Buletin

Rakor Jaringan Visi Solo Inklusi : Perlu Pemahaman Terkait Pengetahuan Disabilitas dan Inklusivitas

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Beberapa hal menjadi “Pekerjaan Rumah” (PR) tersendiri bagi Jaringan Visi Solo Inklusi dalam pengawalan pelaksanaan Perda nomor 9 Tahun 2020 sebab masih banyak dijumpai di lapangan beberapa pihak baik dari komunitas difabel dan pemangku kebijakan belum memahami perspektif disabilitas dan inklusivitas.  Dalam rapat koordinasi dan konsolidasi yang diselenggarakan secara luring  di Ruang Anawim Kantor Yayasan YAPHI pada Rabu (9/6), Galih Saputro, salah seorang perwakilan dari Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin) bahwa orang-orang awam masih belum paham soal disabilitas dan masih perlu banyak informasi yang harus disampaikan.

Demikian pula apa yang disampaikan oleh Pamikatsih ketika berbicara tentang inklusi maka arah gerakan inklusi saat ini adalah social inclusion (inklusi sosial) dan hal ini menyangkut perubahan peradaban dan sistem. Ia menambahkan ada empat pilar yang harus berjalan proporsional dan sesuai fungsi masing-masing. Tahap perkembangan berdasarkan sejarah adalah : 1) Segregasi 2) integrasi 3) inklusi 4) inklusi sosial. Saat ini ada dalam tahap inklusi dan dalam praktiknya inklusi masih banyak kegagalan. Ada empat pilar yang mempengaruhi: 1) Orang tua, 2)  masyarakat/umum,3) kaum profesional (NGO, universitas, dll), 4) Negara. Dalam praktiknya 10 tahun dinilai gagal karena empat pilar tersebut tidak disatukan sebab yang banyak berperan hanya negara dan profesional.

Pamikatsih menambahkan bahwa empat pilar harus berjalan proporsional dan sesuai fungsi masing-masing. Ia menganalogikan seperti roti bolu, semua harus saling melengkapi. Pun ketika pembahasan  draft perwali, turunan dari perda nomor 9 tahun 2020, maka harus sudah bisa mencakup semua. Ia juga sudah melakukan penelitian.  Penyandang disabilitas yang bersekolah di sekolah inklusi masih banyak yang tidak dianggap sehingga lebih memilih sekolah khusus yakni SLB yang harus di-setting sebagai pusat sumber untuk memberikan edukasi ke sekolah-sekolah inklusi.

Dikuatkan oleh Ismail, pegiat Tuli, bahwa jaringan perlu membuat panduan-panduan tentang inklusi dan lain sebagainya.  Agustina Wanisari menambahkan bahwa di kabupetan lain, ada penyusunan modul terkait ketenagakerjaan disabilitas yang bekerja di perusahaan, termasuk di dalamnya bagaimana cara berinteraksi terhadap penyandang disabilitas, dari berbagai ragam mislanya netra, Tuli, fisik bahkan disabilitas mental.

Menutup diskusi, Haryati Panca Putri menyatakan bahwa penting untuk membangun pemahaman bersama dengan memberikan perspektif disabilitas kepada masyarakat luas, termasuk bagaimana menjelaskan kawasan inklusif, “Ada kerangka besar yang harus dipahami lebih dulu agar nanti penyusunan perwali lebih enak. Sistem yang harus diubah. Saat ini yang menjadi target adalah mewujudkan inklusi sosial,” pungkasnya. (Yosi Krisharyawan/Astuti)