Angka Kekerasan pada Anak di Jateng Tertinggi Nomor Dua di Indonesia

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Angka kekerasan pada anak di Jawa Tengah tahun 2022 adalah 1.224 kasus, dan ini terbesar kedua secara nasional. Setengah dari kasus yang dilaporkan tersebut adalah kasus kekerasan seksual kemudian kekerasan psikis, fisik, trafficking, penelantaran, eksploitasi dan lain-lain. Demikian dikatakan oleh Isti Ilma Patriani, analis kebijakan dan ahli muda perlindungan anak pada webinar menciptakan ruang digital aman bagi anak, Rabu (22/2).

Isti Ilma menyampaikan bahwa beberapa waktu lalu Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak Keluarga Berencana (DP3AKB) Jawa Tengah juga meluncurkan program "Jogo Konco" khusus anak-anak dan bisa diakses secara positif oleh siapa saja yang disitu ada aplikasi website meliputi empat aspek : kesehatan, pendidikan, budaya dan perlindungan anak. Web tidak hanya tentang pendidikan tetapi juga memberi masukan dan anak-anak bisa mengulik pendidikan disana. Anak bisa curhat karena admin yang juga anak-anak, orangtua pun juga bisa masuk. Ternyata dengan gawai banyak manfaat. Namun dampak negatifnya juga penting untuk diantisipasi seperti kurangnya komunikasi antar keluarga, anak kecanduan game dan masalah piskologis anak, rentan mengalami perundungan, dan rentan mengalami kekerasan dan eksploitasi.

Terkait kekerasan terhadap anak difabel, saat ini ada pendataan keluarga yang mengalami disabilitas melalui intervensi dengan memperkuat pengasuhan anak karena ada yang kurang memahami anak berkebutuhan khusus misalnya teknik berkomunikasi. Ilma menambahkan perlu untuk membuat sistem supaya kelompok  rentan ini bisa mengakses karena anak difabel  sangat berisiko mendapat kekerasan.

Wiwin Tjora dari Sulawesi Tengah, aktivis Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (RBM) dalam webinar bertanya terkait  kesulitan dalam pendampingan anak berkebutuhan khusus dan pihaknya  belum belajar bahasa isyarat sehingga saat pendampingan korban harus menyertakan guru SLB padahal guru tersebut sedang mengajar.

Ilma menyarankan agar pihaknya menggandeng guru SLB juga pendamping korban yang dilatih dengan bahasa isyarat. Langkah selanjutnya adalah menghubungi dinas pemberdayaan dan perlindungan anak setempat dan menggandeng mitra atau komunitas/organisasi difabel yang ada. (Ast)