Jurnal Perempuan 107 Bertema Memahami Pandemi COVID-19 dari Kacamata Feminisme

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Jurnal Perempuan (JP) edisi 107 dalam penerbitannya kali ini mendapat dukungan dari Kurawal Foundation. Atnike Sigiro, Direktur Ekseskutif  dalam peluncuran JP 107 via media zoom meeting dan disiarkan secara langsung lewat kanal youtube Jurnal Perempuan pada Kamis (4/2) menyatakan bahwa dilatarbelakangi angka positif COVID-19 yang sudah menyentuh lebih dari satu juta orang, JP 107 berusaha mengangkat tema pandemi COVID-19 dari kaca mata feminisme. Menurut Atnike, konsep “Shadow Pandemi” angka kekerasan pada perempuan naik terutama kekerasan seksual pada perempuan. Dan pandemi ini memperbesar ketimpangan yang terjadi sebelum pandemi.

Jika ada yang mengistilahkan bahwa yang kita alami dalam pandemi ini dalam perahu yang sama. Perlu diingat bahwa itu mitos bodoh, sebagai penguasaan untuk mengelabuhi rakyat. Padahal kita tidak sama. Masyarakat dengan rakyatlah yang sama. Malangnya keluarga miskin kota, minoritas informal, disabilitas, perempuan membayar ongkos yang sama. Menurut penelitian, 50%  perempuan dan 30% laki-laki jam kerjanya hilang. Itu artinya kita tidak dalam perahu yang sama. Tulisan-tulisan di JP 107 hanya langkah awal untuk mengkonsolidasikan langkah berikutnya. Demikian dikatakan Darmawan Triwibowo, Direktur Eksekutif Kurawal Foundation. COVID-19 di Indonesia adalah terburuk di Asia Tenggara karena menyentuh angka lebih dari 1 juta. "Saatnya untuk marah, karena ketidakbecusan, ketidakjujuran di masa pandemi dibayar dengan nyawa,"ungkap Darmawan Triwibowo.

Misiyah dari Insitut KAPAL Perempuan menyatakan mengapa penting menggunakan kaca mata feminisme. Menurut catatannya ada 33,54% juta perempuan menghadapi pandemi secara spesifik yakni perempuan Indonesia dengan keberagaman identitas dan status ekonomi. Mengapa disebut Shadow pandemi, karena kekerasan seksual berbasis online meningkat seperti peristiwa pelecehan yang dilakukan oleh seorang dosen, kasus-kasus perkosaan yang dicatat dan didampingi LBH Jentera Jember, kasus di Riau anak mencari sinyal internet tetapi menjadi korban kekerasan seksual, serta kasus-kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sulit diungkap karena mereka hidup di rumah, dan layanan pendampingan hukum sulit dijangkau saat pandemi.

Penelitian yang dilakukan oleh Institut  KAPAL Perempuan menunjukkan 57% perempuan lebih cemas dibanding laki-laki. Namun demikian perempuan juga memiliki resiliensi saat pandemi dengan melakukan aksi kolektif untuk emergensi respon COVID-19 di fase awal dengan melakukan penggalangan dana untuk dapur umum, bantuan pangan, penjualan barang-barang prelove, produksi masker, serta bantuan spesifik untuk bayi, lansia dan ibu hamil, difabel dan perempuan terpencil.

Beberapa strategi yang diperkuat antara lain perlindungan sosial yang responsif gender (pemenuhan pangan, papan, sandang, layanan kesehatan, pendidikan, lapangan pekerjaan, sumber daya ekonomi) yang memecahkan kebutuhan spesifik perempuan. Dan mengarusutamakan isu-isu gender.

 

Penelitian JP Kepada 16 Perempuan Terdampak Pandemi COVID-19

Jurnal Perempuan melakukan penelitian kepada 16 perempuan termasuk transpuan dari berbagai latar belakang sosial dan ada berbagai temuan, di antaranya orangtua harus mendampingi anak difabel lalu juga mewawancarai perempuan difabel. Atnike Sigiro menyatakan dalam dimensi interseksual diskriminasi gender dan ras di Papua mengental.

Terkait akses, karena yang diwawancarai salah satunya adalah trangender (Transpuan/transman) yang kehilangan pekerjaan dan memiliki problem. Mereka tidak bisa menyewa rumah lagi, maka pilihan adalah tinggal di rumah singgah atau kembali ke rumah orangtua. Ketika mereka menentukan tinggal bersama di rumah singgah maka rentan terkena infeksi virus, sedang bila balik ke rumah orangtua rentan mengalami KDRT  terkait identitas gender. Temuan stigma terhadap transpuan. Mereka yang bias menjadi tumpuan keluarga sekarang rentan mengalami kekerasan karena sudah bukan  lagi sebagai penyangga ekonomi keluarga dan keluarga berbalik merisak terkait identitas gendernya.

Kelompok lain yang diteliti adalah perempuan Pekerja Rumah Tangga (PRT), baik yang bekerja secara tinggal dalam keluarga majikan atau pulang ke rumah. Mereka rentan stigma penular virus, dicurigai/disalahkan termasuk PRT migran yang rentan dipulangkan.

Atnike berharap semoga kebijakan lebih melihat secara konteks mikro dari berbagai konteks sosial seperti kebijakan daerah, kota dan kabupaten serta desa. (Astuti)