Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Sebagai warga negara Indonesia, penyandang disabilitas memiliki potensi yang harus dimaksimalkan, termasuk di sektor digital dalam menghadapi era digital yang tidak bisa dihindarkan. Hal ini ditegaskan Abdurahman Hamas Nahdly, selaku Direktur Program Siberkreasi Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam pengantar Literasi Digital Inklusi Disabilitas di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Kamis (20/7).

"Terlepas dari dinamika yang ada, peluang dan tantangan bagi disabiitas di era digital harus dihadapi. Dengan berbekal potensi-potensi yang dimiliki kaum disabilitas sekirnya mampu dimaksimalkan oleh semua pihak. Siberkreasi kementerian Kominfo mengawal dan memastikan hak-hak tersebut dan mendampingi pelaksanaan dari kebijakan pemerintah" terang Hamas.

Acara yang diselenggarakan oleh Difapedia dengan bekerja sama dengan UKM Peduli Difabel UGM dan didukung Siberkreasi ini dihadiri oleh 124 peserta,r 98 di antaranya adalah disabilitas. Difapedia adalah lembaga yang berfokus pada advokasi dan pemberdayaan difabel yang salah satu concernnya di sektor digital.

Dalam sambutannnya,  M. Karim Amrullah yang mewakili Difapedia menegaskan bahwa harus ada keterlibatan aktif dari disabilitas untuk kemajuan di sektor digital. Oleh karena itu, perlu membangun kesepahaman bahwa semua warga negara Indonesia harus terlibat aktif di dalamnya.

"Kami juga mengapresiasi kepada difapedia yang sudah mengadakan acara ini. Dengan acara ini dapat menjadikan momentum bagi disabilitas agar lebih mandiri dan memperluas dalam usaha" terang Mugiarto, perwakilan UGM dalam sambutan terpisahnya.

Workshop dengan tema "Mewujudkan penyandang disabilitas yang mandiri dan berdaya melalui tranformasi digital yang inklusif” ini menghadirkan dua praktisi konten kreator dan marketplace, yakni Weliyan Tanoyo dan Lalu Bintang Wahyu Putra.

Weliyan Tanoyo, praktisi marketplace memaparkan materi tentang "Manajemen Marketplace dan Optimalisasi Penjualan bagi Pelaku Usaha Diabilitas". Sedangkan Lalu Bintang Wahyu Putra menyampaikan materi "Media Sosial sebagai Alat Juang Difabel".

"Acaranya sangat baik. Harapan kami workshop ini ditindaklanjuti dengan pelatihan-pelatihan bagi penyandang disabilitas" kata Dwi, salah satu peserta disabilitas rungu. (ast)



Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Yayasan Sentra Advokasi Perempuan Difabel dan Anak (SAPDA) meluncurkan Catatan Tahunan Kekerasan Berbasis Gender dan Disabilitas Tahun 2022 (Catahu KBGD 2022) dalam rangka merayakan hari ulang tahun ke-18 lembaga SAPDA. Catahu mengangkat tajuk “Akomodasi yang Layak: Antara Angka dan Realita”, sesuai dengan highlight utama dari temuannya. Kegiatan ini berlangsung dengan dukungan Pemerintah Australia melalui program Australia Indonesia Partnership for Justice 2 (AIPJ2).

Catahu KBGD 2022 ini disusun dengan kolaborasi antara SAPDA bersama 26 lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat dan pemerintah dari 12 provinsi di Indonesia, dan berhasil mendokumentasikan 81 kasus Kekerasan Berbasis Gender dan Disabilitas (KBGD) yang terlaporkan sepanjang tahun 2022. Hasil pencatatan menemukan KBGD paling banyak terjadi pada korban dengan ragam disabilitas rungu-wicara sebanyak 31 kasus, disusul ragam disabilitas intelektual sebanyak 22 kasus dan ragam disabilitas mental sebanyak 14 kasus. Catahu juga mencatat berbagai praktik baik pemenuhan akomodasi yang layak oleh lembaga penyedia layanan, yang bisa menjadi referensi bagi terselenggaranya pemenuhan dan perlindungan hak-hak penyandang disabilitas korban kekerasan.

“Catatan Tahunan KBGD 2022 telah menghimpun berbagai pembelajaran penting dari praktik baik pemenuhan akomodasi yang layak oleh berbagai lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat dan pemerintah di Indonesia. Ini menjadi PR bersama yang perlu kita kawal secara teknis di semua wilayah di Indonesia, sebagai bentuk komitmen implementasi atas UU Disabilitas, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan berbagai regulasi lainnya,” ungkap Direktur SAPDA Nurul Saadah Andriani dalam sambutannya.

Catahu KBGD 2022 turut mendapati bahwa hampir setiap korban mengalami setidaknya dua hingga empat bentuk kekerasan sekaligus. Apabila melihat dari jenis kekerasan yang dialami korban, Catahu mengidentifikasi 140 bentuk kekerasan terjadi kepada penyandang disabilitas. Jenis kekerasan berbasis disabilitas menempati posisi tertinggi yakni 39 kasus, disusul kekerasan seksual-perkosaan sebanyak 18 kasus dan kekerasan psikis dalam rumah tangga sebanyak 15 kasus.

Catahu KBGD 2022 juga memotret kerentanan berlapis di balik situasi kekerasan pada penyandang disabilitas. Menurut olah data Catahu, korban kebanyakan adalah perempuan dan anak, memiliki tingkat pendidikan yang rendah, dalam kondisi miskin, tanpa pekerjaan atau penghasilan yang tetap, dan menyandang berbagai kondisi lain yang membuatnya rentan mengalami kekerasan. Situasi ini diperburuk dengan minimnya dukungan keluarga dan lingkungan, dimana mayoritas kekerasan terjadi pada ranah privat dengan pelakunya justru berasal dari orang terdekat yang seharusnya memberikan perlindungan.

Sementara itu, terkait dinamika dalam pemenuhan Akomodasi yang Layak sebagai bagian dari hak penyandang disabilitas korban kekerasan, Catahu menemukan dari total 81 kasus, 75 penyandang disabilitas korban kekerasan telah mendapatkan pemenuhan akomodasi yang layak ketika mengakses layanan. 5 korban tidak terpenuhi akomodasi yang layak, sedangkan 1 kasus tidak teridentifikasi.

Meskipun secara kuantitatif hampir semua penanganan kasus telah memberikan akomodasi yang layak di dalam prosesnya, di balik angka tersebut, Catahu KBGD 2022 merekam bahwa upaya pemenuhan akomodasi yang layak masih menemui berbagai hambatan dan tantangan, seperti sarana prasarana yang belum sepenuhnya aksesibel, tidak adanya rumah aman yang mudah diakses bagi disabilitas, dan layanan kesehatan yang belum memadai.

Hambatan terbesar salah satunya juga disebabkan oleh ketiadaan penilaian personal, baik dalam penanganan kasus di level internal lembaga maupun saat kasus dirujuk antar lembaga. Alih-alih dilakukan penilaian personal, informasi tentang kondisi kedisabilitasan korban sering kali sebatas disampaikan secara verbal. Proses penilaian personal juga tak jarang menutup ruang partisipasi bagi penyandang disabilitas, dimana otoritas untuk menentukan kondisi, hambatan dan kebutuhan korban justru semata diberikan kepada ahli. Kondisi-kondisi tersebut menyebabkan kebutuhan khusus penyandang disabilitas tidak teridentifikasi secara penuh, sehingga pemenuhan akomodasi yang layak sulit berjalan optimal dan proses peradilan menjadi terhambat.

Minimnya perspektif isu disabilitas juga memberikan tantangan tersendiri, terlihat dari masih adanya kewajiban Juru Bahasa Isyarat untuk bersertifikat, belum adanya metode pemeriksaan yang ramah bagi korban dengan hambatan mental dan intelektual, masih digunakannya sterilisasi dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap korban disabilitas kejiwaan, serta berbagai pendekatan penanganan kasus lainnya yang belum mengedepankan pemberdayaan dan pemenuhan hak disabilitas.

Lebih lanjut, berbagai kebijakan yang ada juga terlalu mengedepankan syarat administratif dan belum sensitif terhadap hambatan penyandang disabilitas. Misalnya, masih ada penyandang disabilitas korban KBGD yang harus berkali-kali melakukan laporan berulang di kantor kepolisian yang jaraknya sangat jauh dari tempat tinggalnya. Terdapat pula korban yang harus melalui rumitnya proses birokrasi untuk memperoleh hak restitusi. Situasi ini bukan hanya menghambat korban dalam proses penanganan kasus, tetapi secara tidak langsung juga berdampak pada penundaan pemenuhan hak-haknya.

Webinar ini menghadirkan beberapa institusi untuk menanggapi temuan Catatan Tahunan KBGD 2022 yakni Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Komisi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Komisi Nasional Disabilitas, dan Forum Pengada Layanan. Perwakilan aparat penegak hukum turut hadir memberikan tanggapan, yakni Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI, Pokja Akses Keadilan Kejaksaan Agung RI, Pokja Perempuan, dan Anak Mahkamah Agung RI.

Sinergitas antara lembaga layanan dan aparat penegak hukum sangat penting untuk mewujudkan layanan penanganan kasus yang lebih berperspektif disabilitas. Penyidik, organisasi pendamping disabilitas, psikolog, psikiater ataupun tenaga medis lainnya perlu saling berkolaborasi menghadirkan pemeriksaan terpadu sesuai hambatan dan kebutuhan khusus penyandang disabilitas korban kekerasan. (ast)


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Beberapa hari terakhir, telah beredar informasi bahwa pada hari Selasa, 11 Juli 2023, akan diadakan Rapat Paripurna DPR RI Ke-29 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2022-2023. Salah satu agenda Rapat tersebut adalah Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan keputusan terhadap Rancangan Undang-Undang Tentang Kesehatan (RUU Kesehatan). Upaya pengesahan RUU Kesehatan menjadi polemik dan mendapat banyak penolakan dari berbagai kelompok masyarakat seperti organisasi profesi bidang kesehatan, organisasi masyarakat sipil, hingga organisasi disabilitas.

Sebagai bagian dari masyarakat sipil yang menghadapi dampak langsung dari pengesahan RUU Kesehatan, Forum Masyarakat Pemantau Untuk Indonesia Inklusif Disabilitas (FORMASI Disabilitas), Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, Wahana Keluarga Cerebral Palsy, Yayasan Revolusi dan Edukasi untuk Inklusi Sosial Indonesia (Remisi), Perkumpulan OHANA, Komunitas Spinal Muscular Atrophy Indonesia, dan Sasana Inklusi & Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) melakukan survei cepat tentang pemahaman dan persepsi penyandang disabilitas, pengasuh penyandang disabilitas, dan aktivis disabilitas tentang RUU Kesehatan. Survei yang dibuka tanggal 8 Juni hingga 7 Juli ini berhasil menghimpun 100 responden. Hasil survei tersebut mengindikasikan:

1.    Keterlibatan penyandang disabilitas, orang tua anak penyandang disabilitas, dan pemerhati isu disabilitas lainnya relatif rendah pada perumusan RUU Kesehatan yang hendak disahkan. Survei menemukan, dari 100 responden, terdapat 69% menyatakan tidak terlibat advokasi RUU Kesehatan, meski 94% partisipan menyatakan advokasi RUU Kesehatan penting bagi mereka. Bentuk partisipasi yang paling sering disebutkan adalah keterlibatan bersama organisasi masyarakat sipil lainnya.

2.    Di sisi lain, akses terhadap dokumen RUU Kesehatan sangat sulit didapatkan. Meski 69% responden menyatakan mengetahui bahwa saat ini sedang terjadi pembahasan RUU Kesehatan,tetapi hanya ada 30% yang pernah mengakses dokumen seputar RUU Kesehatan. Ditambah lagi, hingga rilis pers ini dibuat, draft final RUU Kesehatan masih simpang siur keberadaannya.

3.    Proses legislasi RUU Kesehatan tidak transparan dan tidak memperhitungkan aspirasi masyarakat sipil. Ini dapat dilihat dari kondisi saat ini, di mana naskah final RUU Kesehatan masih simpang siur, bahkan hingga satu hari sebelum pembicaraan tingkat II. Di sisi lain, naskah yang terdapat pada website DPR RI tidak mengalami perubahan setelah masyarakat sipil memberi masukan. Padahal, masyarakat sipil, terutama penyandang disabilitas akan sangat terdampak jika RUU Kesehatan disahkan tanpa substansi keberpihakan yang jelas.

4.    Pemerhati isu disabilitas memiliki aspirasi yang sangat luas akan permasalahan kesehatan. Berdasarkan survei, responden menggarisbawahi isu-isu penting yang menurut mereka perlu untuk diakomodir oleh RUU Kesehatan, yakni kesesuaian substansi RUU Kesehatan untuk menyesuaikan dengan mandat-mandat Konvensi Internasional Hak Penyandang Disabilitas (73%), jaminan layanan kesehatan berbasis hak asasi manusia (71%), ketersediaan layanan kesehatan bagi disabilitas (71%), program jaminan kesehatan negeri/swasta (69%), sistem rujukan layanan

kesehatan (58%), intervensi dan deteksi dini (54%), layanan edukasi kesehatan (50%), disabilitas psikososial (49%), obat-obatan khusus untuk penyandang disabilitas (47%), upaya kesehatan berbasis masyarakat (43%), disabilitas karena sindrom langka (39%), kesehatan reproduksi penyandang disabilitas (39%), layanan habilitasi (33%), kesehatan remaja (32%).

5.    Prioritas permasalahan-permasalahan kesehatan ini belum cukup diakomodir oleh naskah terakhir dari RUU Kesehatan. Misalnya, kesesuaian RUU Kesehatan dengan Konvensi Internasional Hak Penyandang Disabilitas masih diragukan ketika masih ada Pasal 104 di mana penyandang disabilitas mental masih bisa dianggap tidak cakap dalam membuat keputusan. Menurut RUU Kesehatan saat ini, penentuan ketidakcakapan ini bisa dilakukan dengan segera pada saat itu juga ketika seseorang hendak mendapatkan layanan medis dari dokter spesialis kedokteran jiwa atau dokter lainnya yang memberikan layanan. Ketentuan ini mencerabut hak atas kapasitas hukum penyandang disabilitas yang telah dijamin oleh Pasal 12 Konvensi Internasional Hak Penyandang Disabilitas, yakni hak untuk bertindak dan menentukan pilihan sebagai subjek hukum yang setara.

6.    Kebutuhan-kebutuhan khusus yang sudah diidentifikasi oleh penyandang disabilitas, pengasuh anak penyandang disabilitas, dan pemerhati isu disabilitas direduksi ke dalam hanya satu pasal dalam RUU Kesehatan, yakni Pasal 59, yang secara umum menjamin kesetaraan penyandang disabilitas dalam mengakses fasilitas pelayanan kesehatan. Padahal kebutuhan kesehatan penyandang disabilitas di Indonesia cukup spesifik. Sebagai contoh, tidak ada penjelasan dan jaminan penyediaan tentang Alat Bantu dan Alat Bantu Kesehatan yang menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas merupakan benda yang sangat prinsipil dalam hidup penyandang disabilitas, sebab bisa mendorong kemandirian penyandang disabilitas. Ironisnya, Pasal 59 dalam draft RUU Kesehatan menyatakan bahwa upaya pemeliharaan kesehatan bagi penyandang disabilitas bertujuan untuk mendorong hidup yang bermartabat, sesuatu yang sulit tercapai jika tidak adanya jaminan atas Alat Bantu yang sesuai dengan kebutuhan penyandang disabilitas.

 

Berdasarkan temuan-temuan di atas, kami menyatakan sikap sebagai berikut:

1.    Menolak draft RUU Kesehatan saat ini dan meminta untuk menunda pengesahan oleh DPR RI.

2.    Mendesak DPR RI dan Pemerintah membuka partisipasi masyarakat sipil, khususnya penyandang disabilitas dan organisasi penyandang disabilitas, untuk melakukan pembahasan ulang bersama.

3.    Mendesak DPR RI dan Pemerintah untuk menghapus pasal-pasal diskriminatif dan yang bertentangan dengan Konvensi Internasional Hak Penyandang Disabilitas dalam RUU Kesehatan.

4.    Meminta DPR RI dan Pemerintah agar mengkaji dan menggunakan “Guidance on Mental Health, Human Rights, and Legislation” yang dibuat oleh Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights dan World Health Organization pada 2022 sebagai salah satu rujukan penyusunan RUU Kesehatan.

 

Organisasi yang Mendukung dan Narahubung
FORMASI Disabilitas, 0852-5623-3366 (Nur Syarif Ramadhan)

Yayasan Revolusi dan Edukasi Masyarakat untuk Inklusi Sosial Indonesia (Remisi), 0877-7548-6146 (Hisyam Ikhtiar)

Wahana Keluarga Cerebral Palsy, 0856-2851-903 (Reny Indrawati) Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, 0859-3967-6720 (Albert Wirya)

Perkumpulan    OHANA,    0812-2756-973     (Nuning    Suryatiningsih)    &    0821-3729-3816 (Risnawati Utami)

Komunitas Spinal Muscular Atrophy Indonesia, 0815-5332-8120 (Sylvia Sumargi) Sasana Inklusi & Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB), 0813-2941-2360 (Purwanti)


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Perjuangan tentang keadilan dan kesetaraan gender di dunia yang  patriarki adalah  sangat sulit. Wacana itu terlebih lahir saat dikemukakan dengan perspektif agama yakni Katolik, namun Nunuk Prasetyo Murniati begitu tegar ketika menyampaikan pemikirannya terkait  prinsip keadilan dan kesetaraan gender.  Demikian dikatakan oleh Bambang Muryanto selaku moderator saat membuka diskusi buku biografi Nunuk Prasetyo Murniati karya Masthuriyah Sa'dan di Institut DIAN/Interfidei. Acara ini juga disiarkan oleh kanal YouTube Interfidei. 

Masthuriyah sebelumnya  sudah  menulis tiga buku salah satunya tentang transgender. Lalu ia menulis sosok Nunuk, seorang teolog tingkat Indonesia bahkan dunia dan  akademisi di kampus berbasis Katolik. Nunuk juga penulis 32 judul buku dan jurnal, aktivis, pendamping  dan konselor. Karena secara budaya ia masih dikultuskan sebagai perempuan, istri dan ibu, pada diri Nunuk Murniati, ia perempuan yang utuh.

Masthuriyah membagikan pengalaman pertama kali saat masuk ke gereja yakni pada tahun  2014 dan waktu itu bersama Nunuk. Salah satu alasan  menulis tentang Nunuk karena ada ikatan batin. Tujuannya menulis adalah untuk  mendokumentasi pengetahuan perempuan karena buku-buku tentang pengetahuan perempuan saat ini sangat minim.

"Saya ingin memperkenalkan kepada generasi muda. Komunitas saya orang Madura belum tentu kenal Bu Nunuk. Laku hidupnya agar bisa menjadi inspirasi bagi kaum muda feminis. Agar sejarah peradaban manusia Indonesia tidak lapuk. Sebagai salah satu cara media keadilan dan kesetaraan perempuan,"ujar Masthuriyah. Ia menambahkan jika aktivis yang aktif menulis selama ini tidak dianggap padahal aktivitas menulis itu juga aktif.

Setelah persetujuan untuk  menulis diiyakan, Masthuriyah kemudian  mengajukan kerangka dilanjut wawancara dengan durasi 2-3 jam. Ini jadi  tantangan buatnya  sebab wawancara dilakukan sebanyak 13 kali mulai Desember  2021 hingga  Juni 2022.

Terkait penggalian data, hampir tulisan tulisan Nunuk tahun 1970 mengkritik otoritas gereja. Ia kemudian meminta izin kepada para leluhur yang bisa ia katakan sebagai metode ruhani untuk menyampaikan maksud. Ia juga melakukan mewawancarai teman/informan sebanyak 12 orang .

Metode penulisan buku dengan memakai kata ganti "saya" dengan maksud  agar pembaca bisa lebih mendalami tulisan itu secara khusus seolah-olah tokohnya yang bicara. Penulis dengan tokok serasa dekat. Naskah penulisan juga diserahkan ke tokoh untuk  perbaikan.  Total lama waktu yang dibutuhkan oleh Masthuriyah untuk  menuliskan buku ini sekitar 18 bulan.

Sistematika penulisan diawali dengan  membikin pohon keluarga yang ternyata Nunuk masih memiliki darah Diponegoro. Ketika Masthuriyah menulis Bab 8, ia ingin ada kontributor  dari tokoh agama katolik namun tokoh yang diincarnya kurang berkenan sebab terkait kesetaraan, masih belum ada perspektif  di  Teolog Katolik.

Menutup sesinya, Masthuriyah mengatakan untuk menghadirkan buku ini tidaklah  mudah sebab menggunakan dana mandiri dan dicetak terbatas. Laba dari penjualan dari buku tokoh multidimensi ini akan digunakan untuk kegiatan sosial.

Listia Suprobo, Dosen UGM yang hadir dalam diskusi menyatakan bahwa terbitnya buku biografi Nunuk P. Murniati adalah sebuah prestasi karena  penulis dengan latar belakang yang berbeda berhasil menerbitkan satu buku. Artinya perbedaan identitas bukan penghalang ketika visi itu bertemu. Masthuriyah dan Nunuk sama-sama suka ziarah kubur. Buku ini menurutnya adalah pernyataan bahwa sebagian gerakan perempuan dan  masalah- masalah kemanusian lainnya tidak dapat diidentifikasi oh ini urusan Katolik, maka urusan Katolik begitu dan itu bagian Islam, maka bagian Islam  adalah begini. Masalah kemanusiaan tidak bisa lagi di kapling-kapling itu jadi urusan ini, itu jadi urusan siapa.

Kedua, Nunuk memberikan tema, bahwa feminisme itu tidak satu alias tidak tunggal.

Bahwa ada tanggapam soal Nunuk mencium tangan Paus, atau saat Nunuk menangis dan menimbulkan satu pemikiran, "feminis kok nangis". Melihat perkembangan feminisme, menurut Listia maka mereka  memiliki perkembangan konteks masing-masing. Dalam hal ini konteks masyarakat sekuler dan relijius ternyata berbeda. Mau tidak mau itu harus  diakui sebagai keragaman. Bahwa di sini ada keragaman dan harus  di-highlight dalam rangka menjaga persatuan.

Sementara feminisme yang berkembang di Indonesia dianggap itu bukan hal penting. Padahal yang  suci diturunkan dan hal nilai dan norma. Meskipun itu semua memiliki tujuan ingin memutus jejaring kekuasaan yang sentris. Ada perbedaan yang harus diterima. Salah satunya juga ketika Masthuriyah  minta izin penulisan buku ini sampai naik gunung untuk berziarah kepada leluhur Nunuk.  Cara ini bisa dianggap tidak masuk akal jika dilihat dari filsafat moderen. Namun dalam kajian ilmiah, itu bisa didiskusikan.

 

Feminis adalah "Berani"

Mengawali cerita, Nunuk mengatakan bahwa feminis di waktu ia masih  muda diartikan dengan 'berani". Saat usianya  8 tahun ia memiliki  tetangga namanya Mbok Sastro. Ia sering melihat Mbok Sastro dipukuli oleh suaminya sampai berdarah-darah namun diam saja. Tidak ada yang membantu lalu Nunuk keluar rumah dan namanya dipanggil.

Menurut Nunuk, ternyata dalam agama ada kesadaran perempuan ada pandangan misoginis bahwa laki-laki lebih superior dari inferior. Ia menyebut dalam agama Katolik ada second sex. Ia mengajar teologi feminis dan tahu bahwa ada perbedaan, tetapi masalahnya  mengapa dibeda-bedakan.

Waktu Nunuk mengajar di seminari ada pastor menyuruh mahasiswa yang diampunya untuk menulis dan itu berat apalagi terkait bahwa laku mistik itu ada. Dalam hal ini mistik itu terjadi. "Ilmu pengetahuan itu mengabaikan misteri. Misteri itu ada,"terang Nunuk. (Ast)

 

 


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Komisi Nasional Disabilitas (KND) bersama Bawaslu dan organisasi penyandang disabilitas mendeklarasikan pemilu akses dan ramah disabilitas. Dalam deklarasi yang dibacakan dan  ditandatangani bersama pada 6 Juli tersebut, Dante Rigmalia, Ketua KND menyampaikan bahwa KND memiliki tugas dan fungsi memantau, mengadvokasi pelaksanaan dan kerja sama dengan lembaga dan institusi untuk pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas.

Penyandang disabilitas memiliki hak politik, yakni  memilih dan dipilih. Penyandang disabilitas juga dapat berperan aktif terkait aksesibilitas penyelenggaraan pemilihan umum.

"Jumlah difabel 2020 lebih dari 22,5 juta  dan ini sebuah  kekuatan besar dalam menentukan arah negara Indoenaia. Partisipasi bermakna pada pemilu pada tiap tahapan pemilu,'ujar Dante. Ia menambahkan bahwa individu  penyandang disabilitas hambatannya tidak hanya  kedisabilitasannya saja tetapi juga lingkungannya.

Memasuki tahun politik, KND ingin berkontribusi pada perhelatan akbar. KND  menyatakan sikap dan ingin menyampaikan agar KPU dan  Bawaslu benar-benar memenuhi hak politik penyandang disabilitas.

KND juga berharap ada pemutakhiran data pemilu lalu  mendorong agar penyandang  disabilitas terlibat dalam penyelenggaraan pemilu. Itulah yang melatarbelakangi penandatanganan deklarasi Pemilu Akses Ramah Disabilitas yang bunyinya ;

 

Deklarasi Pemilu Akses Ramah Disabilitas

1. Berkolaborasi untuk pencegahan, pengawasan, dan menindaklanjuti segala pelanggaran yang terjadi pada hak-hak politik disabilitas pada Pemilu Serentak Tahun 2024 secara inklusif.

2. Berkomitmen mendukung pemilu yang aman, tertib, damai, berintegritas, tanpa hoaks, ujaran kebencian, politisasi SARA, dan politik uang.

3. Berkomitmen mendukung pemilu yang aksesibel, non diskriminasi dan inklusi bagi penyandang disabilitas.

4. Meningkatkan kesadaran dan pemahaman yang benar dan sama tentang kesetaraan penyandang disabilitas dan ragamnya di sektor kepemiluan.

5. Meningkatkan pengawasan partisipatif hak-hak politik penyandang disabilitas dalam Pemilu Serentak Tahun 2024.

 

Jakarta, 6 Juli 2023