Membaca Kota, Mengarsir Layanan Publik yang Akses Bagi Difabel

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Pagi itu, Sobirin, Joko, dan Ira beserta delapan belas disabilitas netra lainnya duduk melingkar tepat di sebelah utara Bendungan Tirtonadi, tepatnya dekat dengan genset. Mereka baru saja menyeberang bendung dengan melangkahkan kaki ke jembatan dan disertai oleh relawan. Dengan kondisi untuk menjaga ketahanan dan keselamatan jembatan serta mengurangi risiko kerusakan, maka para peserta diminta secara bergiliran saat menyeberang. Sehingga semua tidak tertumpu di jembatan. Para teman netra tidak membawa tongkat putih saat itu. Mereka memperkirakan jarak dengan bentangan tangan, sedangkan lantai jembatan berupa besi bermotif dan berlubang-lubang bisa disentuh dengan jari untuk melihat teksturnya.

Selepas menyeberang jembatan secara bolak-balik, mereka kemudian berkumpul dengan membentuk formasi lingkaran. Pada saat itulah ada beberapa penjelasan dari yang berkepentingan untuk menceritakan tentang sejarah Bendung Tirtonadi, kapan dibangun dan kapan pula infrastruktur yang menyertainya juga didirikan. Selain petugas dari PUPR, juga ada dari Proyek Bengawan Solo (BBWS) turut serta mendampingi dan memberi penjelasan.

Salah seorang relawan yang berasal dari Soeracarta Heritage, Surya Hardjono memiliki inisiatif membuat maket atau replika denah Bendung Tirtonadi secara sederhana. Maket tersebut dibuat dari kardus berupa tiga dimensi untuk menjelaskan mana batas sungai, mana jembatan dan tempat mesin tuas untuk menggerakkan penyaring sampah pada bendung. Dengan sabar, Surya menjelaskan kepada satu atau dua orang teman netra, seraya menyilakan mereka untuk menyentuh dan meraba dengan dioandu. Sehingga teman netra tidak hanya berimajinasi, tetapi bisa memahami denah Bendung Tirtonadi dan sekitarnya. Surya menjelaskan dan mengarahkan bagaimana mereka sebelumnya telah melakukan perjalanan menyeberangi bendungan lewat jembatan. Bahwa sungai yang membentang di depan mereka adalah Kali Pepe yang hulunya terletak di Kabupaten Boyolali. Setelah di bendungan, Kali Pepe kemudian mencabang di dua arah yakni sungai yang menuju arah Kota Surakarta dan sungai yang kemudian memiliki hilir di Demangan Sangkrah.

Seakan tidak ada rasa lelah, Surya dengan telaten menerangkan hingga tuntas semua teman netra bisa mengakses penjelasan darinya. Satu-persatu teman netra ia hampiri dan jelaskan sampai mereka paham betul tentang denah dan lokasi Bendung Tirtonadi. Dengan bahasa yang sederhana yang bisa dipahami oleh mereka, terkadang ada satu dua pertanyaan terlontar kepada Surya. Dengan sabar ia menjelaskan hingga teman netra paham.  

Setelah mendapat penjelasan, mereka berjalan menelusuri pedestrian Bendung Tirtonadi. Ada beberapa yang melewati taman. Beberapa orang menyusuri batas jalan, antara pedestrian dan jalan raya. Ada beberapa bagian terdapat guiding block namun banyak yang bolong alias tidak ada guiding block-nya. Menjelang menyeberang ke arah terminal, sudah ada beberapa petugas dari dinas PUPR yang menjemput. Mereka telah bersiap akan menyeberangkan. Tak hanya petugas laki-laki ada juga petugas perempuan. Setelah semua berkumpul di seberang jalan atau tepatnya di utara jalan terminal, akhirnya para petualang pembaca akses kota ini menyeberang dengan dibantu oleh petugas dari Dinas PUPR sebab di situ tidak ada rambu traffict light. Secara bergantian mereka menyeberang jalan. Setelah berjalan sekira 20-30 meter sampailah di pintu utama Terminal Tirtonadi.

Jamaludin, petugas dari PUPR menjelasakan hal-ihwal aksesibilitas di dalam terminal Tirtonadi, bahwa calon penumpang, baik disabilitas atau umum, setelah masuk pintu masuk utama, di sebelah kanan ada ruang informasi dengan petugas yang sudah siap memberikan informasi yang dibutuhkan. Meski dengan tinggi meja yang normatif, sehingga tidak akses bagi orang dengan tubuh kecil (little people). Menurut Jamaludin, para petugas di ruang informasi akan melayani difabel jika diperlukan. Selain akses ruang informasi, di dalam gedung terminal sendiri sudah ada guiding block yang menjelujur dari pintu masuk hingga ke arah lainnya seperti musala dan toilet serta arah ke sky bridge.

Setelah sekira 15 menit para disabilitas netra pelancong yang mengakses layanan publik ini mendengarkan penjelasan dari Jamaludin, mereka lalu beranjak menaiki tangga menuju sky bridge, yang menghubungkan antara Terminal Tirtonadi dan Stasiun Balapan. Selain tangga, disediakan pula bidang miring/plengsengan bagi pengguna kursi roda yang terletak tidak jauh dari tangga. Sky bridge ini memangkas jarak yang sedianya 1,5 km menjadi 630 meter saja. Setelah menelusuri sky bridge, sampailah mereka di pintu masuk akses tiketing kereta bandara. Beberapa difabel netra mencoba pula aksesibilitas eskalator yang ada di sana dan hampir semua bisa melakukan dengan didampingi relawan. Ada beberapa tips saat disabilitas mengakses eskalator, menurut salah seorang peserta, Bayu Sadewa, kuncinya adalah mereka harus berada di satu sisi/pinggir dengan tangan berpegang, sebab untuk mencapai keseimbangan badan. Selain itu juga ketika sampai di pengujung eskalator harus ada yang memandu sehingga bisa diarahkan.

Kereta bandara yang menuju Bandara Adi Sumarmo yang berwarna merah ternyata sudah akses bagi difabel, selain peron yang sudah nyaris sejajar dengan lantai kereta, juga dilengkapi dengan sarana informasi berupa teks berjalan dan suara sebagai penanda kereta sampai di mana. Setelah menempuh perjalanan beberapa puluh menit, sampailah mereka di bandara.

Untuk tempat beristirahat dan menjalankan ibadah salat bagi peserta beragama Islam, panitia memilih masjid bandara sebelum perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki menelusuri kawasan depan bandara,tempat boarding, setelah pintu masuk  melihat patung Adi Sumarmo dan dua kereta kencana berkuda sebagai pajangan. Beberapa relawan menjelaskan dan mempersilakan para difabel netra untuk menyentuh benda-benda tersebut.

Perjalanan siang itu diakhiri dengan mengakses Batik Solo Trans (BST) lewat Teman Bus untuk perjalanan pulang ke rumah masing-masing. Teman Bus saat ini masih memberikan layanan gratis bagi pengguna BST dengan layanan prima dan berkualitas, ditunjukkan dengan akses teks berjalan di setiap halte yang dilengkapi dengan suara. Hanya saja, bagi disabilitas netra perlu berhati-hati secara ekstra karena pintu keluar BST melalui tangga berundak. Hal demikian pasti tidak akses pula bagi disabilitas pengguna kursi roda juga.

Difalitera, penyelenggara acara “Membaca Kota” pernah berjejaring dengan Jaringan Visi Solo Inklusi dengan menjadi relawan pengaudioan Perda Kota Surakarta nomor 9 tahun 2020 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas. Jaringan yang diinisiasi oleh Yayasan YAPHI sebagai organisasi masyarakat sipil ini juga menggandeng organisasi penyandang disabilitas serta komunitas-komunitas difabel di Kota Surakarta dengan kerja-kerja inklusif disabilitas. (Astuti P)