Butuh Perubahan Perspektif Aparat Penegak Hukum untuk Implementasikan Akomodasi yang Layak Bagi Penyandang Disabilitas

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Perempuan dan anak penyandang disabilitas yang menjadi korban kekerasan seksual mengalami trauma sehingga memerlukan penilaian personal (asesmen personal). Mereka mengalami hambatan baik pada sarana dan prasarana serta hukum acara. Bahkan ada marjinalisasi, sub ordinasi, stigma serta dianggap aib. Beberapa problema saat mengakses peradilan pada perempuan dan anak disabilitas adalah ketiadaan teks, di sinilah kemudian penilaian personal dilalukan. Lalu bagaimana sistem rujukan bagi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum?

Siti Kasiyati , S.Ag.,M.Ag, Ketua Majelis Hukum dan HAM (MHH) Aisyiyah dalam FGD seri ketiga yang diselenggarakan oleh MHH Aisyiyah dan Sigab bertema Sistem Rujukan Penyandang Disabilitas yang Berdapan dengan Hukum, pada Kamis (16/6) menambahkan lagi beberapa problema yang menghambat disabilitas ketika berhadapan dengan hukum. Beberapa problema tersebut yakni tidak adanya bantuan hukum, serta ketika menjadi saksi, terhadang tentang peraturan bahwa “seorang saksi adalah orang yang bisa memberikan keterangan.” Hal ini merespon salah seorang peserta diskusi disabilitas netra dari Pertuni yang mempertanyakan bagaimana jika ia merespon suatu peristiwa dan hanya bisa menangkapnya melalui pendengaran. Belum lagi celah hukum di Undang-Undang Perkawinan yang membolehkan adanya perceraian ketika salah satu dianggap disabilitas.

Problem penegakan hukum juga karena hukum Indonesia positif. Dari hukum sistemik ke non sistemik, dan jika di UMS ada hukum profetik.Keadilan profetik dalam pandangan Islam menunjukkan betapa penting keadilan termasuk pada penyandang disabilitas. Dalam UNCRPD penyandang disabilitas setara dalam kedudukan hukum.

Menurut Siti Kasiyati, kira-kira strategi apa yang perlu dilakukan? Ia menyebut perlu hukum yang komprehensif, celah hukum perubahan dengan peraturan baru dan putusan MK tentang saksi, membangun sinergitas acces to justice, pelibatan Kemenkumham, Biro Hukum Provinsi, petugas hukum khusus yang dilatih dan MoU yang ditindaklanjuti. “Sebab value di masyarakat dituntut berbuat adil dan kita ada kesamaan di hadapan Tuhan,” tutur Siti Kasiyati.

Dorkas Febria dari Yayasan YAPHI dalam FGD menyatakan bahwa YAPHI telah menginisiasi Jaringan Visi Solo Inklusi yang mengaudiokan dan mengalihwahana Perda nomor 9 tahun 2020 menjadi perda yang visual dalam bentuk video sehingga akses bagi Tuli. Terkait dengan hal tersebut ia mempertanyakan bagaimana teman netra maupun Tuli memahami sistem rujukan jika peraturannya saja dibuat secara tertulis. (Astuti P)