Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Dante Rigmalia, Ketua Komisi Nasional Disabilitas (KND) dalam seminar hak kesehatan dan reproduksi  bagi disabilitas dan kusta yang diselenggarakan oleh Netherland Leprosy Relief (NLR) Indonesia secara hybrid, baik daring maupun luring, pada Senin (21/3) menyatakan terkait keberadaan KND. Berdasarkan Perpres No. 68 Tahun 2020, tugas KND  ada di Pasal 4 adalah melaksanakan pemantauan, evaluasi, dan advokasi pelaksanaan penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak penyandang disabilitas.



Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Pada era digitalisasi sekarang ini, penting untuk melakukan advokasi berbasis digital. Advokasi di era digital adalah upaya yang terorganiisir untuk memengaruhi persepsi publik dan/atau sebagai alat advokasi dan transformasi perubahan sosial. Advokasi digital juga erat dengan tindakan kreatif dan inovatif untuk menunjukkan kepada khalayak dan yang terpenting sekalipun digital tetapi harus ada aksi riilnya. Demikian dikatakan oleh Yosi Krisharyawan, staf advokasi Yayasan YAPHI pada diskusi internal dengan tema advokasi digital pada Jumat (18/3) di Ruang Anawim Yayasan YAPHI.

Yosi menambahkan jika ia ingin ada terobosan dalam program kampanye dan advokasi melalui advokasi digital dengan cara meng-upgrade sebab sebenarnya YAPHI sudah memiliki pondasi yang kuat dalam kampanye dan advokasi di media, termasuk media sosial. Saat ini Yayasan YAPHI telah memiliki website dan akun media sosial Instagram dengan nama web suarakeadilan.org dan akun di IG @redaksisuarakeadilan.

Unsur-unsur advokasi digital : rencana dan desain, tujuan dan strategi, metode/cara, program, output, rencana selanjutnya, kolaborasi, monitoring dan evaluasi, follow up, dan target/sasaran. Selain unsur, perlu diperhatikan pula step-step atau langkah-langkah advokasi digital dengan menentukan tujuan, merencanakan dan menentukan siapa target audiens, memilih channel atau kanal/media sosialnya, menciptakan konten yang menarik dan catchy (perhatikan keyword-tagar) dan membuat aturan serta indikator dan yang terakhir adalah lakukan terus-menerus.

Sedangkan kekuatan pada advokasi digital  mudah diakses, mendukung membela dan mengadvokasi HAM, penguatan demokrasi dan civil society, transformasi sosial, keberagaman identitas lebih terakomodir, suara minoritas dan marjinal, alat kritik, meng-counter hate speech, menambah semangat volunterisme, menguatkan solidaritas, empati, simpati dan mobilisasi “massa”, menguatkan jaringan berbagai elemen, NGO, media massa, akademisi dan individu. Kelemahannya adalah sifatnya yang  “virtual” hingga perlu dipertanyakan sejauh mana menjadi gerakan riil?, sejauh mana “menggetarkan”  dan memengaruhi kekuasaan?, kontrol dan informasi, instan, individual, symbolic, less political, tren, menjadi alat kontrol baru bagi kekuasaan (surveilance), tidak ada jaminan kebebasan berekspresi (UU ITE).

Lebih lanjut Yosi memberi contoh bagaimana advokasi digital dilakukan dengan membuat video partisipatoris dan tulisan.Konsep video partisipatoris sebagai media advokasi bersifat partisipatoris yang artinya, lembaga pendamping hanya sebagai fasilitator saja sedangkan masyarakat dampingan sebagai pelaksana meski semuanya harus terintegrasi dan terkoordinasi. Sedangkan advokasi melalui tulisan/artikel tetap harus memenuhi unsur : 5W + 1 H. (Ast)


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Bahrul Fuad, biasa dipanggil Cak Fu, Komisioner di Komnas Perempuan menyatakan  bahwa perempuan selalu menjadi korban tatkala ada konflik perebutan Sumber Daya Alam (SDA) dan konflik lahan. Padahal perempuanlah yang memikirkan terkait keberlanjutan ketahanan pangan. Mereka selalu mengecek, padinya masih apa tidak, jagung atau ubinya masih apa tidak. “ Perempuan selalu mengamati kebunnya. Laki-laki jarang memikirkan sustainabilty, seperti bagaimana keberlangsungan anak mereka, cucu mereka,” terang Bahrul Fuad dalam webinar peringatan hari perempuan internasional yang dihelat oleh The Asia Foundation, Senin (14/3).


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

ECPAT adalah sebuah jaringan nasional untuk penghapusan eksploitasi seksual anak. Mereka berafiliasi dengan ECPAT internasional dan ECPAT-ECPAT lain di seluruh dunia yang berjumlah 92 negara.

Eksploitasi Seksual Anak (ESA) online adalah segala bentuk tindakan/perlakuan terhadap anak yang bertujuan untuk melakukan eksploitasi seksual dan dilakukan dengan menggunakan atau memanfaatkan  internet. (Terminology Guidelines for The Protection of Children form Sexual Exploitation and Sexual Abuse 2016). Sedang bentuk-bentuk eksploitasi anak adalah : Materi yang menampilkan kekerasan seksual/eksploitasi seksual terhadap anak, Pengertian Bujuk rayu (grooming) untuk tujuan seksual online, Sexting (chat/obrolan untuk pemuasan seks kepada anak), Sextortion (pemerasan seksual), siaran langsung kekerasan seksual kepada anak.

Materi yang menampilkan kekerasan/eksploitasi seksual pada anak (pornografi anak) adalah materi-materi yang menggambarkan aksi kekerasan seksual dan/atau yang fokus pada kelamin anak. Korban bisa anak laki-laki/perempuan dari semua umur bahkan dari usia balita. Materi ini memiliki tingkat keparahan kekerasan dan tindakan yang berbeda-beda, mulai dari anak-anak yang berpose secara seksual sampai dengan kekerasan yang berat.

Grooming online untuk tujuan seksual adalah sebuah proses untuk menjalin atau membangun sebuah hubungan dengan seorang anak melalui penggunaan internet atau teknologi digital lain untuk memfasilitasi kontak seksual daring atau luring dengan anak tersebut.Tindakan grooming tidak terbatas pada tindakan pertemuan fisik secara pribadi, melainkan juga berlaku pada tindakan-tindakan yang dilakukan secara daring.

Tahapan Grooming Online untuk tujuan seksual dengan mencari anak yang rentan dan mengumpulkan informasi. Predator akan mencari anak-anak yang dianggap yang rentan untuk dibujuk rayu. Dikumpulkan juga jejak digitalnya. Predator juga akan mencoba meyakinkan bahwa dia teman yang baik, teman curhat yang nyaman yang memberikan apa yang diinginkan oleh yang curhat.

Membuat konten seksual sendiri (’Sexting’) didefinisikan sebagai ‘pembuatan gambar seksual sendiri’, atau ‘penciptaan, pembagian, dan penerusan gambar telanjang atau nyaris telanjang yang menggoda secara seksual melalui telepon genggam dan/atau internet. ‘Sexting’ sering terjadi di kalangan orang muda, tanpa disadari hal ini dapat menimbulkan permasalahan yang merugikan dirinya.

Sedangkan pemerasan seksual disebut juga sextortion adalah pemerasan terhadap anak dengan bantuan gambar anak tersebut (yang dibuat sendiri) untuk mendapatkan imbalan seks, uang atau keuntungan lain dari orang tersebut di bawah ancaman akan disebarkan tanpa persetujuan dari anak tersebut.

Melakukan siaran langsung di internet adalah siaran langsung kekerasan seksual terhadap anak merupakan paksaan terhadap seorang anak untuk orang lain yang jaraknya jauh. Seringkali, orang yang menonton dari jauh tersebut adalah orang-orang yang telah meminta dan/atau memesan kekerasan terhadap anak tersebut, yang mendikte bagaimana bisa terjadi.

Dalam diskusi internal yang dihelat oleh Yayasan YAPHI pada Rabu (16/3), Dorkas Febria, staf advokasi Yayasan YAPHI menjadi pemantik sekaligus fasilitator diskusi dengan memaparkan modul E-Learning ECPAT Indonesia. Dari modul pengalaman berinternet di masa pandemi, dari 1.203 terdapat 287 pengalaman buruk yang dialami oleh responden saat berinteraksi selama pandemi, yaitu 112 orang dikirimi teks/pesan yang tidak sopan/senonoh, 66 orang dikirim gambar/video yang membuat tidak nyaman, 27 orang dikirimi gambar/video yang menampilkan pornografi. 24 orang diajak untuk live streaming untuk membicarakan hal yang tidak senonoh/sopan, 3. diunggahnya hal-hal buruk tentang responden tanpa sepengetahuannya, 16 orang dikirimi tautan yang ternyata berisi konten seksual/pornografi.

Bersumber pada media monitoring ECPAT Indonesia pada September 2016-September 2017, gambaran kasus eksploitasi seksual anak daring. Dari 504 korban ESA pada September 2016 – September 2017, sekitar 78% terjadi dari aktivitas online : 504 korban ESA, 206 korban prostitusi anak, 184 korban yang menampilkan ekploitasi kekerasan kepada anak, prostitusi anak 8%, perdagangan anak untuk seksual 14%, materi yang menampilkan eksploitasi/kekerasan anak 37%, prostitusi anak daring (41%).

Data pemantauan media 2018 ECPAT Indonesia : 379 anak menjadi korban, 150 kasus eksploitasi anak seksual anak. Sedangkan pada korban anak ditemukan : 21% korban pornografi anak (82 anak), 17,7% online&offline prostitution victim (67 children), 0, 79% korban grooming online (3 anak).

Permasalahan global dan trend usia korban, perkiraan usia korban berdasarkan jumlah gambar yang ditemukan. Sebagian besar (48%) gambar menunjukkan usia korban 11-13 tahun. 1% (1.609) korban berusia 0-2 tahun.

Lalu siapakah pelaku ESA online? Ada dua macam yakni pelaku preferensial yakni orang dengan perilaku memiliki ketertarikan seksual anak kepada anak, tidak tertarik/memiliki hasrat seksual dengan orang dewasa. Lainnya adalah pelaku situasional adalah orang yang melakukan eksploitasi seksual anak karena adanya situasi atau peluang yang mendukung orang tersebut melakukan kejahatan, meskipun orang ini tidak memiliki ketertarikan khusus kepada anak dengan adanya penawaran, adanya peluang mendapat keuntungan (uang), terbukanya akses internet setiap orang dapat dengan mudah mendapatkan dan mengakses materi kekerasan seksual.

Untuk mencegah agar kita tidak salah memilih teman di media sosial, ada beberapa hal yang perlu mendapat pendapat perhatian antara lain : melihat mutual friend, melihat aktivitas di profilnya apakah ada orang yang menyukai atau berkomentar di statusnya, mencari tahu tentang orang tersebut di platform media sosial lainnya dan melihat aktivitasnya di profil tersebut, jangan ragu untuk menolak pertemanan (unfriend/unfollow/ignore) apabila profil tersebut mencurigakan. (Ast)

 

 

 


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Yustina Ogeney dari Teluk Bintuni Papua Barat adalah perempuan adat yang menginspirasi. Ia seorang kepala distrik di wilayahnya dan baru kali ini distrik di wilayah itu dikepalai oleh seorang perempuan. Di webinar peringatan Hari Perempuan Internasional yang dihelat oleh The Asia Foundation, Senin (14/3)  Yustina dihadirkan sebagai narasumber. Menceritakan pengalamannya, semula Yustina diragukan bisa menjadi kepala distrik yang dipilih bupati.