Eksploitasi Seksual Anak di Ranah Daring

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

ECPAT adalah sebuah jaringan nasional untuk penghapusan eksploitasi seksual anak. Mereka berafiliasi dengan ECPAT internasional dan ECPAT-ECPAT lain di seluruh dunia yang berjumlah 92 negara.

Eksploitasi Seksual Anak (ESA) online adalah segala bentuk tindakan/perlakuan terhadap anak yang bertujuan untuk melakukan eksploitasi seksual dan dilakukan dengan menggunakan atau memanfaatkan  internet. (Terminology Guidelines for The Protection of Children form Sexual Exploitation and Sexual Abuse 2016). Sedang bentuk-bentuk eksploitasi anak adalah : Materi yang menampilkan kekerasan seksual/eksploitasi seksual terhadap anak, Pengertian Bujuk rayu (grooming) untuk tujuan seksual online, Sexting (chat/obrolan untuk pemuasan seks kepada anak), Sextortion (pemerasan seksual), siaran langsung kekerasan seksual kepada anak.

Materi yang menampilkan kekerasan/eksploitasi seksual pada anak (pornografi anak) adalah materi-materi yang menggambarkan aksi kekerasan seksual dan/atau yang fokus pada kelamin anak. Korban bisa anak laki-laki/perempuan dari semua umur bahkan dari usia balita. Materi ini memiliki tingkat keparahan kekerasan dan tindakan yang berbeda-beda, mulai dari anak-anak yang berpose secara seksual sampai dengan kekerasan yang berat.

Grooming online untuk tujuan seksual adalah sebuah proses untuk menjalin atau membangun sebuah hubungan dengan seorang anak melalui penggunaan internet atau teknologi digital lain untuk memfasilitasi kontak seksual daring atau luring dengan anak tersebut.Tindakan grooming tidak terbatas pada tindakan pertemuan fisik secara pribadi, melainkan juga berlaku pada tindakan-tindakan yang dilakukan secara daring.

Tahapan Grooming Online untuk tujuan seksual dengan mencari anak yang rentan dan mengumpulkan informasi. Predator akan mencari anak-anak yang dianggap yang rentan untuk dibujuk rayu. Dikumpulkan juga jejak digitalnya. Predator juga akan mencoba meyakinkan bahwa dia teman yang baik, teman curhat yang nyaman yang memberikan apa yang diinginkan oleh yang curhat.

Membuat konten seksual sendiri (’Sexting’) didefinisikan sebagai ‘pembuatan gambar seksual sendiri’, atau ‘penciptaan, pembagian, dan penerusan gambar telanjang atau nyaris telanjang yang menggoda secara seksual melalui telepon genggam dan/atau internet. ‘Sexting’ sering terjadi di kalangan orang muda, tanpa disadari hal ini dapat menimbulkan permasalahan yang merugikan dirinya.

Sedangkan pemerasan seksual disebut juga sextortion adalah pemerasan terhadap anak dengan bantuan gambar anak tersebut (yang dibuat sendiri) untuk mendapatkan imbalan seks, uang atau keuntungan lain dari orang tersebut di bawah ancaman akan disebarkan tanpa persetujuan dari anak tersebut.

Melakukan siaran langsung di internet adalah siaran langsung kekerasan seksual terhadap anak merupakan paksaan terhadap seorang anak untuk orang lain yang jaraknya jauh. Seringkali, orang yang menonton dari jauh tersebut adalah orang-orang yang telah meminta dan/atau memesan kekerasan terhadap anak tersebut, yang mendikte bagaimana bisa terjadi.

Dalam diskusi internal yang dihelat oleh Yayasan YAPHI pada Rabu (16/3), Dorkas Febria, staf advokasi Yayasan YAPHI menjadi pemantik sekaligus fasilitator diskusi dengan memaparkan modul E-Learning ECPAT Indonesia. Dari modul pengalaman berinternet di masa pandemi, dari 1.203 terdapat 287 pengalaman buruk yang dialami oleh responden saat berinteraksi selama pandemi, yaitu 112 orang dikirimi teks/pesan yang tidak sopan/senonoh, 66 orang dikirim gambar/video yang membuat tidak nyaman, 27 orang dikirimi gambar/video yang menampilkan pornografi. 24 orang diajak untuk live streaming untuk membicarakan hal yang tidak senonoh/sopan, 3. diunggahnya hal-hal buruk tentang responden tanpa sepengetahuannya, 16 orang dikirimi tautan yang ternyata berisi konten seksual/pornografi.

Bersumber pada media monitoring ECPAT Indonesia pada September 2016-September 2017, gambaran kasus eksploitasi seksual anak daring. Dari 504 korban ESA pada September 2016 – September 2017, sekitar 78% terjadi dari aktivitas online : 504 korban ESA, 206 korban prostitusi anak, 184 korban yang menampilkan ekploitasi kekerasan kepada anak, prostitusi anak 8%, perdagangan anak untuk seksual 14%, materi yang menampilkan eksploitasi/kekerasan anak 37%, prostitusi anak daring (41%).

Data pemantauan media 2018 ECPAT Indonesia : 379 anak menjadi korban, 150 kasus eksploitasi anak seksual anak. Sedangkan pada korban anak ditemukan : 21% korban pornografi anak (82 anak), 17,7% online&offline prostitution victim (67 children), 0, 79% korban grooming online (3 anak).

Permasalahan global dan trend usia korban, perkiraan usia korban berdasarkan jumlah gambar yang ditemukan. Sebagian besar (48%) gambar menunjukkan usia korban 11-13 tahun. 1% (1.609) korban berusia 0-2 tahun.

Lalu siapakah pelaku ESA online? Ada dua macam yakni pelaku preferensial yakni orang dengan perilaku memiliki ketertarikan seksual anak kepada anak, tidak tertarik/memiliki hasrat seksual dengan orang dewasa. Lainnya adalah pelaku situasional adalah orang yang melakukan eksploitasi seksual anak karena adanya situasi atau peluang yang mendukung orang tersebut melakukan kejahatan, meskipun orang ini tidak memiliki ketertarikan khusus kepada anak dengan adanya penawaran, adanya peluang mendapat keuntungan (uang), terbukanya akses internet setiap orang dapat dengan mudah mendapatkan dan mengakses materi kekerasan seksual.

Untuk mencegah agar kita tidak salah memilih teman di media sosial, ada beberapa hal yang perlu mendapat pendapat perhatian antara lain : melihat mutual friend, melihat aktivitas di profilnya apakah ada orang yang menyukai atau berkomentar di statusnya, mencari tahu tentang orang tersebut di platform media sosial lainnya dan melihat aktivitasnya di profil tersebut, jangan ragu untuk menolak pertemanan (unfriend/unfollow/ignore) apabila profil tersebut mencurigakan. (Ast)