Perempuan dan Kedaulatan Pangan yang Terjamin

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Bahrul Fuad, biasa dipanggil Cak Fu, Komisioner di Komnas Perempuan menyatakan  bahwa perempuan selalu menjadi korban tatkala ada konflik perebutan Sumber Daya Alam (SDA) dan konflik lahan. Padahal perempuanlah yang memikirkan terkait keberlanjutan ketahanan pangan. Mereka selalu mengecek, padinya masih apa tidak, jagung atau ubinya masih apa tidak. “ Perempuan selalu mengamati kebunnya. Laki-laki jarang memikirkan sustainabilty, seperti bagaimana keberlangsungan anak mereka, cucu mereka,” terang Bahrul Fuad dalam webinar peringatan hari perempuan internasional yang dihelat oleh The Asia Foundation, Senin (14/3).

Konflik perebutan SDA dan konflik lahan yang terjadi selama ini pendekatannya adalah ketimpangan dan eksploitasi yang tidak memikirkan sustanability, maka  menurut Bahrul Fuad yang perlu dilakukan adalah transformasi budaya atas SDA. Artinya relasi manusia dengan alam bukan sesuatu yang terpisah, itu yang selama ini dipahami sebagai ekofeminisme. Satu hal yang saling bergantung dan tidak bisa dipisahkan dan dalam teori pembangunan selama ini, alam dan manusia selalu dipisah.

Penanggap lain dalam acara webinar, Rizkina Aliya tenaga ahli dari Kantor Staf Presiden (KSP) menceritakan latar belakang pendidikannya tentang  studi feminisme, yang berangkat dari perempuan dan gender, sebagai pengetahuan perempuan.  Ia kembali mengangkat cerita-cerita yang disampaikan oleh narasumber yang berbicara sebelumnya, seperti Yustina dan Ngatinah dan menyimpulkan bahwa perempuan adalah juru damai, ujung tombak penjaga SDA serta sebagai pengelola SDA berkelanjutan, Menurutnya, lalu pemerintah masuk di mana? Ia menjawab bahwa PR pemerintah masih banyak. Baseline data, seberapa jauh  perempuan terlibat program reformasi agraria.

“Kita butuh data terpilah terkait reforma agraria, juga data kepemilikan sertifikat perempuan, di tahun 2017, oh ini balance, fifty-fifty, apakah itu menggambarkan harus ada data kualitatif dan harus berbunyi ada kehadiran perempuan di konflik agraria. Mereka selalu tampak  karena perempuan selalu di behind the scince, padahal perempuan negosiator utama dan pelaku utama, ini juga kelihatan dalam data perhutanan sosial.”terang Rizkina.

Rizkina menambahkan di setiap kementerian ada anggaran berperspektif gender, secara khusus juga kementerian yang mengelola agraria misalnya di tahun 2020 di Kementeraian ESDM yang paling besar 20%, di Kementerian LHK 20%  dan ATR  BPN 15%. Menurutnya, ini masuk intervensi di struktural. Sedang cerita-cerita narasumber Yustina dan Ngatinah harapannya supaya jadi kontribusi nyata di struktural.

Mia Siscawati, dosen program studi kajian gender, program pascasarjana Universitas Indonesia menyatakan bahwa KLHK  mendorong keterlibatan perempuan. Namun menurutnya  kadang komunitas sendiri dan pendampingnya sering melupakan perempuan. Padahal dukungannya tidak hanya dari negara, tetap keluarga dan komunitas, termasuk LSM. Mia menambahkan ada ruang-ruang yang bisa dibangun oleh perempuan dan masih banyak “PR” yang menunggu bagaimana supaya terus membangun sistem pengelolaan alam yang berkelanjutan yang tidak terpenjara dalam pasal (penjara baru), misalnya komoditi kopi. Sementara perempuan ingin kedaulatan pangan keluarga terjamin, supaya tidak ada lagi perempuan yang mengalami anemia, alami kesulitan melahirkan juga upaya pendidikan bagi anaknya. “Kita semua turut mendorong advokasi, kajian kritis agar ada transformasi pola pikir pemerintah, karena ada warisan sistem politik dan budaya bahwa pemerintah penguasa tanah, dan menempatkan perempuan sebagai objek bukan subjek,” pungkas Mia. (Ast)