Pentingnya Advokasi Digital dalam Kampanye Seruan Hak Asasi Manusia

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Pada era digitalisasi sekarang ini, penting untuk melakukan advokasi berbasis digital. Advokasi di era digital adalah upaya yang terorganiisir untuk memengaruhi persepsi publik dan/atau sebagai alat advokasi dan transformasi perubahan sosial. Advokasi digital juga erat dengan tindakan kreatif dan inovatif untuk menunjukkan kepada khalayak dan yang terpenting sekalipun digital tetapi harus ada aksi riilnya. Demikian dikatakan oleh Yosi Krisharyawan, staf advokasi Yayasan YAPHI pada diskusi internal dengan tema advokasi digital pada Jumat (18/3) di Ruang Anawim Yayasan YAPHI.

Yosi menambahkan jika ia ingin ada terobosan dalam program kampanye dan advokasi melalui advokasi digital dengan cara meng-upgrade sebab sebenarnya YAPHI sudah memiliki pondasi yang kuat dalam kampanye dan advokasi di media, termasuk media sosial. Saat ini Yayasan YAPHI telah memiliki website dan akun media sosial Instagram dengan nama web suarakeadilan.org dan akun di IG @redaksisuarakeadilan.

Unsur-unsur advokasi digital : rencana dan desain, tujuan dan strategi, metode/cara, program, output, rencana selanjutnya, kolaborasi, monitoring dan evaluasi, follow up, dan target/sasaran. Selain unsur, perlu diperhatikan pula step-step atau langkah-langkah advokasi digital dengan menentukan tujuan, merencanakan dan menentukan siapa target audiens, memilih channel atau kanal/media sosialnya, menciptakan konten yang menarik dan catchy (perhatikan keyword-tagar) dan membuat aturan serta indikator dan yang terakhir adalah lakukan terus-menerus.

Sedangkan kekuatan pada advokasi digital  mudah diakses, mendukung membela dan mengadvokasi HAM, penguatan demokrasi dan civil society, transformasi sosial, keberagaman identitas lebih terakomodir, suara minoritas dan marjinal, alat kritik, meng-counter hate speech, menambah semangat volunterisme, menguatkan solidaritas, empati, simpati dan mobilisasi “massa”, menguatkan jaringan berbagai elemen, NGO, media massa, akademisi dan individu. Kelemahannya adalah sifatnya yang  “virtual” hingga perlu dipertanyakan sejauh mana menjadi gerakan riil?, sejauh mana “menggetarkan”  dan memengaruhi kekuasaan?, kontrol dan informasi, instan, individual, symbolic, less political, tren, menjadi alat kontrol baru bagi kekuasaan (surveilance), tidak ada jaminan kebebasan berekspresi (UU ITE).

Lebih lanjut Yosi memberi contoh bagaimana advokasi digital dilakukan dengan membuat video partisipatoris dan tulisan.Konsep video partisipatoris sebagai media advokasi bersifat partisipatoris yang artinya, lembaga pendamping hanya sebagai fasilitator saja sedangkan masyarakat dampingan sebagai pelaksana meski semuanya harus terintegrasi dan terkoordinasi. Sedangkan advokasi melalui tulisan/artikel tetap harus memenuhi unsur : 5W + 1 H. (Ast)