Mempertanyakan Masa Depan Perjuangan Reforma Agraria

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Mengambil tema masa depan perjuangan reforma agraria, Yayasan YAPHI menghelat diskusi yang diikuti oleh internal staf dan mengundang Roni S. Maulana, dari Seknas Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) untuk menjadi narasumber sekaligus pemantik diskusi via Zoom Meeting pada Rabu (19/1).

Prima Cahya moderator diskusi dalam kalimat pembuka menyatakan bahwa Yayasan YAPHI sejak tahun 1987 bergerak mengatasi isu keadilan, dan ada empat wilayah dampingan yakni di Sambirejo Sragen, masyarakatnya berkonflik dengan PTPN, di Pati, Paranggupito Wonogiri, dan di Urutsewu Kebumen.   

Di masyarakat saat ini ada nada lengah dan lelah, namun persoalan agraria mengalami  pasang surut dan tidak kunjung mendapat solusi. Upaya-upaya yang dilakukan oleh Yayasan YAPHI adalah dengan membentuk organisasi masyarakat dan mendesak adanya Gugus Tugas Reforma Agraria.  YAPHI juga sudah berkontak dengan pihak Kantor Staf Presiden (KSP) namun realitanya beberapa hal ada persoalan. Terkait peristiwa dan kebijakan yang ada  di pusat, sebenarnya membelokkan semangat reformasi agraria yang sebenarnya.

Roni S. Maulana mengemukakan bahwa ada yang salah reformasi agraria  versi pemerintah. Berangkat dari hal tersebut tahun 2019, pasca Hari Tani, KPA mengusulkan kebijakan adanya revisi perpres no 86 tahun 1918 tentang reformasi agraria. Menurut bayangan dan pemikiran KPA ada  empat hal utama : kelembagaan yang tidak bisa dipimpin oleh Kemenko, kewenangan, baik tim dan GTRA tidak memiliki kewenangan eksekutorial rapat yang hanya akan menghabiskan budget, setelah tidak ada kewenangan. Menurut Roni, mekanisme tidak jelas, meski petani usul, tetapi para petani yang terlibat sebagai partisipan kebijakan reformasi agraria dan  banyak yang dikriminalisasi, dipersekusi oleh pemerintah, pejabat, elite politik dan penguasa daerah. KPA ingin pemerintahbmengubah perpres tersebut.

Dua bulan terakhir, KPA mengadakan pertemuan intens dengan KSP dan Kapolri untuk menyelesaikan persoalan yang sudah ditetapkan dalam reformasi agraria.KPA  juga mempertanyakan bagaimana kondisi terkini dari usulan petani? Dua bulan terakhir  terobosan adanya diskresi. Menurut KPA, sudah cukup seremonial bagi-bagi sertifikatnya, 6 tahun itu sudah cukup.

Role model ada di 534 desa yang jadi basis pengorganisasian KPA. Mengenai agenda reformasi agraria ke depan seperti yang ada pada CATAHU KPA 2020 bagaimana terlihat kemauan pemerintah terkait politik agraria ke depan semakin minim.  Dalam RPJMN 2020,  9 juta hekar jadi 8,5 juta hektar, dan yang paling banyak kembali sertifikasi tanah biasa, sisanya redistribusinya diambil dari target RPJMN sebelumnya. Sisa 1, 1 juta hektar dimasukkan ke RPJMN 2020, utang yang lalu dimasukkan sekarang. Yang lebih berbahaya lagi bagaimana pemerintah melakukan itu, jangan sampai kesalahan diduplikasi atau diulang di pelaksanaan empat  tahun ke depan.

Roni juga menambahkan jika Undang-Undang Cipta Kerja merusak undang-undang yang menguntungkan petani. Tidak ada lagi undang-undang yang melindungi si petani itu sendiri. Jika  di dalam prolegnas tahun ini belum masuk, di prolegnas tahun depan  kita berharap RUU pembaruan agraria ada.

Adi C. Kristiyanto, dari YAPHI menceritakan tentang pendampingannya di masyarakat basis, bahwa semula adanya Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) sebagai angin besar, dengan perkembangan yang ada kemudian  jadi pepesan kosong lagi yang menjadi beban pendamping.  Panjangnya perjuangan mempengaruhi solidaritas, bagaimana  kemudian pendamping berusaha untuk menjaga rasa atau semangat di kelompok petani di masyarakat supaya percaya dan tetap solid.

Pendapat yang sama juga dikemukakan Prima Cahya, bahwa sebelum adanya Perpres 86, waktu YAPHI melakukan pendampingan sering masyarakat itu berkonflik dan berharap Perpres 86 dan GTRA menjadi solusi.

Roni memberikan solusi, ada beberapa kegiatan yang dapat dilakukan ketika serikat tani lesu, karenanya perlu varian kegiatan yang dapat dilakukan serikat tani misalnya panen raya padi, jahe, atau pendidikan pasca panen serta membangun penggilingan padi, yang lebih meningkatkan ekonomi petani. Seperti konsep besar KPA dari menjadi korban jadi pejuang. Ini terkait pula bagaimana memaksimalkan hasil tanah pertanian yang semula dijual kepada tengkulak kemudian membuat koperasi. Roni menambahkan jika mereka mengeluh ya  wajar juga, karena jika berkaca dengan saudara petani yang lain, puluhan tahun berkonflik masih direpresi. (Hastowo Broto/Astuti)