Yustina dan Ngatinah, Dua Perempuan Inspiratif di Isu Agraria

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Yustina Ogeney dari Teluk Bintuni Papua Barat adalah perempuan adat yang menginspirasi. Ia seorang kepala distrik di wilayahnya dan baru kali ini distrik di wilayah itu dikepalai oleh seorang perempuan. Di webinar peringatan Hari Perempuan Internasional yang dihelat oleh The Asia Foundation, Senin (14/3)  Yustina dihadirkan sebagai narasumber. Menceritakan pengalamannya, semula Yustina diragukan bisa menjadi kepala distrik yang dipilih bupati.

Yustina  diberi waktu tiga bulan oleh bupati untuk mempelajari kebutuhan yang sangat urgen di wilayah kerjanya. Menurutnya saat itu yang paling utama : pembangunan jalan, jembatan, dan bandar udara lalu diikuti oleh program lain. “Kami berada di wilayah-wilayah terisolasi,”tuturnya. Pernyataan Yustina dipertegas kembali oleh Prita Laura, moderator webinar bahwa sudah ada program afirmasi yang diberikan oleh bupati dan dari pihak Yustina sendiri harus membuktikan kualitas dirinya.

Di lokasi Yustina saat ini  ada Hak Pengusahaan Hutan (HPH) sawit dan kayu. Menurut data banyak perempuan yang bekerja di perkebunan sawit. Namun di dalam musyawarah-musyawarah mereka tidak pernah dilibatkan. Lalu Yustina pun mengajak perempuan-perempuan itu musyawarah. Menurutnya merupakan proses panjang karena ia harus membangun mental agar mereka mau berbicara. “Supaya kami dapat pengakuan dari negara agar kami bisa mengakses kekayaan alam yang ada di kami,” lugas Yustina.

Ia menambahkan bahwa konflik yang ada di antara perempuan dan laki-laki pekerja di perusahaan sawit adalah terkait pembayaran upah. Karena laki-laki lebih banyak mengatur dan pembayaran/upah perusahaan untuk laki-laki berbeda dengan perempuan. Konflik yang terjadi di sana terkait perusahaan yang melibatkan masyarakat marga, adalah mereka menolak, karena hutan adat ada izin HPH.

Yustina menyatakan bahwa ada dukungan dari bupati dalam  bentuk kiriman surat agar ada penyertaan perempuan yang partisipatif dalam musyawarah.  Dukungan dari bupati kemudian diiyakan oleh para laki-laki dari komunitas marga yang bilang bahwa itu penting. “Sumpah adat dilakukan ada klaim sepihak ini saya punya hutan adat, saya punya ini, meluruskan semua, dari leluhur satu persatu. Terakhir satu kata bahwa kita berdamai,”terang Yustina.

Ketika ditanya, apa yang membuat berbeda  ketika perempuan mendorong proses pengalaman-pengalaman di atas? Yustina menjawab bahwa yang dilakukannya adalah pendekatan seorang ibu. Yustina tidak meyakinkan orang di jalan tetapi ia mendatangi rumah ke rumah, jadi pendekatannya dari rumah. Yustina melakukan diplomasi ala perempuan.  Ia berharap kepada pemerintah agar setiap  program dan kebijakan melibatkan perempuan.

Satu lagi perempuan inspiratif pembela hak atas tanah adalah Ngatinah yang tinggal di Olak-Olak, Kecamatan Kubu, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat. Dengan penduduk mayoritas Jawa ada perusahaan kelapa sawit bernama PT Sintang Raya. Menurut Ngatinah, perusahaan  pernah menawarkan plasma 80-20, tetapi waktu itu Ngatinah menolak tapi masyarakat mau. Kemudian tanah seluas dua hektar, diplasmakan, yang awalnya ditanam jagung dan karet, lalu diganti rugi tanam tumbuh, istilahnya ganti rugi/ganti buntung.

Setelah beberapa tahun, sudah berbuah tinggal menunggu bagi hasil tidak kunjung bagi hasil, lama-lama warga kesal. Lalu lahan terbengkalai, “kami ke desa meminta izin mengelola, kami tebas, kami pupuk, eh beberapa tahun Bentang Raya muncul lagi, katanya sudah dibeli,”ujar Ngatinah. Dengan didampingi sebuah LSM kemudian Ngatinah dan tiga perempuan lain dan banyak laki-laki menghadap perusahaan. Yang membuat berani Ngatinah dan kawan-kawannya adalah bagi mereka, tanah adalah tempat untuk mencari makan. Semula para perempuan tersebut dihalang-halangi ikut oleh kaum laki-laki.

Ngatinah berkata, jika orasi, kelompok perempuan berada di ujung tombak, namun ketika ada momen bertemu dengan perusahaan, mereka hendak ditinggalkan. Kala itu menurutnya, perusahaan hanya memberi iming-iming saja, ujung-ujungnya hingga sekarang tidak ada realita. 

Waktu itu ada panenan di pihak warga, namun perusahaan melaporkan bahwa ada pencurian buah, lalu polisi datang. Terjadi penangkapan terhadap warga petani yakni  Ayub dan Ponidi yang penangkapannya digambarkan seperti teroris. Aparat polisi datang dengan senjata lengkap. Ngatinah bercerita dengan heroik, bahwa kala itu tidak ada laki-laki yang berani, hanya dirinya dan Rukiyem yang menantang “Ini ada ratusan ibu-ibu yang memanen, dan anak-anak juga, kenapa kami tidak ditangkap semuanya? Kok cuma Pak Ayub dan Pak Ponidi?” Karena pada kenyataannya semua perempuan ikut memanen dan hasil panen dibagi sama. Beberapa perempuan sempat dipegang oleh polisi namun tidak ditangkap. Saat penangkapan Ponidi baru pulang dari kerja dan hanya mengenakan celana dan kaos saja. 

Kawan-kawan Ngatinah menjadi kendor semangatnya. Awalnya suaminya yang mendukung, dan ia dibiarkan orasi di mana-mana lalu melarang karena khawatir ditangkap polisi. Waktu itu ia sampai mengungsi di kantor Komnas HAM Kalimantan Barat. “ada brimob, dan sejak itulah kampung kami seolah dijaga aparat, kata anak-anak, banyak polisi. Banyak ibu ketakutan, kami lari ke komnas HAM, banyak yang ketakutan,”terang Ngatinah.

Ngatinah menyampaikan bahwa saat ini kasusnya tidak ada perkembangan. Ganti rugi sejak awal sudah diganti, namun yang bagi hasil sampai sekarang seujung kuku pun tidak ada. (ast)