Buletin

Penyandang Disabilitas Netra Mengakses Situs Sejarah dan Budaya

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Faisal Mustofa tampak intens memainkan alat musik yang baru pertama kali ini dipegangnya. Alat musik yang bernama Guitar Q-Chord tersebut tanpa sulit ia mainkan setelah mendapat pengarahan dari Pendeta Yopi Rahmat yang sejak dari awal menyambut dengan ramah.  Beberapa lagu berhasil ia iringi di antaranya Indonesia Pusaka dan Serumpun Padi di dalam Gereja Pantekosta, sebuah situs sejarah yang berada di Komplek Lodji Wetan. Selain Guitar Q-Chord, Faisal juga memainkan Akordion, alat musik mirip piano namun dimainkan dengan cara menggantungkan alat musik tersebut di badan pemain. Tangan kiri pemain memainkan tombol akord sedang tangan kanan melodi.

 

Selain Faisal, siswa program seni musik SMKN 8 Surakarta, ada Yanti, atlet disabilitas yang tertarik memainkan musik juga. Di ruangan yang sama, biasanya dipergunakan sebagai ruang peribadatan duduk pula Bayu Sadewo, Imam Ma’ruf, Wahid Noer Hidayat, Ira, Sobirin, Rizqi dan dan beberapa difabel netra lainnya yang mengikuti napak tilas sejarah dan budaya bertajuk “Difalitera Membaca Solo”. Acara ini berangkat dari keinginan para difabel netra yang tergabung dalam Teras Baca, sebuah komunitas luring bentukan Difalitera yang mengajak berpiknik. Gayung pun bersambut karena Indah Darmastuti, founder Difalitera mengiyakan ajakan tersebut dan memfasilitasinya dengan menggandeng komunitas Soeracarta Heritage Society. Sebagai pemandu bagi mereka adalah pegiat Soeracarta Heritage Society, Surya Hardjono.

 

Bayu, Imam Ma’ruf dan Sobirin mengaku jika baru pertama kali ini kakinya menginjak gereja dan masuk di dalamnya. Mereka meraba jendela dan pintu bangunan dengan bentuk daun pintu lebar dan panjang khas gaya Eropa. Di Gereja Pantekosta juga ada penanda bahwa bangunan ini pernah terendam banjir bandang pada 15 Maret tahun 1966 dengan adanya sapuan dinding ubin keramik yang tingginya lebih dari 120 cm baik di semua bidang dinding di dalam maupun d luar gereja. Mereka juga takjub karena memiliki berbagai pengalaman baru, lebih-lebih ketika bisa menapak tangga kayu di dalam bangunan gereja dan menyentuh benda-benda bersejarah di sana seperti mesin ketik kuno, steamer rambut, serta cerita tentang foto-foto bersejarah.

 

Di dinding lantai dua bangunan Gereja Pantekosta terpajang beberapa foto di antaranya foto tahun 1929 orang-orang yang berjajar rapi di sebuah gedung. Mereka adalah orang yang menangani wabah penyakit pes yang terjadi di kisaran tahun 1915. Wabah itu menular melalui aliran sanitasi yang buruk dan banyak tikus mati. Pandemi yang disebabkan wabah penyakit pes menelan ribuan orang korban meninggal dunia membuat Raja Kasunanan Keraton Surakarta, Paku Buwana X mengambil kebijakan penanganan agar tidak menular lebih luas lagi dengan membangun beberapa klinik salah satunya yang sekarang menjadi gedung Gereja Pantekosta. Soeracarta Heritage Society pernah menyelenggarakan pameran foto di Gereja Pantekosta pada 20-21 Mei 2017.

 

Gereja Pantekosta adalah pemberhentian terakhir kegiatan di Sabtu pertengahan Maret pagi itu. Sebelumnya mereka telah menyambangi gedung-gedung tua seperti Gedung Opak, atau kantor irigasi di Zaman Belanda. Juga bersilaturahmi di rumah keluarga Eveline, seorang penghuni salah satu rumah tua di komplek Lodji Wetan tersebut yang menjamu rombongan dengan sangat baik. Di rumah Eveline, mereka diperkenalkan dengan bangunan pilar rumah khas Eropa yang biasa berada di teras rumah. Untuk mengukur betapa besar pilar itu dan kawan-kawan netra memeragakannya dengan cara memeluk pilar tersebut.

 

Perjalanan mereka berawal dari mengenalkan sejarah Kreteg Gantung di masa lalu. Surya Hardjono dari Soeracarta Heritage Society menjelaskan bahwa konstruksi pada waktu dulu kemungkinan berwujud kreteg yang menggantung dengan tali baja yang biasa digunakan untuk jembatan ringan di masa kolonial. Di sebelah selatan aliran sungai adalah Komplek Lodjie Wetan yang dominan bangunannya bergaya Eropa sedangkan utara sungai adalah rumah-rumah Pecinan yang dalam sejarahnya difungsikan sebagai bandar. Surya mengajak mereka untuk menyeberang lalu menaiki jembatan bambu yang dibikin beberapa tahun lalu. Ia menceritakan bahwa di zaman kekinian, Kreteg Gantung telah beralih rupa setiap menjelang Imlek dengan menghias diri dengan berbagai atribut lampion yang sambung-menyambung dari Komplek Pasar Gedhe. Namun perayaan Imlek tahun 2021 di Solo tanpa lampion. 

 

Belajar Sejarah, Budaya, dan Keberagaman serta Sensitivitas Difabilitas itu Asyik!

 

Aryani Wahyu, seorang pegiat di Soeracarta Heritage Society yang datang sebagai relawan pendamping kepada saya menceritakan pengalamannya. Perempuan yang sehari-hari bekerja di Balai Bentara Budaya tersebut merasakan pengalaman pertama yang bersentuhan secara langsung atau personal kepada difabel netra. Jika biasanya ia bekerja sebatas melayani ketika ada program di kantornya sebagai penyelenggara acara bagi disabilitas netra sehingga tidak memiliki keintiman yang intens dibanding dengan menjadi pendamping bagi mereka semenjak awal hingga usai acara yang memakan waktu sekira empat jam tersebut. Berbekal pengetahuan tentang sensitivitas difabel seperti bagaimana cara berinteraksi, cara berbicara, mengandeng tangan yang benar mengarahkan dengan menyentuhkan tangan, Aryani merasa itu pengalaman luar biasa. Ia bahkan beranggapan tak mudah melakukan seperti yang teman-teman netra lakukan, dengan mencoba berjalan melangkah dengan mata tertutup.

 

Hal sama disampaikan pula oleh Indah Utami, relawan pendamping yang merasa senang karena ini pengalaman baru baginya. Ia sama antusiasnya melakukan kegiatan ini dan berharap agar kegiatan serupa diadakan kembali di lain waktu dengan lokasi yang berbeda. Baginya kegiatan ini tak hanya menambah pengetahuan, namun juga pertemanan dan sangat bagus untuk me-re-fresh pikiran, apalagi sudah satu tahun ini pandemi melanda.

 

Di group WhatsApp Teras Baca sore itu di hari yang sama bermunculanlah foto-foto kegiatan mereka. Indah Darmastuti mengirimnya bersama caption-caption yang disambut dengan baik oleh kawan-kawan netra. Rizqi, dalam komentarnya mengatakan akan menulis perjalanan mereka hari itu. Ia berterima kasih pada akhirnya tulisannya terbit setelah sekian lama ia tidak menulis. Ia berharap Teras Baca akan melakukan kegiatan ‘membaca’ lagi.

 

Indah Darmastuti menjawab pertanyaan tersebut bahwa agenda “Difalitera Membaca Solo” kedua akan dilaksanakan pada awal April 2021 dengan menyusuri Komplek Lokananta, yang tak lepas dari sejarah musik Indonesia. (Astuti)