Kontroversi JHT dan Akses Pelayanan Publik JKN

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Pada Selasa (22/2) Ombudsman RI mengadakan update publik via zoom  meeting yang disiarkan secara langsung lewat kanal youtube Ombudsman RI bertema Kontroversi Jaminan Hari Tua (JHT) dan Akses Pelayanan Publik Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).   Zoom dibuka oleh Robert Endi Jaweng, anggota Ombudsman RI  yang menyatakan tujuan acara adalah untuk melihat kebijakan terkait JHT dan harus dilihat secara cermat dari segala aspeknya. Beberapa aspek tersebut adalah yuridis, filosofis, dan sosiologis untuk melihat kondisi kebijakan tersebut.  

Acara yang dimoderatori oleh Iksan Kamil, asisten keasistenan utama VI Ombudsman RI menghadirkan beberapa narasumber yakni Hery Susanto, anggota Onbudsman RI, Ahmad Sobirin, Kepala pemeriksaan laporan pada keasistenan utama VI Ombudsman RI, Chazali Situmorang, Dosen Universitas Nasional (Ketua DJSN 2011-2015) dan Hery Susanto, anggota Ombudsman RI.

Hery Susanto menyatakan bahwa JHT pada tahun 2015 memang dapat dicairkan oleh pekerja 1 bulan setelah mengundurkan diri dari pekerjaannya setelah ada revisi PP No.46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua (JHT) pasal 26 dan diturunkan menjadi Permenaker  dikarenakan Menaker pada saat itu mendapat tekanan yang luar biasa dari teman-teman buruh. Kemudian fungsi JHT ini dikembalikan lagi kepada fungsi aslinya yakni dicairkankannya pada kurun waktu yang lama yakni ketika pekerja mencapai usia 56 tahun, dimana dana tersebut akan dikembangkan untuk investasi oleh pemerintah.

Hery juga menyoroti soal pencairan dana JHT ketika pekerja meninggal atau cacat/mengalami disabilitas dan dicairkan saat itu juga, masih mengalami banyak kendala bahkan sebelum Permenaker 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT muncul. Pada praktiknya juga banyak karyawan yang resign tampaknya bukan mengundurkan diri secara sukarela namun diperintahkan menandatangani surat pengunduran diri oleh perusahaan untuk meminimalisir tanggungan ataupun hak yang diberikan kepada pekerja tersebut.

Menurut Hery, BPJS Ketenagakerjaan harus segera terbuka menyampaikan kepada masyarakat terkait dana-dana milik masyarakat yang telah disetorkan kepada BPJS Ketenagakerjaan, misalnya dana yang telah dihimpun telah diinvestasikan kepada saham tertentu dan itu merugi serta harus tertahan selama belasan tahun, maka BPJS Ketenagakerjaan juga harus menginformasikan kepada khalayak ramai. Kesimpulannya kebijakan yang dikeluarkan Menaker Ida Fauziah yakni Permenaker 2 Tahun 2022 adalah kondisi ideal dari JHT namun realitas dan kondisi di negara kita saat ini  masyarakat juga harus diperhatikan.

Ahmad Sobirin, kepala pemeriksaan laporan pada keasisten utama VI Ombudsman RI menyampaikan temuan data pihak BPJS Ketenagakerjaan di lapangan pelayanannya belum maksimal dan optimal dalam menjalankan tugas serta wewenangnya. Misalnya masih ada perbedaan data NIK, kemudian proses pencairan jaminan kematian/kecelakaan kerja yang berlarut dan sebagainya. Kemudian Ombudsman  memberikan beberapa sarannya kepada Menaker kaitannya dengan Permenaker 2 Tahun 2022 untuk direvisi terkait keurgensian kondisi masyarakat sekarang yang sulit.

Kemudian akses pelayanan publik yang mensyaratkan masyarakat wajib terdaftar dalam JKIN yang telah tercantum dalam Inpres nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional, pihak Ombudsman  mendukung namun sebaiknya dilakukan secara bertahap agar tidak ada masyarakat yang kesulitan mengakses pelayanan publik. Apabila masyarakat belum terdaftar sebagai peserta JKN maka diperlukan afirmasi dan pendataan kemudian dibantu serta dipermudah untuk menjadi peserta JKN tetapi caranya perlu dilakukan dengan pendekatan yang positif.

Sedangkan narasumber lain, Chazali Situmorang, Dosen Universitas Nasional (Ketua DJSN 2011-2015), JHT adalah amanat dari UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) pasal 35,36,37, dan 38. Kemudian pada PP 46 Tahun 2015 disepakati usia pensiun 56 tahun dan JHT dapat diambil. Kemudian keluarlah PP 46 th. 2015 yang merevisi pasal 26 ayat 5 yang mengatur tata cara pemberian manfaat JHT yakni 1 bulan setelah berhenti bekerja/mengundurkan diri, Chazali Situmorang menilai bahwa PP 46 ini juga melampaui kegunaan Undang-undang dan berfungsi sebagai penenang kaum buruh untuk mengatasi tekanan dari teman-teman buruh waktu itu.

Chazali Situmorang menambahkan bahwa  Inpres nomor 1 Tahun 2002 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional memang sudah waktu atau momennya karena cakupan peserta sudah lebih dari 86% dari penduduk. Inpres ini menyasar 30 lembaga, 23 di antaranya Menko dan Kementerian Negara. Optimalisasi disesuaikan masing-masing tupoksi lembaga. Sejauh mana upaya yang dapat dilakukan agar JKN menjadi program nasional yang benar-benar bermutu, bermartabat, dan dapat meningkatkan kesehatan penduduk secara perorangan. (FX. Hastowo Broto/Ast)