Buletin

Tingginya Angka Perkawinan Anak di Masa Pandemi

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Indonesia tercatat sebagai negara nomor dua tingkat Asean dan nomor delapan di dunia untuk peringkat tingginya angka perkawinan anak. Dalam sebuah penelitian kepada perempuan berusia 20- 40 tahun didapat sebanyak 25% dari mereka pernah mengalami perkawinan di bawah usia 18 tahun. Mereka biasanya anak perempuan, tinggal di desa, ekonomi rendah dan rentan terhadap kekerasan. Pada tahun 2020 angka perkawinan anak meningkat lagi terutama di 18 provinsi. Isu perkawinan anak ini memiliki dampak di antaranya 1,7% menurunkan pendapatan negara serta berisiko meningkatkan angka kematian bayi hingga lima kali.

Lahirnya anak dari perkawinan anak juga menyebabkan stunting yakni masalah gizi kronis akibat kurangnya asupan gizi dalam jangka waktu panjang sehingga mengakibatkan mengganggu tumbuh kembang anak. Demikian dikatakan Dini Widiastuti, Direktur eksekutif Yayasan Plan Indonesia pada webinar yang diselenggarkan oleh Jurnal Perempuan bertema penghapusan praktik perkawinan anak di Indonesia dari aspek sosial, agama dan hukum pasca pengesahan Undang-Undang Perkawinan nomor 6 tahun 2019, Kamis (3/6).

Prof. Alimatul Qibtiyah, komisioner Komnas Perempuan, yang menjadi narasumber pada webinar tersebut menyatakan dengan menghilangkan jargon-jargon yang beredar di kalangan milenial seperti: “Indonesia tanpa pacaran” tetapi membolehkan perkawinan anak, juga misalnya “Daripada zina, mending nikah muda”. Ia menegaskan bahwa untuk menghindari zina adalah dengan tidak melakukan zina dengan tidak menikah dini atau berpoligami. Ia juga mengkritik pihak-pihak yang seakan merujuk pernikahan nabi Muhammad, yang dikatakan menikahi Aisyah di kala usia anak. Padahal tokoh agama harus percaya jika Aisyah tidak menikah muda. Tokoh agama harus tidak setuju perkawinan anak.

Menurutnya penting adanya pendidikan seksual yang komprehensif untuk melatih mengatakan TIDAK hubungan suami istri bagi remaja. Ia juga menyampaikan pentingnya pendidikan kecerdasan digital dan teknologi.

Prof. Alimatul juga berharap, bersama Komnas Perempuan yang bekerja sama dengan berbagai instansi terutama dinas pendidikan agar kalau ada anak perempuan hamil tidak dikeluarkan dari sekolah. “Kalau pendidikan ikut menghukum, lalu bagaimana dengan anak ini?” begitu serunya. Bersama organisasi Aisyiyah, Prof. Alimatul mendampingi para remaja di Dlingo, Bantul, bekerja sama dengan kader desa.

Ahmad Nur, wakil ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang menjadi narasumber menyebut bahwa ketiadaan sangsi hukum bagi pelanggar usia perkawinan anak, seperti yang terjadi di luar negeri, menjadikan angka perkawinan anak semakin meningkat. Di luar negeri kalau ada yang melanggar usia perkawinan anak maka akan ada hukuman. (Astuti)