikan bahwa pembangunan Bendungan Bener akan memberikan manfaat untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat yaitu :  pemenuhan irigasi 15.519 Ha, Air Baku 1.500 lt/detik, Energi Listrik 10 mega watt, reduksi banjir di kawasan hilir Sungai Bogowonto, konservasi dan pariwisata.

Dalam rangka penolakan terhadap penambangan quarry batu andesit, an Sdr.Insin  Sutrisno, dkk menempuh proses hukum formal ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dengan menggugat Gubernur Jawa Tengah hingga tingkat kasasi namun ditolak.Terkait gugatan TUN , baik dikabulkan dan/atau ditolaknya gugatan warga sama-sama berpotensi memicu konflik. Dokumen Amdal Pembangunan Bendungan Bener menggunakan studi terpadu, dengan adanya permasalahan saat ini jika penanganannya berlarut-larut akan membawa konsekuensi pada persetujuan lingkungan untuk  penambangan quarry batu andesit habis masa berlakunya dan batal demi hukum sehingga perlu proses dari awal. Permasalahan di atas jika tidak ditangani akan berpengaruh pada kelangsungan pembangunan Proyek Strategis Nasional (PNS) Bendungan Bener.

Permintaan Tindak Lanjut Komnas HAM

Beka Ulung menyampaikan permintaan tindak lanjut dari kasus Desa Wadas ini yakni kepada Gubernur Ganjar Pranowo : a. Memastikan adanya perlindungan bagi warga terdampak pembangunan Bendungan Bener dan menghindari penggunaan cara-cara penggusuran, pengusiran dan pendekatan keamanan dalam penyelesaian konflik, b. Membentuk tim terpadu yang melibatkan stakeholder untuk melakukan evaluasi dan/atau merumuskan ulang konsep, perencanaan, penyusunan program, tata kelola strategi penyelesaian atas dampak pembangunan Bendungan Bener, c. Memastikan partisipasi atau keterlibatan warga dan membangun ruang dialog dalam rangka penanganan dan/atau penyelesaian dampak pembangunan Bendungan Bener.

Kepada Bupati Purworejo, Komnas HAM meminta : a. Memfasilitasi dan mendorong adanya partisipasi atau keterlibatan warga dalam proses penanganan dan/atau penyelesaian dampak pembangunan Bendungan Bener. b. Berperan aktif untuk memastikan pencegahan konflik dengan dialog yang melibatkan tokoh masyarakat setempat khususnya di daerah yang terdampak pembangunan Bendungan Bener, c. Segera mengambil langkah-langkah penanganan sekaligus pemulihan atas konflik  atau gesekan antar warga di Desa Wadas.

Kepada Kapolres Purworejo, permintaan Komnas HAM sebagai berikut : a. Membangun dialog dan melakukan upaya lainnya untuk memastikan tidak terjadi konflik di wilayah terdampak, b. Memastikan adanya mekanisme pencegahan terjadinya kekerasanm intimidasi dan kriminalisasi bagi masyarakat dan para pendamping dari masyarakat yang terdampak, c. Memastikan adanya perlindungan hukum dan HAM secara berkeadilan dalam konteks penanganan dampak pembangunan Bendungan Bener untuk mengedepankan upaya persuasif dan pendekatan restoratif justice, d. Memberikan update atau perkembangan atas situasi maupun upaya penanganan yang dilakukan secara berkala kepada Komnas HAM RI sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas polisi. (ast)

 


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Ada yang menarik dalam agenda pertemuan Jaringan Layanan Anak dan Perempuan Korban Kekerasan Sukoharjo (JLPAK2S) yang diselenggarakan pada Kamis (10/2) bertempat di Yayasan KAKAK. Jaringan yang beranggota beberapa lembaga/organisasi dan komunitas ini, antara lain Yayasan YAPHI, Paguyuban Sehati, SPEK-HAM, KAKAK,  MHH Aisyiyah, Fatayat NU, LKBHI UIN Raden Mas Said,  Peradi Sukoharjo, dan WKRI  melakukan penyamaan perspektif terkait isu yang diusung bersama yakni penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan, anak dan penyandang disabilitas. Vera Kartika Giantari, pegiat isu perempuan dalam diskusi menyatakan bahwa sebagai seorang manusia terkadang kita tidak selalu melihat persoalan dengan mata kita sendiri namun juga dipengaruhi oleh kaca mata yang kita pakai yang terbentuk dan dibentuk oleh budaya dan lingkungan sekitar.

Salah satu contohnya adalah kaca mata patriarki yang melihat golongan gender tertentu lebih tinggi dari golongan gender yang lain. Sehingga setiap individu yang memakai kaca mata ini pun selalu menggunakan pola pikir patriarki di segala isu kehidupan baik dalam agama, sosial budaya, politik, ekonomi, hukum dan lain sebagainya. Sehingga sebagai contoh ketika saat ini ada banyak yang menyalahkan agama tertentu karena dinilai sangat patriarki justru sebenarnya yang salah bukanlah agama namun yang menjalankan agama tersebut yang masih menggunakan kaca mata patriarki.

Pada segi hukum khususnya aparat penegak hukum pun ketika menggunakan kaca mata patriarki maka akan terlihat bagaimana mereka memperlakukan laki-laki atau perempuan ketika melakukan pemeriksaan. Sedangkan dari segi politik, misalnya politik pembangunan. Sudahkan perempuan menjadi pertimbangan jika pemerintah akan melakukan pembangunan? Ketika ada jalan rusak kemudian akan ada pembangunan, dasarnya apakah pemikiran “jika jalan rusak, maka akan berisiko untuk ibu hamil” ataukah hanya berdasar pada pemikiran “agar jalur ekonomi dapat lancar.”

Dari segi ekonomi, apakah banyak pekerja yang memberikan upah kepada pekerja laki-laki lebih tinggi dari pada upah kepada pekerja perempuan dengan alasan bahwa perempuan hanya pencari nafkah tambahan sehingga asumsinya tidak membutuhkan upah yang besar? Yang perlu diingat adalah kaca mata patriaki tidak hanya dipakai oleh laki-laki namun sekarang pun banyak perempuan yang juga memakai kaca mata ini

Perbedaan UU Perlindungan Anak dan Konvensi Hak Anak dalam Batasan Umur

Shoim Sahriyati , Direktur Yayasan KAKAK sebagai pemantik diskusi terkait perspektif anak lebih menyoroti masih adanya perbedaan antara UU Perlindungan Anak dan Konvensi Hak Anak dalam hal batasan umur anak. Dalam UU perlindungan anak hanya disebutkan bahwa anak adalah usia 0 -18 tahun sedangkan dalam konvensi hak anak terdapat klausul lain. Dalam konteks pendampingan anak, menurutnya ada empat hal yang harus dilakukan: Memberikan informasi/edukasi, rehabilitasi, psikososial dan pendampingan di ranah hukum

Yayasan KAKAK menurut Shoim sangat mengapresiasi korban atau keluarga korban yang tetap memilih untuk berproses secara hukum. Hal ini karena apabila diproses hukum maka bukan saja menyelamatkan korban secara langsung tetapi juga menyelamatkan anak-anak yang lain. Hal ini karena apabila pelaku masih berkeliaran maka akan membahayakan anak-anak yang lain. Apabila korban memilih untuk jalan damai dengan pelaku, apalagi sampai menikah dengan pelaku maka Yayasan KAKAK akan melepas pendampingan karena tidak sejalan prinsip Yayasan KAKAK.

Memahami Isu Disabilitas

Edy Supriyanto, Direktur Sehati dalam kesempatan diskusi yang sama, juga memberikan perspektif tentang isu disabilitas. Menurutnya memahami isu disabilitas tidak jauh berbeda dengan pemahaman tentang konsep isu perempuan. Jika isu perempuan dipengaruhi oleh kaca mata patriaki maka isu disabilitas dipengaruhi oleh kaca mata kenormalan. Jika kaca mata patriarki meninggikan gender tertentu dan merendahkan gender yang lain, kaca mata kenormalan pun memandang bahwa orang yang dinilai “normal” lebih tinggi dari orang yang dianggap “tidak normal”

Normal seringkali dipahami hanya sebatas yang awam pahami di masyarakat, misalnya cara makan yang normal adalah menggunakan tangan kanan, jika makan langsung menggunakan mulut maka dinilai tidak normal. Bahkan dalam budaya Jawa makan menggunakan tangan kiri pun juga dinilai tidak normal. Lain lagi, orang yang normal adalah orang yang berbicara dan berkomunikasi dengan menggunakan mulut, jika menggunakan tangan atau Bahasa isyarat lainnya maka akan mendapat julukan tidak normal.

Edy menambahkan bahwa setiap orang berpotensi untuk menjadi penyandang disabilitas atau difabel entah karena usia atau karena suatu kejadian.  Setidaknya ada lima pertanyaan untuk mengidentifikasi apakah seseorang mengalami disabilitas : Apakah anda masih bisa melihat jika tanpa menggunakan kacamata? Apakah anda mengalami kesulitan untuk menaiki anak tangga? Apakah anda mengalami kesulitan untuk merawat diri? Apakah anda mengalami kesulitan mengingat nama? Apakah Anda mengalami kesulitan mendengar? Mirisnya, hingga hari ini masih ada pandangan bahwa penyandang disabilitas kerap kali hanya dinilai sebagai objek penerima bantuan sosial. (dorkas febria/astuti)