Buletin

Tinjauan Perspektif Hukum, Sosial, Kultural, Agama, Gender dan HAM dalam Mengawal RUU P-KS (1)

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Saat ini Indonesia sedang mengalami darurat kekerasan seksual. Mestinya soal teori konspirasi yang diembuskan oleh kelompok-kelompok yang kontra terhadap Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) bahwa ada agenda terselubung terkait gerakan feminisme, tidaklah seperti itu. Ini sebuah kesalahpahaman yang harus diluruskan, sebab RUU P-KS berangkat dari substansi data, narasi dan pengalaman.

Ketika seseorang memiliki rasa tidak aman, maka negara wajib memberikan perlindungan. “Kalau ada anggapan bahwa RUU ini terkait gerakan feminisme. Padahal ini hanya satu teori yang ada di filsafat hukum. Ada critical legal theory  yang mencoba melihat aspek sosial, ekonomi, kulutural serta ketimpangan. Feminisme adalah legal theory,” ungkap Taufik Basari, anggota Baleg DPR RI dalam Forum Diskusi Denpasar 12 bertema Mengawal RUU P-KS, Rabu (21/7). 

Taufik menambahkan bahwa proses legal ada karena adanya ketimpangan gender. Bahwa manusia, baik perempuan dan laki-laki berangkat dari hal sama. Ia turut mendorong agar banyak akademisi menuliskan kesalahpahaman itu.

Yuniati Chuzaifah, narasumber lain mengantarkan paparan labirin upaya pengesahan RUU P-KS. Menurut Yuni, terkait korban kekerasan seksual, ada tokohisme, ada korban tetapi tidak ada pelaku. Desakan pengesahan sebab kekerasan seksual sudah terjadi di keluarga, lembaga sekolah dan lembaga agama, ada yang berjubah, ada yang bercadar. Yuni juga menyatakan dalam agama, perkosaan juga disamakan dengan perzinahan. Sedangkan dalam kajian, kita minim mengkaji tentang pelaku, sebab pelaku sangat dirugikan ini yang kemudian disebut ekspresi dan manifestasi kuasa The Power of Masculinity. Pembunuhan pada perempuan terjadi karena ia perempuan,bila dikaitkan dengan maskulinitas. Menurutnya, problem kekerasan seksual bukan hanya genital saja tetapi isi kepala. Bagi pelaku, jika tidak ada RUU P-KS maka tidak ada efek jera.

Yuni menambahkan negara sudah memperoleh data, harusnya tidak mengelak lagi. Banyak sekali kasus kekerasan seksual membuat dampak korban menjadi disabilitas psikososial. Selain itu juga terjadi devaluasi makna syariah karena dijadikan tameng untuk kejahatan. Kemudian, hilangnya ‘negara’ di mata rakyatnya dan lahirnya bangsa tanpa ‘hati rakyat’.

 

Nasyatul Aisyiyah dan Fatayat NU Dukung Segera Sahkan RUU P-KS

Khotimun Sutanti, Ketua PP Nasyatul Aisyiyah dalam paparannya menyatakan bahwa Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya memiliki kualitas ummatan wasathan yang berarti masyarakat yang berjiwa besar (lawan dari sufahaa/berjiwa kerdil). Salah satu karakteristiknya : mereka yang sanggup melakukan hubungan-hubungan sosial yang adil dan melahirkan kebaikan dalam kehidupan bersama. Termasuk di dalamnya : tanpa diskriminasi dan kekerasan. Islam menghapuskan kekerasan terhadap perempuan yang biasa dipraktikkan masyarakat sebelum masa Nabi: membunuh bayi perempuan/mengubur hidup2 (QS. Al-Takwir : 8-9), memukul istri (QS. Al-Nisa :30), menceraikan istri setelah tua (QS Al Mujaadilah :2), mengusir dari rumah (QS. Al-Thalaq :1), membuat sengsara dan menderita (QS. Al-Thalaq :6), mempersulit kehidupan perempuan (Al-Baqarah : 236).

Bagaimana Islam merespon kekerasan seksual ? Kekerasan seksual merupakan tindakan yang menyerang integritas dan martabat seseorang, menimbulkan trauma yang bahkan bisa seumur hidup dan terganggunya aspek hidup yang lain bahkan nyawa; Kekerasan seksual merupakan bentuk kemunkaran, dan korban merupakan kaum teraniaya. Kewajiban terhadap kaum teraniaya : perlindungan, penegakan keadilan, dan pemulihan (mengembalikan martabat manusia sesuai dengan keadaan sebelumnya).

Kemudian apa yang telah dilakukan oleh Nasyiatul Aisyiyah? Beberapa yang telah dilakukan Nasyiatul Aisyiyah yakni melakukan sosialisasi dan integrasi ke internal tentang nilai-nilai Islam anti kekerasan, kesetaraan gender dan pemahaman tentang kekerasan terhadap perempuan(terutama dalam pelatihan paralegal), konsolidasi nasional terkait penghapusan kekerasan seksual pernyataan sikap bersama; kampanye, pemberdayaan masyarakat, terutama dikaitkan dengan kesehatan, misalnya: program pencegahan stunting : Pelayanan Terpadu untuk Remaja Milik Nasyiah (Pashmina), konseling remaja termasuk di dalamnya temuan-temuan adanya curhat korban perkawinan anak, dating violence, KtPA. Juga Samara Course an Family Learning Center, penanganan kasus oleh paralegal Nasyiah dan Jaringan LBH Muhammadiyah/Aisyiyah, FGD bersama Muhammadiyah terkait sikap terhadap RUU P-KS. Isu kekerasan seksual  juga sudah masuk dalam kebijakan internal lembaga kebencanaan Muhammadiyah (PSEA).

Banyak hal juga dilakukan oleh Fatayat NU dalam upaya mendukung segera disahkan RUU P-KS, seperti yang disampaikan oleh Margaret Aliyatul Maimunah, Sekretaris Umum, dengan penguatan kesadaran gender antara lain dengan doktrinisasi dengan kaderisasi berjenjang, lewat bidang sosial dengan pendampingan kasus, pemberdayaan dan pelayanan. Secara organisasi dengan mendukung RUU P-KS berdasarkan Munas NU pada 27 Februari-1 Maret 2019, Forum Daiyah Fatayat (FORDAF), Lembaga Konsultasi Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (LKP3A).

Beberapa hal menjadi rekomendasi dari Fatayat NU untuk segera dilaksanakan adalah mengaji ulang dan penguatan diseminasi pasal-pasal yang rentan disalahtafsirkan, melakukan konsolidasi lintas parpol untuk percepatan pengesahan RUU P-KS, pelibatan peran lintas sektor baik orsospol dan ormas demi optimalisasi dan siginifikasi progres pembahasan RUU P-KS, dan kampanye media secara masif. (Astuti)