Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Siti Aminah Tardi, komisioner di Komnas Perempuan mengatakan bahwa  di Komnas Perempuan, bentuk/ragam kekerasan berbasis gender dibagi  ada 4 :  Fisik, mental, seksual dan ekonomi. Sedangkan ranahnya meliputi ranah personal, publik dan negara.

Siti Aminah Tardi  masuk di tim 21 tahun Catahu menambahkan bahwa ini merupakaan kekayaan luar biasa untuk isu perempuan dan jadi modalitas siapa saja yang bekerja untuk isu perempuan. Ranah rumah tangga atau personal selama 21 tahun terdokumentasikan dan  didefinisikan sebagai  kekerasan yang terjadi dan pelaku memiliki relasi kekeluargaan, perkawinan, intim, atau pekerjaan dalam lingkup rumah tangga.

Kekerasan terhadap istri, kekerasan mantan suami, pacaran, mantan pacar, anak perempuan dan pada Pekerja Rumah Tangga (PRT). Menunjukkan tren naik : Kekerasan Dalam Pacaran (KDP)  dan kekerasan mantan pacar berelasi cyber.  Berbagai upaya hukum dilakukan sehingga perempuan bisa  bangkit terkait harta gono-gini, pengasuhan anak, pemalsuan dokumen dll.

Dalam 21 Tahun Catahu, bagi Siti Aminah Tardi, ketika membacanya seperti membaca sejarah gerakan perempuan. Untuk isu kekerasan di dalam rumah tangga, Catahu dimulai tahun  2001 dan Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) lahir 2004. Pada waktu itu analisanya menyatakan kekerasan di lingkungan bukan ranah kerjanya. Lalu Komnas bersama masyarakat sipil mendorong UU KDRT. Gerakan perempuan mendorong UU PKDRT. Dulu namanya RUU  Anti Kekerasan dalam Rumah Tangga lalu disahkan sebagai UU PKDRT. Undang-undang dinilai sebagai momen bersejarah. KDRT adalah  kejahatan lalu negara mengatasinya dengan upaya pencegahan dan perlindungan.

Kekerasan yang terjadi setelah diundangkan UU PKDRT, yakni kekerasan terhadap istri selalu menempati tertinggi lebih dari 70℅ lalu disusul Kekerasan Dalam Pacaran (KDP). Ketika bicara KDRT maka akan mengalami  penyempitan makna bahwa di dalam KDRT ada suami, padahal ada PRT dan orang orang yang hidup dalam lingkup di rumah tangga tersebut.

Di Komnas Perempuan sendiri perkembangan isu di ranah personal seperti  KDRT  ini berkembang ke isu femisida. Komnas Perempuan menemukan bahwa KDRT salah satunya menyebabkan kematian baik bagi perempuan maupun anak perempuan. Komnas Perempuan  menggalinya sebagai femisida atau pembunuhan terhadap perempuan karena puncak ketidakadilan gender yang dialami. Ini diperburuk dengan teknologi dan informasi. Kekerasan terhadap mantan istri juga kekerasan berbasis gender online.

Kendala utama dari pencatatan 22 tahun Catahu ini adalah di :1.  kategorisasi kekerasan di perempuan. Misalnya Komnas Perempuan  menggunakan berdasar deklarasi kekerasan terhadap perempuan PBB.  Kalau lembaga penegak hukum menggunakan UU PKDRT dan pengadilan agama. 2. Belum meratanya pemahaman pentingnya adanya dasar data nasional. 3. Di ranah personal misal isu kekerasan terhadap anak perempuan, inces kekerasan seksual anak, perkawinan anak, dispensasi nikah. Untuk kekerasan di ranah publik  awalnya yakni sebelum di tahun 2020 digunakanlah kekerasan di ramah komunitas/kelompok. Lalu Komunitaa perempuan di periode ini menilai penggunaan kata komunitas  membingungkan karena bisa saja orang beranggapan itu misalnya terjadi  komunitas difabilitas

Pemahaman yang disebut adalah perempuan sebagai anggota keperempuanannya.  Lalu Komnas menggunakan istilah kekerasan di ranah publik. Yakni kekerasan yang terjadi di ranah publik yang merujuk suatu tempat., yakni yang tidak memiliki relasi suami,ayah atau pacar.

Komnas Perempuan mencoba ajeg-kan (konsisten). Dalam Catahu 2022 mereka lalu menstrukturkan merujuk ke tempat yakni ruang publik : kekerasan yang terjadi di tempat kerja, pendidikan, fasilitas umum dan media. Peng-cluster-an  kasus buruh migran  di UU TPPO meliputi di luar dan dalam negeri. 

Kekerasan pekerja rumah tangga dikategorikan kekerasan di ranah kerja/publik. Kekerasan di wilayah  tempat tinggal. Catahu tidak menuliskanya secara merata. Tidak setiap tahun Catahu menuliskan kekerasan di tempat kerja.(Ast)

 

 



Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan dalam diskusi peluncuran 21 Tahun Catahu menyatakan bahwa  Catahu adalah kebutuhan bersama mencatatkan lintas sektor, dalam rangka pemenuhan dukungan infrastruktur bagi lembaga layanan dan dukungan pendanaan untuk pemutakhiran  alat-alat digitalisasi pendokumentasian, pelatihan, penempatan sumber daya manusia serta pengembangan keamanan digital.

Andy juga menegaskan salah satu refleksi pada 21 tahun Catahu ada beberapa butir. Dari informasi 21 tahun Catahu, salah satu fitur karakteristik adalah jumlah kasus  kekerasan perempuan dan berbasis gender selalu bertambah setiap tahun  dan ini perlu dimaknai secara positif. Artinya meningkatnya keberanian korban dan dukungan serta akses korban untuk melaporkan kasusnya, sehingga  kepercayaan bertambah bahwa akan ada tindak lanjut terkait laporannya , kehadiran lembaga layanan yang terjangkau dan kemudahan untuk melaporkan kasusnya.

Penting dicatat meski bertambah, lebih banyak korban yang belum mau atau belum berani melampirkan kasusnya. Andy berpesan bahwa  dalam  pengembangan indikator  hukum di indonesia, penurunan jumlah pelaporan kasus tidak boleh dijadikan target  pembangunan justru indikator pembangunan perlu bergerak untuk menunjukkan perkembangan keberhasilan penyikapan baik dalam aspek pencegahan maupun penanganannya, Dan semoga jadi untuk  dikembangkan dalam RPJP 2025-2045 serta dalam kebijakan  terkait lainnya.

Luviana, moderator diskusi yang juga disiarkan dalam YouTube Komnas Perempuan itu mengutip bahwa ada 1800 lembaga mendukung Catahu. Ini tentu bakal jadi rujukan bagi jurnalis dan para juru kampanye media sosial. Selain itu pada aspek korban,  merasa punya teman dengan adanya Catahu. Tujuannya bukan penurunan jumlah tapi penyikapan.

Alimatul Qibtiyah, Komisioner Kompas Perempuan mengatakan jika  urgensi 21 Catahu adalah : 1. Catahu  digagas dan dikerjakan oleh Komnas Perempuan sejak 2001 yang bekerja sama dengan para pihak yang berkecimpung dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan kepada perempuan

2. Memberi ruang kepada gerakan   perempuan untuk menemukenali ranah, bentuk dan jenis KBG untuk bertumbuh. Lebih dua dekade Catahu selalu menjadi rujukan para pihak baik peneliti, penyusun kegiatan, pembuat kebijakan. Kompilasi Catahu 21 tahun ini memuat berbagai ragam kekerasan, kecenderungan serta berbagai tantangan yang dihadapi  dalam penyelesainnya sehingga kajian ini bisa dijadikan referensi untuk penyusunan gerakan ke depan dalam upaya kondusif dalam menyelesaikan segala bentuk kekerasan pada perempuan  dan untuk memastikan dan mempromosikan hak-hak perempuan terpenuhi  dan terlindungi.

3.Metode dan sumber data, Catahu selalu menampilkan data kuantitatif dan kualitatif. Sumber data adalah Catahu selama 21 tahun. Memang belum memuat catahu 2022 karena waktu pengerjaan sebelum catahu 2022 dilaunching. Ada 3 lembaga tidak pernah absen sebagai pendukung data. Masing- masing catahu laporannya berdasar informatif, tantangan dan harapan, hambatan dinamika. Ada dua data : data umum dan data KBG. Data umum yakni data yang belum diverivikasi basis gendernya. Jadi tidak semua kekerasan yang dialami perempuan karena dia perempuan. Kekerasan yang dialami perempuan karena dia perempuan itulah yang dianalisis yang kemudian disebut sebagai  KBG terhadap perempuan. Data umum hampir 4 juta. KBG 2,7 juta terjadi selama 21 tahun. KBG ranah personal 2,5 juta, terbanyak  kekerasan terhadap istri. Kekerasan dalam pacaran tertinggi di tahun 2015.

Kekerasan seksual  paling dominan dan perkosaan paling banyak sejak tahun  2014. Kekerasan di ranah negara juga naik turun dan pada 2010 adalah  puncaknya. Ada persoalan pekerja migran, perempuan berhadapan dengan hukum, penggusuran. Karakteristik pattern tidak berubah. Korban lebih rendah pendidikan dan umur lebih muda dari pelaku. Selama 21 tahun, 5% pelaku adalah yang seharusnya menjadi pelindung. Di dua tahun terakhir angkanya mengembang menjadi  9%. (Ast)

 


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

Tiga dari sepuluh anak laki-laki, dan empat dari sepuluh anak perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Ini sangat menyedihkan dan penting untuk mengakhiri kekerasan ini. Hal yang kemudian menjadi urgensi bagi semua orang dan beberapa pihak terlebih Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Himpunan Psikolog Indonesia (HMPSI) Wahana Visi Indonesia (WVI).

Berlatarbelakang hal tersebut kemudian dibuatlah riset dan memunculkan dua modul dalam upaya pencegahan kekerasan seksual untuk anak berjudul "Anak Siap dan Tidak Takut", dan bagi orangtua "Menjadi Orang Tua Kekinian."

Dalam kegiatan peluncuran yang diselenggarakan secara daring pada Minggu ketiga bulan Mei 2023 ini terdapat beberarapa pertanyaan dari peserta di antaranya apakah jika seseorang melakukan tindak kekerasan seksual berarti menunjukkan minimnya pendidikan moral orang tersebut kepada masyarakat? Pertanyaan dijawab oleh Prof. Dr. Juneman Abraham, bahwa di dalam research ditemukan orang tua yang menempatkan nilai moral dan kesucian, sedangkan anak menempatkan nilai moral dan keadilan. Sehingga nilai moral seperti pedang bermata dua.

Hal positif dari nilai moral ini apabila terjadi kekerasan seksual pada korban, maka akan lebih cepat untuk meminta pertanggungjawaban kepada pelaku. Sedangkan untuk hal negatif dari nilai moral ini adalah akan membenarkan kekerasan seksual jika terjadi kepada korban yang dinilai secara sepihak dan subjektif memiliki tingkah laku buruk, seperti “ya memang pantas kalau dia menjadi korban kekerasan seksual, soalnya dia pernah berbuat jahat kok”. Penilaian ini menghadirkan judge atau penghakiman dan stigma.

Kemudian Prof. Dr. Juneman Abraham menjelaskan bahwa ada juga namanya nilai kesucian yang menguntungkan dan mendukung bahwa tidak melakukan hubungan seksual di luar pernikahan yang mampu mengancam reputasi. Namun nilai kesucian juga bisa punya risiko menyalahkan korban dan hal ini sangat merugikan bagi korban. Jadi menurutnya menjadi pelaku kekerasan seksual bisa terjadi bila mereka defisit tentang nilai moral, nilai kesucian, dan juga nilai keadilan.

Terjadinya kekerasan seksual pada anak salah satunya diakibatkan oleh lingkungan yang kurang kondusif, misalnya saja bahwa anak-anak tidak diajarkan untuk melindungi dirinya dari hal-hal yang bersifat pribadi seperti memperkenalkan alat kelamin mereka dengan nama yang sesuai, bahwa alat kelamin itu harusnya tidak boleh dipegang sembarang orang dan mereka harus melindungi itu.

Pembicaraan mengenai alat kelamin dinilai sebagai hal pribadi dan dianggap sebagai hal tabu sehingga tidak dibicarakan. Anak- anak merasa enggan untuk bercerita mengenai hal tersebut karena takut kepada orang tua. Hal-hal tersebutlah yang kadang membuat korban tidak berani speak-up mengenai peristiwa kekerasan seksual dan memendamnya sendiri misalnya itu terjadi pada korban kekerasan seksual. Ketika ia tidak berani speak up maka akan tertanam dalam ingatan hingga besar dan mempengaruhi psikologisnya.

Modul yang dikeluarkan oleh KEMENPPPA, HIMPSI, dan WVI bisa dimanfaatkan oleh banyak orang untuk mengedukasi semua kalangan masyarakat agar ke depan lebih terbuka lagi dalam pencegahan kekerasan seksual dengan penyadaran kepada mereka agar tidak ada lagi kekerasan seksual pada anak dan tercapainya zero tolerance atas segala bentuk kekerasan. (Renny Talitha Chandra/ast)


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

WALHI, BEM UBK, dan WALHI Jakarta, mengadakan kegiatan Talkshow pada hari Rabu, 31 Mei 2023 dalam Pekan Rakyat dan Perlindungan Lingkungan mengenai “Masa Depan Orang Muda : HAM, Demokrasi dan Lingkungan Hidup Saat Ini”. Kegiatan Talkshow diadakan di Universitas Bung Karno dengan moderator Sandi Saputra Pulungan selaku Tim Akademi Ekologi WALHI dan mengundang narasumber Suci Fitria Tanjung selaku Direktur Eksekutif Daerah WALHI, Betran Sulani selaku ketua BEM FH Universitas Bung Karno, Christina Rumahlatu selaku pegiat HAM, dan Adi Rohand Samsu selaku MARPALA Universitas Bung Karno.

Suci Fitria Tanjung memaparkan bahwa saat ini lingkungan yang ada di sekitar sangat memprihatinkan karena tidak adanya gerakan dari anak muda yang pasif dalam mengamati lingkungan yang seharusnya menjadi kewajiban mereka bagaimana semestinya alam yang ada saat ini untuk generasi bangsa berikutnya.

Menurut Suci semestinya anak muda bisa bergerak dan menyuarakan aspirasi serta mampu mengubah Indonesia menjadi lebih baik.

Dipaparkan juga oleh Betran Sulani bahwa saat ini demokrasi telah dibungkam dan masih banyak kasus pembungkaman pendapat dengan ancaman, seperti yang terjadi pada orang Timur yang tidak diberikan haknya, hal ini terkait tanah Maluku yang diabaikan oleh investor.

Dari pembicara Christina Rumahlatu ditegaskan adanya kebebasan pendapat yang dibungkam oleh pemerintah dengan menggunakan pelecehan seksual sebagai media untuk membungkam kebebasan berpendapat tersebut.

Sedangkan Adi Rohand Samsun sebagai pecinta alam merasa bahwa dalam melakukan kegiatan yang berkaitan dengan alam pastinya memiliki kode etik agar pendaki tidak merusak alam, namun pemerintah hadir untuk mengeksploitasinya bukan menjaga dan melindungi keasriannya. Hal ini sangat memprihatinkan mengingat indonesia merupakan “paru-paru dunia” yang memiliki dampak besar terhadap keadaan dunia yang bahkan saat ini sangat tidak baik-baik saja. (Renny Talitha Chandra/ast))


Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang

“Hubungan Komnas HAM dengan organisasi masyarakat sipil merupakan salah satu
faktor yang menentukan sejauh mana masyarakat di seluruh Indonesia dapat menaruh kepercayaan dan dapat menjangkau Komnas HAM,” jelas Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro pada Peringatan 30 Tahun Komnas HAM, Rabu (7/6/2023)

Kepercayaan besar dari publik menjadi motivasi bagi Komnas HAM untuk terus menjajaki upaya memperkuat mekanisme yudisial bagi kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat. Terdapat 17 kasus telah diselidiki Komnas HAM dan disimpulkan sebagai pelanggaran HAM yang berat, namun hanya 4 kasus disidangkan oleh Pengadilan HAM.

Komnas HAM juga mendorong adanya pengakuan bagi keberadaan korban pelanggaran HAM yang berat, dan mendorong upaya-upaya pemulihan, dengan mengeluarkan Surat Keterangan Korban Pelanggaran HAM yang Berat (SKKP HAM).

“Komnas HAM memberi harapan yang sama bagi pada pencari keadilan yang tak mendapat perhatian serius dari negara. Perjalanan 30 tahun Komnas HAM diisi banyak inovasi terutama dari Bidang Pengaduan,” jelas Anis Hidayah, Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Anis Hidayah.

Peran Komnas HAM dalam upaya pemajuan HAM turut disebutkan, seperti kajian dan penelitian HAM terkait program percepatan pembangunan infrastruktur, pendekatan
HAM soal Ibu Kota Negara (IKN) serta kajian UU Cipta Kerja.

“Keberadaan Komnas HAM mudah-mudahan dapat mewujudkan pusat pendidikan dan pelatihan HAM. Semoga Komnas HAM berperan sebagai rumah pencari keadilan agar segera menemukan keadilan di sini. Mudah-mudahan semuanya bisa memaknai dan memperkokoh keberadaan Komnas HAM kedepan," papar Anis.

Secara khusus, Dirjen HAM Kementerian Hukum dan HAM RI Dhahana Putra serta tokoh HAM internasional (Anggota Komnas HAM 1993-1997) Marzuki Darusman memberikan pidato kunci. Keduanya mengapresiasi peran Komnas HAM dalam menjalankan tugas dan fungsinya untuk memberikan pelindungan dan pemenuhan hak asasi manusia di Indonesia.

Akumulasi perjuangan Komnas HAM tidak lepas dari perjuangan masyarakat sipil hingga hari ini. Karena itu, penting sekali Komnas HAM memprakarsai dan mendorong pembentukan masyarakat sipil yang sehat di Indonesia.

"Kita tidak perlu mempertentangkan hak dan kewajiban, tetapi hari ini, 30 tahun kita merayakan kelahiran Komnas HAM yang menunjukkan bahwa tradisi baru telah tertanam pada masyarakat Indonesia,” jelas Marzuki.

Rangkaian kegiatan Peringatan 30 Tahun Komnas HAM dilakukan secara reflektif dan evaluatif melalui diskusi publik dan kampanye hak asasi manusia. Hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelebihan yang dimiliki, pembelajaran dan praktik terbaik maupun capaian dan dampak yang telah dihasilkan oleh Komnas HAM selama ini.

Rangkaian kegiatan tersebut terdiri dari: Diskusi publik “Dampak Inkuiri Nasional Komnas HAM Terhadap Masyarakat Adat” dan “Refleksi 30 Tahun Pelayanan
Pengaduan Komnas HAM” berlangsung pada 5 Juni 2023. Kegiatan tersebut dirangkaikan dengan peluncuran Klinik HAM, Penandatanganan Kesepahaman Bersama Arsip Nasional RI, pencanangan Gerakan Nasional Sadar Tertib Arsip, dan Live Podcast “30 Tahun Komnas HAM: Menuju Keberadaban dan
Keadilan Sosial”.

Kampanye HAM pun dilakukan melalui Jalan Santai 30 Tahun Komnas HAM serta Peluncuran Pemilu Ramah HAM di kawasan Bundaran HI (11 Juni). Ditutup dengan Diskusi Pelanggaran HAM yang Berat (15 Juni).

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) didirikan pada 7 Juni 1993 melalui Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993. Fungsi dan kewenangan Komnas HAM tertuang dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis .

Dalam rentang waktu tahun 1994-2022, Komnas HAM telah menerima pengaduan dari masyarakat sebanyak 119.874 aduan. Secara umum, pihak yang paling banyak
diadukan adalah kepolisian, korporasi, dan pemerintah daerah. Wilayah dengan aduan terbanyak adalah DKI Jakarta, Sumatera Utara, Jawa Timur, dan Jawa Barat.

Sedangkan pelanggaran hak yang paling banyak diadukan adalah hak atas kesejahteraan, hak untuk memperoleh keadilan, dan hak atas rasa aman.