Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Menurut panelis Helma Nuraini dari  Universitas Islam Negeri  Antasari Banjarmasin pada diskusi 1st Annual Conference on Indonesian Feminisms  (KCIF) oleh  LettStalk_Sexualities, ada tiga hal penting dalam pendidikan seksual yang inklusif bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yakni bagaimana mereka mengenali dirinya. Pendidikan seksualitas  itu bukan hanya tentang bagaimana  mereka memahami tentang seks atau seksualitas itu tetapi mengenali diri mereka sendiri  dan menumbuhkan rasa kepercayaan diri termasuk kemampuan  mereka dalam menjalin relasi heteroseksual dan lainnya.

Pendidikan seks dan seksual  juga menunjang tumbuh kembang mereka  menjadi pribadi lebih sesuai dengan tuntutan atau norma yang berlalu di masyarakat yang sesungguhnya tidak adil  bagi mereka. Salah satu  yang terpenting dari  pendidikan seks dan  seksualitas ini adalah  menjaga keselamatan diri seorang ABK. Kita mengenal ABK sebagai seorang yang memiliki kekhasan dan dalam tumbuh kembang mereka dan  tampak bagaimana mereka berinteraksi serta bersosialisasi pada masyarakat.

ABK punya keunikan pada fisik dan komunikasinya. Ada tiga hal yang membedakan individu  pada umumnya yaitu keunikan pada fisik, perbedaan mental intelektual dan berpengaruh secara signifikan pada proses pertumbuhan  dan perkembangannya yang berdampak pada komunikasi mereka dan seluruh aspek kehidupan sepanjang hidupnya. Di sisi lain terkait dengan  seksualitas ada stigma atau label pada mereka yang kemudian menjadikan kekerasan atau diskriminasi. Banyak data kekerasan seksual terjadi pada ABK, terutama kepada ABK perempuan dan anak. Mereka memiliki kerentanan berlapis.

Mereka  memiliki kecenderungan  perilaku yang dianggap tidak sesuai menurut perilaku masyarakat karena keterbatasan mereka memahami konteks di masyarakat, mereka dianggap berperilaku tidak sopan ketika misalnya karena kekurangpahaman mereka terutama autis. Mereka suka memainkan alat kelaminnya atau menyentuh tubuh orang lain  tujuannya supaya kenal orang. Mereka dianggap sebagai pengganggu. ABK sendiri terstigma sebagai orang yang hiperseksulitas atau sebaliknya distigma sebagai aseksual. Ini sangat mengganggu bagi mereka bahkan sampai berbahaya.  Walau ada stigma perilaku seksualitas mereka dianggap tidak normal yakni mereka tidak tahu batas pergaulan.

Berbeda antara laki-laki dan perempuan. Jika yang jadi korban adalah perempuan maka bisa diaborsi, dinikahkan dan  disterilisasi, jadi mereka sama sekali tidak dapat membela diri atas tubuh mereka sendiri.

Ada sebuah cerita di Kabupaten Sragen, satu keluarga yang anaknya ABK dan si orangtua menginginkan anaknya dinikahkan pada sia pun yang mau menikahinya. Dia dinikahkan dengan laki-laki pengangguran dan pemabuk. Dia menikah lalu  hamil dan tidak diurus suami. Ketika dia melahirkan, dia ketakutan dan kesakitan, akhirnya meninggal. Anaknya pun meninggal.

Faktor lain ketika ABK jatuh cinta misalnya, dia merasa 'kalau orang menanggapi cinta saya berarti dia kasihan' atau bahkan ada beberapa difabel perempuan yang memilih untuk tidak menikah karena  oleh orangtuanya dianggap tidak cakap mengurus keluarga. Ini hal-hal yang realitas terjadi seperti itu.

Lalu apa saja hambatan yang dialami oleh guru ketika mengajar pendidikan seks dan  seksualitas pada ABK?

1. Orangtua kurang belajar. Kalaupun mereka belajar, mereka tidak tahu bagaimana menerapkannya kepada anak. Contohnya : sulit sekali orangtua mengajarkan anaknya memakai pembalut. Saat pembalut dipakai keliru karena terbalik itu sakit sekali. Ada ibu anak berkebutuhan khusus juga menceritakan anaknya yang  autis yang suka keluar rumah tanpa bilang dan  sangat berbahaya karena banyak remaja berkebutuhan khusus diculik kemudian jadi objek seksual. 2. Metode pengajaran yang tidak dipahami. Guru juga memiliki  kekurangan dalam keterampilan. Banyak guru yang dihadapkan harus mengajar walau dia kurang memiliki kemampuan. Dari pengalaman, guru mengajar seksualitas ABK yang perempuan lebih bisa mengajar daripada guru laki-laki. Materi kurang, metode kurang dan bagi ABK sendiri mereka mendapatkan akses yang kurang. Di zaman banjir  infornasi sekarang belum tentu infornasinya benar.

Lalu kesimpulan bagaimana pendidikan  seksual itu bisa diperoleh? Sebenarnya ada yakni oleh LSM namun belum banyak yang bisa mengakses.  Banyak organisasi yang punya modul dan mengimplementasikan yakni sekadar contoh di  10 provinsi pada tahun 2014 dan yang paling penting bagaimana pendidikan seksualitas komprehensif itu bisa diinklusifkan dengan disesuaikan karakteristik, usia, dan gender ABK.

Kesimpulan bahwa pendidikan seksual bagi ABK belum terserap dengan dengan benar dan baik bagi seluruh masyarakat di 34 provinsi, sebab terstigma oleh nilai-nilai dan standar norma. Modul masih terpusat pada LSM dan  masih eksklusif sehingga belum  terakses, namun sudah diadopsi oleh pemerintah tetapi masih berfokus kepada kesehatan reproduksi. Hal ini dikarenakan masih ada hambatan biaya dan akses.  (ast)



Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Apa yang tergambar dalam pikiran kita ketika diminta untuk membayangkan ‘orang normal’?

Sebagian besar kita pasti akan membayangkan sosok berjenis kelamin Perempuan atau laki-laki yang memiliki wajah lengkap dengan mata yang bisa melihat, mulut yang bisa berbicara, memiliki kedua telinga yang bisa mendengar, beraktifitas dengan kedua tangan dan kakinya yang lengkap tanpa perlu menggunakan alat bantu atau bantuan dari orang lain.

Gambaran seperti inilah yang selama ini diyakini oleh banyak orang sebagai sebuah kebenaran atas definisi ‘normal’. Keyakinan ini tentu tidak muncul begitu saja, namun berawal dari lingkungan sekitar yang secara sadar atau tidak membentuk pemahaman tersebut. Sebagai contoh, sering kita dengar ungkapan “kita harus bersyukur, dilahirkan dengan tubuh yang lengkap dan normal” atau ketika melihat orang dengan disabilitas netra atau pengguna kursi roda yang memiliki prestasi kita sering melihat respon orang-orang sekitar yang berujar “Itu lihat. Mereka yang nggak normal aja bisa, masak kita yang normal nggak bisa” dan masih banyak lagi ungkapan-ungkapan serupa yang pada akhirnya menyiratkan definisi ‘orang normal’.

Pemahaman yang sudah tertanam ini, akhirnya goyah dengan pemahaman baru yang didapat dalam sebuat sesi tentang mengenal Gender Equality, Disability, and Social Inclusion (GEDSI) atau dalam Bahasa Indonesia dapat diterjemahkan Kesetaraan Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial. Sesi yang dipaparkan oleh Pamikatsih dari Jaringan Visi Solo Inklusi bertempat di Yayasan YAPHI pada tanggal 16 Agustus 2023, membawa setiap peserta untuk beranjak dari pemahaman yang selama ini sudah mengakar kuat. Sesi ini dihadiri oleh orang-orang dengan ragam disabilitas seperti disabilitas rungu wicara, disabilitas netra, disabilitas daksa, dan disabilitas mental serta orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus.

Di awal sesi, peserta diminta untuk menuliskan persoalan yang dihadapi oleh disabilitas. Rata-rata menuliskan bahwa disabilitas sering menghadapi persoalan terkait dengan hambatan mobilitas karena banyak tranportasi dan tempat umum yang belum aksesibilitas, adanya diskriminasi diberbagai bidang seperti Pendidikan dan pekerjaan, serta kebijakan negara yang belum mengakomodir hak-hak disabilitas. Dari jawaban-jawaban tersebut, dapat disimpulkan bahwa ada tiga hambatan atau persoalan utama yang dihadapi oleh disabilitas yaitu tidak adanya rehabilitasi dan alat bantu, hambatan fisik, serta hambatan struktur.

Solusi atas persoalan-persoalan tersebut memang sudah nampak diupayakan, namun masih cenderung parsial dan seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan penyandang disabilitas. Misalnya adanya jalan landai ditempat-tempat umum yang dibangun dengan kemiringan yang cukup tajam sehingga membahayakan pengguna kursi roda, belum lagi jika diujung jalan atau ditengah jalan ada penghambat lainnya seperti pohon; atau guiding blok untuk tuna netra yang sering kali berujung pada selokan atau pohon; atau transportasi umum yang belum tersedia alat bantu; dan masih banyak lagi. Jadi solusi yang diupayakan tanpa diikuti perubahan pola pikir dan pola perilaku tidak akan berdampak signifikan.

Lebih dalam, ibu Pamikatsih mengenalkan tentang konsep pikir ‘Pencacatan Secara Sosial’. Konsep ini terbentuk dari tiga hal utama yaitu tradisi dan budaya, agama, dan kecerdasan. Pertama adalah Tradisi dan budaya, masyarakat secara luar khususnya di Indonesia masih sering mengaitkan kondisi disabilitas seseorang dengan mitos yang dipercayai, seperti pengalaman ibu Pamikatsih yang sering mendapatkan labelling bahwa apa yang dia alami adalah akibat dari ibunya memotong kaki ayam pada saat dia dikandungan dan tentu cerita serupa sering kita dengar. Kedua adalah Agama, tidak jarang dalam ajaran agama menyebut bahwa kondisi disabilitas adalah salah satu wujud dari hukum karma atas kesalahan yang dilakukan oleh penyandang disabilitas atau oleh orang tuanya terdahulu. Ketiga adalah Kecerdasan, hal ini dimaksudkan karena setiap orang yang tumbuh dari tradisi dan agama akan terbiasa dengan pola pikir yang terbentuk dalam memandang kondisi disabilitas sehingga ketika orang-orang tersebut duduk diposisi pengambil kebijakan maka tentu pola yang sama akan diterapkan dalam setiap kebijakan yang dibentuk. Ketiga hal inilah yang kemudian semakin menggiring definisi ‘normal’ dan ‘cacat’.

Konsep 'Pencacatan' secara sosial dapat terlihat dari respon yang muncul dari seseorang bertemu dengan penyandang disabilitas, bermula dari pandangan yang terfokus kepada kondisi fisik disabilitas kemudian muncul perasaan kasihan selanjutnya diolah oleh otak dan memunculkan Tindakan memberi pertolongan atau bantuan. Pola seperti inilah yang akhirnya secara sadar atau tidak membentuk pola pikir penyandang disabilitas, mereka semakin terbelenggu dengan labelling ‘ab-normal’ dan justru semakin membentuk kepribadian disabilitas yang tidak percaya diri, menangisi kecacatannya, menolak berbagai kesempatan karena merasa diri tidak mampu dan cenderung memilih untuk menyendiri.

Hampir semua negara anggota PBB mengakui bahwa hak asasi penyandang disabilitas masih sangat terabaikan, unuk itulah mengapa Gerakan GEDSI ada sebagai upaya untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi penyandang disabilitas secara holistik. Jika saat ini faktanya banyak kebijakan negara yang tidak ramah disabilitas dan mau tidak mau disabilitaslah yang diminta untuk menyesuaikan maka konsep inklusi sosial berfokus kepada perubahan kebjiakan menuju kebijakan negara yang inklusi.

Dalam konsep GEDSI ada sebuah pendekatan yang dinilai efektif untuk diterapkan, yaitu Pendekatan Jalur Kembar (Twin Track Approach). Pendekatan yang pertama adalah penyertaan difabel yang dapat dilakukan dengan cara memfasilitasi proses penyertaan difabel dalam proses Inklusi dengan soft skill training dan pengembangan karakter difabel dan pendekatan yang kedua adalah Aksesibilitas Oleh Masyarakat dengan melibatkan prakarsa masyarakat untuk menyediakan aksesibilitas fisik dan non-fisik. Jika pendekatan ini diterapkan maka penyandang disabilitas akan dapat berpartisipasi secara penuh dalam kesejahteraan hidup.

Dalam konsep Disability Sosial Inklusi ada 4 pilar yang harus berperan secara harmonis, yaitu: pemerintah, professional dan NGO, Masyarakat, serta penyandang disabilitas dan keluarganya. Untuk menjelaskan pemahaman ini, ibu Pamikatsih menggunakan analogi kue bolu. Kue bolu terdiri dari beberapa bahan yang tidak boleh dilewatkan dalam proses pembuatannya karena jika tidak maka kue bolu bukanlah kue bolu. Maksud dari analogi ini adalah ketika bahan pembuat kue bolu masih terpisah maka akan terlihat tepung, telur, gula, dan mentega dan pada kondisi ini belum bisa dikatakan bahwa keempat bahan tersebut adalah kue bolu. Diperlukan proses pencampuran dan pemasakan sehingga akhirnya bisa dikatakan kue bolu. Demikian juga dalam mewujudkan sosial inklusi, jika masing-masing pilar masih menggunakan ego dan pemahaman  masing-masing maka sosial inklusi akan sulit terwujud. Oleh karena itu sinergi antar pilar-pilar tersebut menjadi kunci dalam Gerakan Disability Sosial Inklusi.

Perwujudan Inklusi Sosial tidak bisa dilakukan secara parsial sehingga dalam pembangunannya pun harus dilakukan analisis secara menyeluruh dengan melibatkan keempat pilar sehingga dapat tercipta lingkungan sosial yang positif,  pembangunan fisik dan penyusunan program yang terintegrasi dan berkualitas sehingga semua orang dapat berpartisipasi secara penuh. Inilah yang disebut Disability Sosial Inklusi Berbasis Kawasan. (Dorkas Febria Krisprianugraha)

 


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Merdeka berasal dari kata dalam bahasa Sanskerta  ‘mahardika’ yang berarti kaya, sejahtera dan kuat. Dalam Bahasa Indonesia atau Melayu bermakna bebas dari segala belenggu (kekangan), aturan, dan kekuasaan dari pihak tertentu.


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

oleh : Hisyam Ikhtiar Mulia*

Perhelatan Pemilihan Umum (Pemilu) kerap dianggap sebagai pesta demokrasi yang digelar tiap 5 tahun sekali di Indonesia untuk menentukan para pemimpin Negeri selama 5 tahun berikutnya. Namun, apakah demokrasi hanya sebatas pesta pemilihan eksekutif dan legislatif semata? Ini bisa menjadi kekeliruan berpikir kita selama ini. Sejarah mencatat bahwa ide demokrasi, yang disebut sebagai demokrasi radikal bahkan telah muncul sejak zaman Yunani kuno, tepatnya di Negara-Kota Athena (tahun 479-431 sebelum masehi).  Namun demikian, demokrasi modern yang kita kenal pada saat ini boleh jadi bersumber pada berhasilnya rakyat Eropa meruntuhkan monarki (sistem kerajaan/feodal) yang ditandai revolusi Prancis pada 1789.