Mengembangkan Minat dan Bakat Anak Tanpa Eksploitasi

Penilaian: 5 / 5

Aktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan BintangAktifkan Bintang
 

Media sosial seperti instagram, facebook, YouTube, Twitter, dan TikTok, telah menjadi platform utama anak muda Indonesia. Saat ini media sosial sudah bukan sekedar media berinteraksi&berbagi informasi, tapi juga menjadi ajang berkreasi melalui unggahan foto, video dan aneka konten kreatif lainnya.Tak jarang orang tua yang justru aktif melibatkan anak-anaknya dalam pembuatan konten di media sosial dengan motif "mengembangkan minat dan bakat anak”. Padahal pelibatan anak untuk “bekerja” dengan motif “mengembangkan minat dan bakat anak” ini sangat rentan dan berpotensi untuk terjadinya eksploitasi ekonomi terhadap anak.

Belum banyak pula orang tua yang memahami adanya Keputusan Menteri Ketenagakerjaan & Transmigrasi RI Nomor Kep.115/Men/VII/2004, bahwa anak diberi kesempatan mengembangkan bakat dan minatnya dengan sejumlah pengaturan, antara lain mempertimbangkan kepentingan terbaik anak, perlunya pengawasan dari orang tua/wali dan perlunya pelaporan kepada instansi terkait bidang ketenagakerjaan.

Untuk meningkatkan pemahaman&kesadaran masyarakat, khususnya orang tua, terkait keamanan anak di ruang digital dan kiat-kiat mencegah anak dari eksploitasi ekonomi, Lentera Anak bersama komunitas Fun with Momi mengadakan talkshow webinar bertema "Mengembangkan Minat & Bakat Anak Tanpa Eksploitasi" lewat zoom meeting pada Sabtu (19/2).  Talkshow menghadirkan tiga narasumber yakni Diena Haryana, Ketua Yayasan Sejiwa, Junika, founder Komunitas Fun with Momi, dan Lisda Sundari, Ketua Lentera Anak

Junika,  menyatakan bahwa hasil survei isu eksploitasi anak di media sosial adalah penting, hanya dianggap belum prioritas. Ia menambahkan bahwa aktivitas atau pelibatan anak di medsos dapat membantu pengembangan anak

Ketua Lentera Anak, Lisda Sundari, memaparkan bahwa istilah eksploitasi cukup populer. Eksploitasi adalah pemanfaatan dan pengambilan keuntungan dari pemanfaatan. Lebih singkatnya eksploitasi adalah bentuk pemanfaatan, siapa yang melakukan, tujuan keuntungan material dan ada dampak.

Eksploitasi secara garis besar dibagi menjadi eksploitasi seksual dan eksploitasi ekonomi baik langsung maupun online/daring. Eksploitasi ekonomi sering diabaikan, seolah-olah dilihat hanya dalam bentuk mempekerjakan anak tapi ada beberapa definisi yang menyebutkan eksploitasi anak adalah mengambil keuntungan untuk produk atau jasa dengan atau tanpa persetujuan anak. Karena anak-anak belum memiliki kemampuan antisipasi risiko.

Minimnya Payung Hukum

Peraturan di Indonesia belum cukup kuat untuk melindungi anak dari eksploitasi ekonomi anak di dunia digital semisal endorsment atau iklan sehingga yang diharapkan ortu lebih bisa mempertimbangkan dan melihat batasannya. Banyak orang tua berdalih melibatkan anak karena ingin mengembangkan minat dan bakat anak. Beberapa kita agar orangtua tidak terjebak dalam eksploitasi anak di antaranya : a.Bijaklah menggunakan medsos dalam rangka mengekspreskkan diri, b.Biasakan meminta izin pada anak sebelum posting ke medsos, c. Jangan beralasan anak belum mengerti, d. Sebagai orangtua harus benar dan baik, e. Pastikan orangtua mendengarkan suara anak dan bukan hanya dari kata-kata yang disampaikan oleh anak-anak tapi juga bahasa tubuhnya, f. Pastikan hak-hak terpenuhi dan merasa merdeka, g. perhatikan produk atau jasa yang di-endors (etis atau tidak, membahayakan kesehatan atau tidak, dampak jangka panjang). Sebuah catatan penting untuk diperhatikan apa yang dikatakan anak adalah valid.

Sesi terakhir Diena Haryana, Ketua Yayasan Sejiwa menyatakan bahwa pada 2010 ada peristiwa penculikan anak SMA oleh "teman baik" yang memiliki kedekatan emosi dan berawal dari chatting. Secara hormonal, hormon seksual yang sedang menggebu-gebu sehingga menimbulkan fantasi-fantasi dan terjadi online grooming sampai ada ketergantungan secara emosi. Mereka ketemuan, dan si perempuan tidak pulang beberapa saat.  Setelah selesai memanfaatkan anak tersebut maka ia dikembalikan begitu saja

Internet mempermudah dan memperluas gerak pedofil bukan saja memuaskan hasrat seksual tapi juga 'dijual' ke komunitas mereka. Ketika anak masuk ke dunia digital, mereka hanya berpikir ada dunia baru yang penuh keasikan. Orangtua harus terdidik dan menyadari tentang batasan usia anak untuk masuk dunia digital dan apa yang boleh dan tidak boleh yang dilakukan.

Media sosial punya aturan limit usia bagi pengguna, tetapi malah sejak bayi anak-anak dibuatkan akun media sosial oleh orangtuanya sehingga rentan menjadi incaran pedofil sejak kecil. Perlindungan anak harus maksimal tidak hanya di dunia nyata tapi juga harus maksimal di dunia digital. Secara kebijakan belum ada batasan sejauh mana anak-anak dapat dilibatkan dalam kegiatan iklan atau endorsment, tapi bukan berarti ketika tidak ada aturan berarti baik-baik saja.

Tipe pedofil ada yang melihat foto anak dan digunakan untuk martubasi. Sehingga banyak foto anak yang laku dijual di komunitas pedofil. Dan ada yang ketika harus menyentuh, mereka butuh ketemu anak. Dan yan terakhir ada yg harus terjadi penetrasi dengan anak. Korban pedofil termuda berdasarkan hasil survei yang dilakukan adalah usia enam bulan

Orangtua ingin yang aman-aman saja, namun perlu diingat ada orang-orang yang memiliki orientasi seksual berbeda (penyuka anak). Orangtua kurang aware karena merasa masih jauh dengan kasus tersebut (belum mengalami sendiri).

Contoh keteledoran orangtua misalnya orangtua mengikutkan anak berbagai lomba, oleh panitia ditulis dengan jelas profilnya (nama, alamat, dll). Data pribadi bisa disalahgunakan. Bahkan pedofil pun ada yang menggunakan ajang lomba untuk memangsa anak-anak.  

Lalu bagaimana cara pendampingan terhadap anak?

Beberapa hal perlu diperhatikan yakni : (1). batasan screentime harus jelas, makin muda usia makin sedikit waktunya. Setidaknya umur 5 tahun. Usia 0-5 tahun harus diajak mengeksplorasi dunia (rasa, tumbuhan). Usia 5 tahun pertama jangan mengganggu perkembangan anak dengan gawai. Usia di atas 5 tahun baru boleh pinjam ponsel orangtua, dengan pengawasan dan batasi waktu penggunaan, (2) screenbreak, anak usia 7-9 tahunan setidaknya dapat menggunakan sekitar 2 jam sehari untuk bermain gawai dengan estimasi setiap 20 menit lalu ajari anak untuk beranjak dari gawai. Hal ini untuk mencegah adiksi dengan gawai. (3) Tetapkan wilayah bebas gawai, semisal kamar termasuk orangtua usahakan gawai tidak masuk kamar dan meja makan untuk membangun koneksi dengan antar ortu dan anak. (Dorkas Febria/Ast)