Buletin

Pentingnya Kesehatan Mental Ibu Hamil dan Pascapersalinan

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Perasaaan sedih bisa dirasakan semua ibu tetapi hanya sebagian ibu yang mengalami depresi. Gangguan depresi dapat terjadi pada ibu hamil atau pascapersalinan yang ditandai suasana perasaan depresif, hilang minat, dan tidak berenergi. Gangguan depresif berhubungan dengan risiko biologis, psikologis dan sosial. Sebagai upaya pencegahan dan pengobatan maka membutuhkan peran semua pihak termausk ibu, pasangan, keluarga tenaga kesehatan dan masyarakat. Demikian hal-hal penting yang diutarakan oleh dr.Gina Anindyajati, Sp.KJ dari FKUI-RSCM dalam sebuah zoommeeting.

Gina memggambarkan alur yang biasa dialami adalah suasana, depresi perinatal, tekanan yang dihadapi oleh ibu, faktor risiko depresi perinatal, dampaknya, kemudian cara mencegah dan mengatasi depresi perinatal. Ia membagi tipe suasana perasaan yakni eutimia, depresi, anxietas (kecemasan) dan elasi. Sedangkan suasana perasaan adalah sekumpulan perasaan yang berkaitan dengan keadaan evaluatif dan kognitif. Ini tidak memiliki objek spesifik sebagai penyebab dan berlangsung dalam jangka waktu panjang.

Gejala utama depresi ada tiga yakni suasana perasaan depresif, kehilangan minat dan tidak ada energi. Sedangkan gejala tambahan gangguan depresi adalah perubahan kebiasaan makan dan tidur, perubahan berat badan, merasa tidak berharga/tidak berguna/bersalah tanpa disertai alasan, kesulitan konsentrasi, mengingat detail, dan mengambil keputusan, menghindari keluarga dan teman, serta memiliki pikiran tentang kematian dan keinginan bunuh diri.

Apa yang dimaksud dengan depresi perinatal? Depresi sendiri merupakan suatu keadaan secara umum ditemukan adanya gangguan suasana perasaan. Ketika itu terjadi pada ibu hamil maka disebut depresi antenatal dan jika terjadi setelah melahirkan disebut depresi pascapersalinan. Tekanan yang dihadapi oleh seorang ibu saat hamil dan pasca persalinan adalah adaptasi dan stres. Kemudian yang terjadi adalah jika tidak ada masalah, maka ibu akan sehat jiwanya, ketika respon terhadap stress sehari-hari adalah stress normal, dan terhadap masalah hidup yang berat dan menetap menimbulkan gejala psikologis dan perilaku, jika kemudian terjadi gangguan struktur/fungsi otak kemudian dinamakan gangguan jiwa.

Depresi perinatal terjadi apabila ada 1 gejala utama dan 5 gejala tambahan secara bersamaan, terjadi dalam kurun waktu 2 minggu saat hamil/setelah melahirkan, mengalami perubahan dari fungsi sebelumnya, adanya gangguan di bidang sosial, pekerjaan, atau bidang lain, serta tidak berhubungan dengan dampak psikologis dari penggunaan obat/kondisi medis lainnya. Depresi ini jika terjadi saat hamil maka berdampak keguguran, melahirkan sebelum waktunya, produktivitas berkurang, stres berkelanjutan, fungsi sosial jadi buruk serta peningkatan risiko depresi pascapersalinan. Sedangkan jika terjadi setelah melahirkan akan berakibat sulitnya membangun ikatan emosional dengan anak, stres berkelanjutan, kesehatan menurun, tidak mampu mengasuh anak, dan  peningkatan risiko gangguan jiwa lainnya.

Dr. Gina Anindyajati, Sp,KJ membagi dampak kepada anak berupa berat badan saat lahir rendah, lambat pertumbuhan, imunitas rendah, produktivitas rendah, fungsi sosial dan kognitif buruk, kesulitan menyesuaikan emosi, perilaku kekerasan, dan gangguan kejiwaan, dan dampak pada pasangan dan keluarga dekat adalah merusak hubungan, cemas, kebingungan, tidak berdaya dan peningkatan risiko depresi.

Beberapa hal bisa dicegah secara fisik yakni dengan pola makan sehat dan seimbang, tidur cukup dan berkualitas 7-9 jam, olah raga teratur. Sedangkan secara mental dengan mengenali diri sendiri, pikiran, perasaan dan perilakum berpikir rasional dan pemeriksaan rutin ke layanan kesehatan. Dan secara sosial dengan menjalin hubungan baik dengan keluarga dan teman, dan keamanan finansial dengan pendapatan, asuransi, tabungan dan uang darurat.  

Suarakeadilan.org mengutip laman alodokter.com, bahwa depresi saat ibu hamil perlu ditangani dengan profesional. Oleh karena itu ibu hamil harus berkonsultasi kepada psikolog klinis atau psikiater. Jika dengan psikolog maka terapinya adalah psikoterapi, yakni terapi untuk depresi yang ringan dan sedang. Tetapi jika gejala yang ditunjukkan dinilai berat kemungkinan psikolog akan merujuk kepada psikiater agar bisa mendapatkan obat. Pengobatan untuk depresi berpotensi menimbulkan efek samping pada janin. Namun jika jika psikiater memutuskan memberi ibu hamil obat, artinya ia menilai bahwa manfaat mengonsumsi obat tersebut lebih besar ketimbang risikonya.

Pandemi COVID-19 menyebabkan peningkatan kasus depresi pada ibu hamil dan pascapersalinan sebanyak tiga kali lipat. Sedangkan sebuah studi di Irlandia baru-baru ini menemukan kasus baru bahwa perempuan hamil yang mengalami obesitas akan berisiko dua kali mengalami depresi dibanding perempuan dengan berat badan normal. (Astuti)