KEPADA TANAH Gelar Diskusi Bersama Warga Desa Wadas

Penilaian: 0 / 5

Nonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan BintangNonaktifkan Bintang
 

Gagasan lahirnya “Kepada Tanah” berawal pada tahun 2019.  Kemudian di tahun 2021 oleh sebab produksi kopi di Desa Wadas sedang menggeliat, maka mereka memasarkan kopi. Seperti yang dituturkan oleh  Hanggono dari “Kepada Tanah” kepada Khalisah Khalid dari Greenpeace sebagai host Talkshow "Kepada Tanah" yang juga disiarkan lewat kanal youtube pada Senin (21/2), kopi di Desa Wadas adalah kopi yang ditanam  secara turun-temurun dan berdampingan dengan yang lain. Menurutnya, kopi merupakan produk yang gampang diterjemahkan dan universal. Dan perampasan tanah juga terjadi di daerah lain dengan memberi ruang teman untuk bersolidaritas dan memberikan ruang kepada petani kopi.

Menurut Hanggono, masyarakat Desa Wadas sudah memiliki potensi untuk mengurusi dirinya sendiri. Ia mengabarkan bukan hanya masyarakat umum tetapi juga khalayak bahwa potensi desa banyak sekali dan terbukti mensejahterakan rakyat. Hanggono  menyinggung soal teror berupa ganti rugi atau ganti untung padahal bagi warga Desa Wadas, tanah adalah sumber pengetahuan sejak ratusan lalu. Warga Desa Wadas sudah punya rencana ke depan (visioning). Jika kemudian ada teror ganti untung/rugi misalnya 10 kali lipat dari Nilai Jual Wajib Pajak (NJOP) pun  itu berarti penghinaan.

Pameran kopi “Kepada Tanah” yang dimeriahkan oleh 22 seniman dihelat di 6 kota dan saat ini sedang berlangsung di Jakarta. Seluruh hasil dari pameran ini diperuntukkan guna memperpanjang nafas teman- teman yang sedang berjuang di Desa Wadas.

Talkshow dijeda dengan pemutaran film dokumenter “Wadas Tetap Waras”. Di dalam film,ada beberapa statemen dari warga Desa Wadas, di antaranya Ibu Mutmainah yang berstatemen ada petani buah durian menghasilkan 50 juta, ada yang 25 juta, dan 30 juta sekali panen.  Buah durian menjadi salah satu andalan pertanian dari Desa Wadas selain rempah-rempah.

Sejak zaman Belanda nenek moyang mereka sudah menolak tambang karena takut kuwalat. Menurut nenek moyang tanah mereka harus dilestarikan. Dan mereka tidak akan menjual tanah sepeser pun alias akan mengutuhkan tanah. “Syair lagu Indonesia Raya saja berbunyi “Hiduplah Tanahku, Hiduplah Negeriku” kata seorang warga Desa Wadas.

Talkshow juga menghadirkan Warsono, warga Desa Wadas yang berharap semoga agenda “Kepada Tanah” menjadi penguat buat warga Desa Wadas. Seperti yang ditanyakan oleh host pada sesi bincang sore, Ikatan warga dengan tanahnya seperti apa? Warsono menjelaskan bahwa ia tinggal di perbukitan  450-500 meter. Di sana kebanyakan tanaman rempah-rempah. Menurutnya yang di film pendek yang diputar hanya memperlihatkan sebagian kecil kondisi saja. “Yang pasti paling banyak itu rempah. Durian di Kecamatan Bener adalah durian dari Wadas,” ungkap Warsono.

Beberapa kedatangan Gubernur Ganjar Pranowo ke Desa Wadas tidak membuat Ganjar percaya bahwa di Desa Wadas itu tanah subur dengan rempah-rempah dan bukan daerah miskin.

Akademisi : Desa Wadas adalah Tanah yang Sangat Subur dengan Tumbuhan Buah-buahan dan Rempah-Rempah

Rina Mardiana salah satu akademisi dan peneliti dari IPB yang dihadirkan lewat zoom meeting di acara yang sama mengatakan apa pun terkait dokumen Amdal sebelum kunjungan lapangan, ia dan tim  melihat Desa Wadas tanpa pendamping/siapa pun untuk memastikan yang mereka lihat  adalah autentik.

Ia dan tim ingin memastikan objektivitas dan independensi dari kalangan akademisi. “Jarak objektif itu ada supaya independen,”ungkap Rina.

Apa yang mereka lihat, apakah tanah Wadas gersang? Itu hoaks. Beberapa fakta yang mereka lihat adalah bahwa : Tanah Desa Wadas  subur dan padi tumbuh dengan baik, rempah-rempah subur dan bahkan ada yang tidak sempat panen. Semua jenis buah ada. Lokasi quarry memiliki sejarah Sumber Daya Alam (SDA) yang tinggi sekali. Pohon randu alas besarnya luar biasa

Rina kemudian bertanya kepada salah seorang sesepuh  sejak kapan masyarakat menolak tambang? mereka menolak tambang bahkan sejak 2018. Masyarakat Desa Wadas konsisten menolak. Di sana ada 11 dusun. Dari 11 dusun itu  7 menolak. 4 dusun pro. “Kalau masyarakat Wadas dituduh bahwa ganti rugi belum ada kata sepakat maksimal, itu adalah tidak benar. Belajar dari masyarakat di Tuban, uang milyaran bisa habis dalam sekejap,” jelas Rina.

Masyarakat Wadas belajar sendiri, mereplikasi sendiri. Mereka menggali dokumen sejarah pepatah- petitih apakah pantas tanah ini dipertukarkan dengan uang? Nasihat diperturunkan maka tanah Wadas dipertahankan.  Sesuatu yang lebih besar lagi dari uang. Konsistensi itu terlihat.

Dari mana masyarakat tahu dampak tambang? Apakah dari internet? Mereka ternyata saling mendiskusikan bersama. Internet dan berita bukan sumber yang utama. Mereka berdiskusi di masjid-masjid. Mereka mendiskusikan bersama secara kritis. Ada anak muda bahkan sudah memiliki pemikiran bahwa ada generasi di bawah mereka yang akan hidup layak.

Terkait tuduhan bahwa ada orang luar yang menyusup, jawabnya adalah tidak. Hanya belakangan karena mereka berhadapan dengan hukum. Lalu ada pertanyaan dari mana mereka mendapat nama-nama LSM? Rupanya informasi itu didapat dari warga Desa  Wadas yang bekerja di Jakarta yang prihatin dan kemudian memberi rekomendasi. "Jadi gerakan ini murni oleh masyarakat sendiri," pungkas Rina Mardiana. (ast)